KARTINI KECIL AYAH

ANDI RIRIN NOVIARTI
Chapter #1

AYAH

“Yeah..yeahh..anakku lulus, bentar lagi jadi mahasiswa kamu nak," kata ayah mengendongku seperti anak kecil saat tahu kelulusanku masuk perguruan tinggi di kampus biru yang terbilang terkenal di Sulawesi Selatan. Dari tadi kami sudah menanti pengumuman sambil dag-dig-dug.

"Alhamdulillah," ucapku membatin.

Ayah mengecup keningku berkali-kali dan mengendongku sembari berlari kecil seperti telah memenangkan piala oscar dan berteriak cukup keras hingga didengar tetangga. Ayah adalah seorang pegawai kesehatan. Meski hanya seorang PNS yang bergaji rata-rata mimpi ayah tidak banyak, cukup melihat anaknya memiliki pendidikan yang lebih tinggi darinya. Ayah adalah lulusan D3 keperawatan angkatan 90. Sudah lama sekali. Usia kini menginjak 50 tahun. Bagiku ia adalah pahlawan hidupku dan juga Ibu. Jika Ayah bermimpi melihatku sukses lebih darinya aku bermimpi melihatnya selalu tersenyum karena harapannya padaku dapat terwujud.

Aku menyayanginya lebih dari semua yang ada di dunia. Selain sebagai mantri di puskesmas dan kampungku, Soppeng, ayah juga seorang petani ulung dan tekun. Aku belajar ketekunan darinya.

Selepas subuh ia sudah menuju pematang sawahnya memeriksa padi-padinya yang sebentar lagi akan panen. Ia bersama saudaranya menanam dan mengolah hasil panen itu, sehingga keluarga kami tidak kesulitan dalam sandang pangan sebab ada kebun dan ladang yang dapat menjadi makanan pokok keluarga kami meski harus hidup serba pas-pasan.

Seorang anak kampung yang diterima di kampus impian banyak calon mahasiswa dan mahasiswi tentu menjadikan suatu anugrah besar bagiku.

Aku berterima kasih pada Ilahi bahwa aku mampu masuk di program studi kebanggaan banyak calon mahasiswa. Pendidikan Biologi di Kampus Biru yang terbilang terkenal di Sulawesi Selatan. Aku memang mencintai belajar tentang makhluk hidup. Mengetahui proses kehidupan membuatku semakin cinta pada sang penitip hidup dalam napas kehidupan namun sejujurnya aku suka menulis. Ayah yang memilihkan jurusan ini katanya masa depannya lebih cerah. Aku bisa jadi guru atau dosen biologi kelak. Itu mimpi ayah. Begitulah jurusan impianku pun harus dipilihkannya.

Mendapatkan kesempatan di program studi impian ayah, membuat aku pada akhirnya harus merantau dari kampung kecilku menuju kota Makassar. Kota legendaris yang katanya menjadi pilihan bagi anak-anak perantau bagian Sulawesi Selatan.

Kenangan itu adalah malam pengumuman yang manis sekali. Cerita itu masih tersusun rapi direlung kalbuku. Setiap saat aku lelah dan merasa ingin lari dari jurusanku yang sekarang, aku mencoba membuka lembaran indah tentang keluarga sebagai pengobat rindu sebab biologi menurutku adalah jurusan yang sangat sibuk dengan praktikum dan laporan-laporannya yang menumpuk. Belum lagi dengan Asisten Laboratorium yang cukup sangar meski tidak semuanya.

Kupandangi foto Ayah dan Ibu yang tertempel di dinding kamarku. Tepat di depan kasur kecilku. Masih terekam wajah Ayah malam itu, setelah memelukku erat dan mengendong dipundaknya setiap kali ia merasa bangga akan hal-hal yang terkait dengan anak semata wayangnya. Ia menjadikanku seperti seorang Kartini. Ya, itulah gelar unikku darinya. Sama seperti seorang pahlawan kemerdekan Indonesia yang memiliki sikap sang pejuang yang berani dan tak pantang menyerah. Itulah alasan Ayah memberiku gelar kartini kecilnya.

Aku masih ingat ketika Ayah mengajakku hampir setiap sore ke kebun cengkeh dan coklatnya. Hobinya bertani diwariskannya padaku. Aku menjadi teman setianya dikala senja mulai memeluk langit. Aku diajari memanjat dan memetik cengkeh dan coklat yang siap dipanen atau berlari di pematang sawah mengusir dan menunggui burung pipit menjauh ketika dibunyikan suara kaleng-kaleng susu dengan batu kecil yang digantung di tali mengitari pematang sawah. Kami akan duduk manja dirumah-rumahan sawah dan bercerita tentang masa depan.

“Nak...ayahmu ini hanya seorang perawat yang berurusan dengan orang sakit tiap waktu. Ayah pikir itu pekerjaan tak mudah meski dibayar dengan upah kecil namun semoga kelak menjadikan ladang pahala yang tak putus saat di akhirat kelak namun ayah ingin kamu berpendidikan tinggi lebih dari ayahmu ini. Andai ayah punya harta yang banyak mungkin akan mudah bagimu sekolah di kampus impian namun ayah hanya bergaji pas-pasan. Kelak jika kamu lulus beasiswa, belajarlah yang baik nak. Sebab masa depanmu adalah apa yang kamu usahakan hari ini. Ingat itu anakku. Tak ada hal yang bisa kuwariskan padamu nak, selain semangat dan doa yang tulus. Berharap Kartini kecil ayah bisa menjadi wanita yang tidak gampang menyerah dalam mewujudkan mimpinya," indah sekali nasihat ayah hingga meresap di relung kalbu dan memori otakku.

“Memang Ayah tahu mimpi Karin?”

Lihat selengkapnya