“Bangun...bangun," teriak Ibu seperti sedang menjadi alaram bangunku. Kebiasaan yang dilakukannya tiap pagi.
"Karin kalau kamu kesiangan terus bangunnya bisa-bisa telat nikah. Pamali anak gadis bangunnya siang,” teriak Ibu lagi sambil menarik selimut.
Jika Ayah begitu lembut padaku dan mendukungku soal kuliah beda halnya dengan Ibu yang suka mencak-mencak soal jodoh. Ia selalu mendukung ayah apalagi dalam hal menjodohkanku dengan anak lelaki di garis keluarga besar kami.
“Ah, Ibu baru juga aku telat, maklum kan semalam begadang nulis novel,” jawabku sembari masih menguap karena kantuk yang masih belum bisa kutahan. Ibu tahu sejak kecil aku suka menulis dan punya mimpi suatu hari bisa memiliki karya yang dikenal banyak orang. Namun siapa sangka demi Ayah aku harus banting jurusan ke Pendidikan Biologi. Lagi-lagi aku harus menurut jurusan favorite pilihan Ayah.
“Bangunlah, bergegas mandi sana terus bersoleklah sedikit,” perintah Ibu mengagetkanku. Mataku yang tadinya sulit terbuka seperti dipaksa terbuka lebar.
“Apa...bersolek?" kataku hampir berteriak.