Kartini (Movie Tie-In)

Noura Publishing
Chapter #1

Draft Hitam

Malam gelisah. Angin tak sudi menyapa Batavia.

Purnama ketiga belas, bumi dilanda sumuk dan gerah, mengajak penghuninya keluar rumah dan menatap angkasa jelita. Namun bagi Hurgronje, tak ada sesuatu yang menarik dari bintang-bintang dan cahaya. Tak ada yang istimewa kecuali pikirannya sendiri. Apalagi jika pikiran itu tengah digayut sebongkah batu.

Malam tambah gelisah, tak bisa memejam mata, memiringkan tubuhnya ke kiri ke kanan di atas ranjang. Jelang pagi barulah bertemu ide cemerlang. Semua didukung jam terbang tinggi menggagas hal dan peristiwa demi kejayaan Sri Ratu Wilhelmina dan pemerintahannya.

Hurgronje bangkit dari ranjang dan buru-buru pergi ke kamar kerja, menekan beberapa digit nomor telepon. Dengan tenang mengangkat gagang telepon sembari berpikir, apa orang di sana masih bangun. Jam berapakah sekarang?

“Hellooo!”

Tak ada suara di sana. Tak terdengar desis apa pun. Hanya suara sendiri yang menggema di udara kosong. Agaknya dunia sedang tertidur lelap. Hanya sang cerdas seperti aku ini yang masih melek pada malam sunyi buta seperti ini. Rutuknya bernada memuji diri sendiri.

Mau tak mau, akhirnya dia kembali menuju kamar tidur dan coba merebahkan tubuhnya yang lelah sungguh. Dia ingin segera lelap namun kantuk tak sudi menjamah. Pikirannya bahkan kian liar ke sana kemari tak mau berdamai dengan kondisi tubuh letoi.

“Sudah kukirim si cerdas radikal Estella Zehandelaar untuk mengatasinya. Kukirim pula Van Kol sedingin salju beserta Nellie. Nyonya Ovink-Soer juga telah kuutus untuk mengurusinya. Namun semua sia-sia belaka! Anak itu terlalu kuat untuk ditundukkan,” dongkol hati Hurgronje.

Pikirannya terus berlari melompati tembok-tembok norma dan kewajaran. Seperti si gila yang menyadari kegilaannya namun berlanjut menggila oleh rasa masyuk dalam gila. Menyeringai dan tersenyum sendiri, menggaruk kepala lalu tersentak bangun oleh satu hentakan pikiran gila.

“Oh, tidak! Bahkan aku telah mengirim Van Deventer, Hello, Dr. Adriani. Namun semuanya angin lalu. Para idiot tak berguna!”

Hurgronje berteriak di atas ranjang sembari mengacak-acak rambutnya, seolah rambut itulah pihak yang bisa dikambinghitamkan atas kegagalan misinya. Tentu yang berada di dalam rambut dan ngendon di balik batok kepala, bisa tersenyum geli menatap wajah kacau yang tengah dirundung bingung.

“Anak itu sangat berbahaya. Membiarkannya tumbuh tanpa kontrol, sama saja mengasah pedang untuk bunuh diri. Verdomd!”

Kedua tangannya meremas penuh keringat dingin. Tatapannya liar. Berjuang keras mengingat sesuatu.

“Ow! Sejak bertemu dengan kiai pembangkang yang memberinya makna ayat-ayat kitab suci, bisa kuramalkan, sebentar lagi anak itu akan jadi pemimpin yang sanggup mengobarkan semangat melawan Belanda! Dan jika itu terjadi, tamat sudah riwayat pemerintahan Hindia Belanda yang agung penuh wibawa.”

Mata Hurgronje melotot saat mengucapkan kata tamat.

“Anak itu memiliki daya besar untuk menggerakkan. Pikirannya berani, kritis, dan tajam. Kata-katanya runtut, indah, dan menggetarkan. Cara kerjanya sistemik. God verdomd!”

Dia garuk-garuk kepala.

“Telah kukirim Anni Glasser dan Josephine Hartseen pula. Sama sekali tak ada dampak baginya. Hanya selintas saja terperangah, lalu kembali pada pikiran dan keyakinannya sendiri. Aku tak mengerti sekukuh itu? Seorang anak dari negeri jajahan bisa sekukuh itu?”

Dia geleng-geleng kepala.

“Dia hanya perempuan belia, lulusan sekolah dasar Europese Lagere School, priayi pingitan, bagaimana mungkin memiliki perspektif tentang dunia begitu jauh, mengalahkan pemikir Eropa dan menghentakkan kesadaran Sri Ratu. Aku tak bisa mengerti!”

Pikiran Hurgronje semakin kusut masai. Bola matanya liar menatap arah depan, tapi sebenarnya dia tak sedang menatap apa-apa. Pun tak melihat ke mana-mana. Dia sedang menatap huruf-huruf hitam dari pikiran jelaga.

“Satu hal nyata, dia terus tumbuh mendaki impiannya. Bahaya pasti datang jika anak itu sampai puncak.”

Tak kuat mengikuti laju pikiran, Hurgronje tumbang terkapar di kasur akhirnya. Baru terbangun saat perutnya telah menyanyi musik keroncong pada siang hari.

“?”

Dia bangkit terhuyung menuju kamar kerja hendak telepon, tetapi langkah kaki tanpa disadari telah membawanya ke kamar mandi. Selagi menuntaskan buang air besar, bau wangsit merasuki batok kepalanya.

“Dia sudah lahir dan terus tumbuh. Makin hari makin besar dan kokoh. Pada saatnya, hanya ada dua pilihan,” kata bisikan dari kuping kiri.

“Apa saja yang dua itu?” Hurgronje gugup.

“Kau yang mengatasinya atau dia yang bakal mengatasimu!”

Deezz!!

Hunjaman pedang menikam dada, Hurgronje tersentak kaget oleh kalimat itu. Matanya nanar memandang pintu kamar mandi di depannya. Seolah ada hantu yang bakal mendobrak pintu dan menodongkan pistol tepat ke batok kepalanya. Pistol dengan peluru kata-kata.

Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan meng­ikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, dialah sejatinya merdeka.

Dupp! Hati laki-laki berkepala botak itu tertembak berdarah oleh peluru tajam kata-kata. Seperti tertusuk ujung pedang. Meskipun sudah mendaki gunung pengetahuan setinggi Uhud untuk membuka cadar pengetahuan agama, bahkan menguasai bahasa Arab secara fasih dan sempurna, semua itu tidak membawanya pada kesadaran dan penghayatan mendalam seperti kalimat yang ditembakkan ke jantungnya.

Hurgronje mendaki bukan untuk mencapai puncak. Dia hanya mencari lubang tempat kakinya terperosok tak bisa turun.

“Beraninya kamu mengatakan itu padaku?” teriaknya pada angin. “Kau hanya perempuan pingitan yang memandang dunia dari balik pintu kamar sempit.”

Angin bergerak tanpa arah.

“Seluruh jalan keluar bagimu menempuh pendidikan tinggi telah kututup. Gerbang-gerbang pengetahuan telah kupatri. Apa yang bisa kau lakukan dengan statusmu kini sebagai istri? Istri dari laki-laki tua yang bernama Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat itu?”

Dia tertawa-tawa geli mengingat usahanya untuk memengaruhi ayah Kartini, agar segera menikahkan Kartini dengan laki-laki tua yang telah melamarnya itu, akhirnya berhasil dengan gemilang.

Namun di luar dugaan, ternyata suami Kartini memiliki cinta tulus yang begitu besar kepada istrinya, hingga mengabulkan semua cita-cita dan keinginan mulia. Bahkan mendukungnya sepenuh jiwa dan raga.

Raden Joyo Adiningrat juga memberi dorongan semangat kepada Kartini untuk menulis buku Babad Tanah Jawa. Mencarikan semua referensi yang dibutuhkan dan berjanji untuk bersama-sama menuliskan Babad Tanah Jawa.

Sepanjang masa kehamilannya, Kartini tetap melakukan aktivitas intelektualnya. Mengajar di sekolah yang didirikan dan menulis buku. Hari-harinya dipenuhi kebahagiaan menjadikan wajahnya kian berseri merona.

Dari pojok ruang yang amat dekat dengan Pendopo Kabupaten Rembang, seorang mata-mata mencatat semua perihal perkembangan Kartini dari menit ke menit. Seminggu kemudian, kembang berita kehidupan Kartini itu telah sampai ke Batavia. Hurgronje mendelik kaget saat membacanya.

Babad Tanah Jawa. Rupanya dia akan benar-benar menggerakkan rakyat bumiputra untuk melawan. Ini tidak bisa dibiarkan!” Gemeretak gigi Hurgronje terdengar berkali-kali.

Selepas dari kamar mandi, Hurgronje langsung menuju kamar kerjanya hendak telepon seorang kawan. Namun mesin telepon itu mendering duluan sebelum diangkat. Telepon dari negeri Belanda. Ada suara perempuan mengajaknya bicara.

“Ya, hallo!”

Lihat selengkapnya