Angin mengembus. Langit Jumat berwarna abu-abu.
Pada malam sehari sebelum Kartini melahirkan, Ravesteyn turun dari kereta api di Stasiun Pecangaan, beberapa kilometer dari pusat Kota Jepara. Tidak seperti laiknya dokter, dia mengenakan baju hitam celana hitam. Dengan menyewa kereta kuda, dia minta diantar ke rumah Ovink-Soer, Asisten Residen Jepara, yang terletak di seberang Pendopo Kabupaten Jepara. Hanya bentangan alun-alun yang membatasinya.
Ovink-Soer menyambut kedatangannya dengan hangat.
“Tuan Hurgronje telah mengabarkan hal kedatangan Anda, Dokter,” kata Ovink-Soer.
“Saya diminta kemari untuk mencari tahu kabar kelahiran bayi Kartini. Siapa tahu dia butuh bantuan seorang dokter seperti saya.”
Ovink-Soer tergelak mendengar ucapan Ravesteyn. Lalu menjelaskan semua hal yang diketahuinya dan menjawab pertanyaan Ravesteyn. Esoknya, atas saran Ovink-Soer, Ravesteyn berangkat ke Rembang menuju rumah Raden Joyo Adiningrat.
Suami Kartini menyambutnya dan mempersilakan Ravesteyn untuk segera memeriksa Kartini, karena sejak pagi perutnya telah memberi sinyal bakal kelahiran itu.
“Baiklah. Saya akan memeriksanya,” Ravesteyn antusias.
Dengan didampingi Raden Joyo Adiningrat, Ravesteyn memeriksa Kartini dan mengatakan kondisinya sangat bagus. Kesehatan sang ibu sangat baik, begitu pula bayi yang dikandungnya. Tidak ada keluhan lain selain rasa sakit akibat rahimnya mulai membuka. Dia menyarankan agar Kartini tetap melakukan aktivitas jalan-jalan pelan di seputar halaman pendopo, dan jangan hanya tidur saja. Semuanya akan memudahkan proses persalinan.
Nasihat dokter pun dilaksanakan sekuat tenaga.
Dan malamnya, sekitar pukul satu dini hari, Kartini melahirkan bayi mungil laki-laki tanpa kesulitan yang berarti. Hal yang sangat mengganggu telinga Ravesteyn adalah saat jelang proses kelahiran, sekira rahimnya telah membuka 5, 6, 7 hingga kepala bayi itu mulai nongol dengan ajaib. Sepanjang proses di antara rasa sakit yang maha, lidah Kartini tak hentinya menyebut: Allah! Allah! Allah!
Setiap entakan kaki sang bayi berkontraksi, Kartini berseru: Allah!
Setiap itu pula, mendesir nadi Ravesteyn.
“Selamat atas kelahiran bayimu, Raden Joyo Adiningrat,” kata Ravesteyn. “Bayi laki-laki yang tampan. Calon penerus ayahnya,” tambahnya mantap.
Raden Joyo Adiningrat begitu terharu dan bahagia. Dia pandangi bayinya yang dijaga seorang emban, lalu memintanya untuk menggendong. Pelan di dekat telinga sang bayi, Raden Joyo Adiningrat melantunkan adzan, yang membuat kaget dan penasaran Ravesteyn. Namun dokter Belanda itu hanya menyimpan tanya dalam hati.
Saat Raden Joyo Adiningrat berganti perhatian ke arah Kartini, Ravesteyn minta diri untuk meninggalkan mereka, setelah memberi petunjuk dan resep sehat bagi Kartini dan bayinya. Sekali lagi Ravesteyn mengucapkan selamat kepada Kartini dan suaminya.
“Segalanya oke. Selamat untuk kalian. Saya pamit,” katanya dengan senyuman.
Usai melahirkan yang cukup melelahkan, Kartini tertidur lelap. Raden Joyo Adiningrat telah menghafal kebiasaan seorang ibu yang habis melahirkan. Karena istri-istrinya terdahulu juga demikian adatnya. Dia kembali mengamati bayi mungilnya yang juga tengah lelap. Agaknya sang bayi juga terasa lelah setelah perjuangannya yang gigih untuk sukses melihat dunia.
Menit demi menit berlalu.
Kartini telah bangun dan untuk pertama kalinya menyusui bayinya dengan sejuta rasa bahagia, karena air susunya lancar dan bayinya sehat tak kurang suatu apa. Semua berkat perawatan para emban sepanjang kehamilannya. Bahkan pada hari kedua setelah melahirkan, Kartini telah kuat bangkit berdiri tanpa pertolongan emban. Pada hari ketiga telah kuat jalan-jalan di seputar rumah.
Tiap kali menyusui bayinya, seribu mawar memenuhi hatinya. Hidupnya terasa lengkap sudah. Meski capek dan sering terkantuk-kantuk, saat bayinya terbangun dengan tangis karena lapar, Kartini sigap mengambil sang bayi tanpa mengandalkan bantuan emban. Raden Joyo Adiningrat juga datang oleh tangis bayinya.
“Kuat sekali mimiknya anak kita, Kangmas,” ujar Kartini berbinar-binar.
“Begitulah anak laki-laki, Diajeng,” jawab Raden Joyo Adiningrat, “apa kau sudah dapat calon nama bagi anak kita?”
“Biar Kangmas saja yang memberi nama. Saya akan setuju.”
“Baiklah. Besok Jumat, selepas shalat, semoga saya bisa ketemu kanjeng kiai yang menjadi imam di masjid. Nanti saya tanyakan nama terbaik untuk anak kita.”
Kartini senang mendengarnya. Nama pemberian kiai pasti lebih bagus dibanding yang lain. Tiba-tiba Kartini teringat pada guru terbaiknya, Kiai Sholeh Darat yang telah wafat dua bulanan silam. Seorang kiai yang benar-benar lautan ilmu, memiliki kearifan tinggi, pemberani dan berkarakter. Terngiang juga di telinganya kata-kata sang kiai itu yang tak gentar oleh ancaman Belanda saat menerjemahkan Al-Fatihah, surah pembuka dalam Al-Quran.
Duhai Kiai Sholeh Darat yang benar-benar shalih dan pemberani. Jika beliau masih hidup, rasanya ingin berbincang soal-jawab tentang ilmu dan kualitas orang-orang yang berilmu, seperti saat pengajian terakhir yang disampaikan oleh beliau di Pendopo Masjid Demak. Untuk mengobati kerinduan itu, Kartini membuka ulang tafsir Faidhur Rahman.
Alif Lam Mim.
Kitab ini, Al-Quran, tidak ada keraguan padanya.
Petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Terus saja Kartini membaca tafsir itu hingga kantuk menyerbu, dan tertidur di samping bayinya. Hanya sesekali terbangun saat si bayi minta disusui, dan terlelap lagi. Mungkin juga bermimpi, bertemu dengan Kiai Sholeh Darat, guru sejati yang sangat dihormati. Bermimpi bisa menyaksikan si bayi kelak menjadi dewasa dan tegas seperti watak gurunya.
Paginya, setelah suara adzan dari masjid dekat Pendopo selesai, dan semua yang berurusan dengan kebersihan badan juga selesai, Kartini terlihat begitu segar dan wajahnya memancarkan tujuh rembulan. Saat emban mengantar sarapan, begitu lahap dan nikmat dia menyantap, seolah dua hari tak bertemu makanan. Cepat sekali menghabiskannya.
“Sudah habis, Ndoro? Syukurlah” kata emban heran, “Oiya, di depan ada tamu, Ndoro.”
“Siapa, Mbok?”
“Kalau tidak salah, tuan dokter yang kemarin, Ndoro.”
Terdengar suara langkah dan orang sedang bercakap-cakap menuju arah pintu kamarnya. Tepat di depan pintu suara langkah itu berhenti. Lalu pintu dibuka. Raden Joyo Adiningrat muncul dan menghampiri Kartini.
“Kau terlihat sangat segar dan cerah, Diajeng. Sudah sarapan rupanya,” kata Raden Joyo Adiningrat senang.
Dia lalu menghampiri bayinya yang tengah lelap dan mencium pipinya berkali-kali dengan penuh sayang seorang ayah.
“Dokter Ravesteyn menengokmu. Ayo kita duduk di teras belakang sebentar, Diajeng.”
“Baiklah, Kangmas. Saya merasa kondisi saya sudah cukup baik.”
Kartini bangkit dan berjalan mengikuti suaminya. Di depan pintu, dilihatnya Dokter Ravesteyn telah menunggu mereka untuk kemudian berjalan ke arah teras belakang.
“Sepertinya kondisi Anda sudah cukup baik dan sehat, Nyonya,” Ravesteyn memperhatikan Kartini dengan saksama.
“Seperti yang Anda lihat, Tuan. Alhamdulillah, saya merasa jauh lebih sehat sekarang.”
“Baguuus! Anda sangat baik memperhatikan kesehatan diri anda. Ini poin plus untuk para ibu muda seperti Anda, Nyonya,” Ravesteyn mengacungkan kedua jempolnya.
Raden Joyo Adiningrat merasa bangga memiliki istri seperti Kartini. Sementara Kartini hanya tersenyum simpul. Duduk manis di samping suami tercinta. “Jadi, saya tidak perlu memeriksa kesehatan Nyonya lagi atau masih perlu?” tanya Ravesteyn.
“Biar lebih mantap hati saya, sebaiknya periksalah istri saya,” kata Raden Joyo Adiningrat, sembari menengok minta persetujuan Kartini.
Kartini menggeleng dengan tegas.
“Tidak perlu, Kangmas. Saya merasa sangat bugar. Tidak ada yang perlu diperiksa dan dirisaukan. Percayalah!” katanya. “Dan terima kasih atas kunjungan Anda, Tuan,” lanjutnya pada Ravesteyn.
“Ah! Sudah seharusnya saya berkunjung kemari untuk menengok pasien dan mengetahui kondisi bayi Anda, Nyonya,” Ravesteyn penuh empati, “tapi jika kondisi Anda sudah benar-benar baik, saya turut senang.”