Nuladha laku utama
Tumrape wong tanah Jawi
Wong agung ing ngeksi ganda
Panembahan Senopati
Kapatia marsudi
Sudanen hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tan api ing siang ratri
Amemangun karya
Nak tyasing sasami
Seolah buluh perindu, tembang ginonjing mengalun merdu dari bibir Ngasirah. Mendayu ditiup semilir angin, merasuk ke dalam pori-pori jiwa putri kecilnya yang hendak berangkat ke alam mimpi di pangkuan ibunya. Sembari nembang, Ngasirah membelai-belai kepala putrinya dengan penuh kasih. Putri kesayangan yang cantik, dengan sepasang mata bulat penuh binar, yang lincah tak pernah mau diam dan usilnya minta ampun.
“Tidurlah, Cah Ayu. Hari sudah makin malam,” belai Ngasirah.
Putrinya yang bernama Kartini, hanya melirik jenaka dan senyum-senyum saja merespons ibunya. Ngasirah paham kalau Kartini belum mau tidur dan ingin lebih lama diayun ninabobo. Meski matanya coba dipejamkan, tetapi jiwa gadis kecil itu tengah asyik main loncat-loncatan di bawah pohon jambu air, seperti yang dilakukannya tiap pagi dan sore bersama adik-adiknya, Rukmini dan Kardinah.
Setelah empat kali mengulang bait-bait cantik ginonjing, Kartini mulai menguap dan memiringkan tubuhnya. Kedua tangannya yang mungil menggenggam erat jemari ibunya yang masih bersenandung. Rasanya tak ingin melepasnya selamanya. Namun, akhirnya lelap juga Kartini dalam dekap-buai ibunya. Tembang ginonjing pun berhenti.
Lega hati Ngasirah. Dia tatap pintu. Dengan pelan, dipanggilnya seorang emban yang biasa berjaga saat meninabobokan anak-anaknya.
“Mbok. Mbok Lawiyah! Masuklah!”
“Sendhika dawuh, Ndoro.”
Pintu kamar yang sempit itu pun membuka. Angin malam mengembus masuk menerobos pintu. Lumayan segar dibanding udara dalam kamar. Dari pintu yang membuka, Mbok Lawiyah masuk mengendap dengan hati-hati. Ngasirah meletakkan telunjuknya di bibir, memberi isyarat Mbok Lawiyah agar lebih tenang. Jangan sampai membangunkan Kartini yang baru lelap.
“Hati-hati ya, Mbok.”
“Nggih, Ndoro.”
Perlahan Mbok Lawiyah mengambil Kartini dari pangkuan ibunya. Diangkatnya dengan hati-hati. Namun Kartini terjaga. Keningnya mengerut dan matanya menatap marah ke Mbok Lawiyah. Spontan Kartini memeluk ibunya dan memunggungi Mbok Lawiyah. Hatinya jengkel setengah mati. Dia eratkan pelukannya lebih kencang pada ibunya dan berteriak.
“Ndak mau! Ni tidur di sini!”
Mengkeret hati Mbok Lawiyah. Takut oleh nada amarah yang melengking tinggi. Ngasirah juga bimbang, menanting aturan dan kasih sayang. Aturan keluarga bangsawan yang mewajibkan anak-anak tidur di kamar Pendopo, dan bukan di bangsal para pembantu. Malangnya, Ngasirah adalah garwa ampil, bukan garwa padmi. Jadi meskipun istri pertama, tetapi bukan utama. Dia bukan permaisuri Raden Sosroningrat. Karena dipinang dari keluarga non-bangsawan.
Sebagai garwa ampil, Ngasirah diharuskan tidur di bangsal para pembantu dan harus dipanggil ‘yu’ oleh anak-anaknya. Bukan ‘ibu’ sebagaimana harusnya. Pedih hati Ngasirah. Karena dia begitu menyayangi anak-anaknya. Ngasirah tentu ingin selalu bersama dalam kehangatan kasih sayang sebagaimana seorang ibu terhadap anak-anaknya. Namun aturan berbicara lain.
“Ayo, Ndoro. Nanti Gusti Ayu marah lagi,” Mbok Lawiyah memelas.
Kartini malah mengeratkan pelukan kepada ibunya, membuat Ngasirah kian serbasalah. Dia tak mampu lagi berpikir tentang kedudukan sebagai ibu, garwa ampil, atau garwa padmi. Yang ada dalam benaknya tinggal kasih sayang alami seorang ibu terhadap anaknya. Maka dengan penuh rela, Ngasirah pun berkata.