Kita kerap kali mengkhawatirkan apa yang sebenarnya belum pasti terjadi di kemudian hari. Menjadi gelisah dan senantiasa membayangkan apa yang kita kerjakan akan menjadi kekecewaan bagi diri sendiri juga orang lain. Pemikiran tersebut yang justru sebenarnya menjadi momok menakutkan untuk memulai sesuatu.
Ketakutan tersebut menjelma sebagai rasa khawatir, gelisah, dan merasa diri tidak memiliki value atau kemampuan apapun. Padahal, ketakutan yang kita miliki dapat mempersempit ruang untuk bergerak dan bertindak. Seharusnya, kita tidak perlu mengkhawatirkan apa yang belum terjadi. Kita bisa menentukan masa depan dengan cara memperbaiki kebiasaan dan tak perlu khawatir secara berlebihan.
Bukankah pagi akan berganti malam? Bukankah musim hujan akan berganti kemarau? Bukankah pasang dan surut air laut juga pasti terjadi? Atau yang paling ekstrim, pernahkah kita mengonstruksi diri sebelum tidur dengan memastikan jantung kita agar tetap bekerja, menjaga saluran arteri untuk mengalirkan darah secara benar, mengatur jumlah oksigen yang masuk dan mengatur supaya semesta memberikan tidur terbaik agar kita tetap terbangun di pagi hari? Tanpa mengkhawatirkan hal tersebut, nyatanya kita tetap hidup di pagi hari.
Pemikiran khawatir berlebih atau overthinking tersebut tidak lain adalah bersumber dari yuwaswis atau gangguan syaitan yang Allah telah jelaskan dalam surah An-Nas ayat ke-5. Kita yakinkan bahwa Allah menakdirkan kita hidup di bumi bukan untuk menjadi gagal, bukan diciptakan untuk menjadi role model manusia yang tidak berguna, bukan diciptakan untuk menjadi bagian representasi kegagalan, tapi Allah menciptakan manusia untuk menjadi pengatur dan pemimpin di muka bumi.
Hal yang seharusnya kita lakukan adalah tetap yakin dan tidak perlu khawatir berlebih. Fokus memperbaiki kebiasaan, agar dari kebiasaan tersebut lahirlah gambaran masa depan. Jangan mengkhawatirkan apa yang belum terjadi, yang dengan pikiran tersebut justru akan menambah pikiran yang dapat menimbulkan kegelisahan dan rasa kecewa. Percaya bahwa apa yang kita bisa dan kita miliki, adalah sebaik-baiknya takdir.