Ara bergegas merapikan beberapa pakaian yang telah dia siapkan. Sore nanti dia dan Rei akan memulai perjalanan. Mika tidak turut dalam perjalanan ini. Ada sesuatu yang lebih penting untuk dihadiri, katanya. “Paling juga ikut liburan bareng keluarga pacarnya, ke puncak?” Protes Ara saat Rei mengatakan Mika tidak akan ikut lagi dalam perjalanan mereka. Waktu itu Rei hanya menggeleng pelan dan mengangkat kedua pundaknya.
“Jangan sampai ada yang ketinggalan, Ra.” Ucap Ibunya yang sedari tadi berdiri mengamati gerakan putri semata wayangnya. Ara tak menghiraukan. Tidak akan ada yang tertinggal. Tidak banyak yang akan dia bawa dalam liburannya di Yogyakarta. Ara memandangi barang bawaan yang akan dia bawa satu per satu.
“Baju dua, celana dua, oke, buku, laptop, ponsel jelas harus terbawa, kamera…” Ara mengeja semua barang yang akan dia masukkan dalam ransel berukuran dua puluh lima liter. “Liburan berapa hari sih?” Tanya Ibunya. Melihat dengan heran barang Ara. “Rencana satu minggu, Bu,” jawab Ara. Kalimatnya belum selesai saat ibu memberinya protes. “Baju yang kamu bawa cuma dua? Bau badan nanti kemana-mana Ra.” Ucapnya. Melangkah mendekati lemari pakaian Ara. Mengeluarkan beberapa helai kaos dan celana yang Ara miliki.
“Bu, segini cukup. Ara kan rajin mandi.” Ucap Ara, memberi isyarat pada Ibunya untuk menghentikan langkah dan mengembalikan kaos dan celana pilihannya ke dalam lemari. “Tapi kan Ra…” Ibu tetap melangkah mendekatinya. “Masukkan ini kaos, kaos lebih penting, celana terserah kamu bawa satu juga enggak masalah.” Pinta Ibunya. Ara menyeringai. “Ibu, di Jogja banyak toko yang jual kaos.” Ucap Ara, sekali lagi menolak untuk menambahkan barang bawaannya.
“Lagian kamu itu perempuan Ra, jangan berpakaian se-simple itu bisa enggak?” Protes Ibunya. Memandang bergantian baju yang sedang Ara gunakan dan barang bawaan yang akan dia gendong diatas punggungnya. “Jangan bilang Ibu mau nyuruh Ara jadi ribet kaya Mika?” Ucap Ara menyelidik. Mata bulatnya dia sipitkan. Membentuk mata yang seolah sedang curiga. Ibu hanya tersenyum dan menggeleng. Tidak mengerti lagi harus bagaimana supaya anak perempuannya berpenampilan seperti perempuan pada umumnya.
Angin sore berembus pelan. Ara duduk memandang langit dari balkon lantai dua rumahnya. Untuk beberapa hari dia tidak akan menikmati siluet oren yang bercampur banyak warna di barat langit Jakarta. Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang laki-laki kemudian duduk disampingnya.
“Ngelamun aja lo!” Ara tersentak mendengar suaranya. Membuat lamunan akan keindahan dunia di dalam awan jingga sore ini berserakan. “Untung gua enggak jantungan, Rei.” Ara mendaratkan satu pukulan pada punggung Rei. “Kalau lo jantungan, sudah lama gua lo tinggal berdua sama Mika.” Jawab Rei. Wajahnya masih menahan sakit dari pukulan Ara yang akan membekas sedikit lama.
“Mikirin apa lo sore-sore gini, ngadep langit.” Rei dengan wajahnya berusaha menggoda Ara. “Bayangin ada kehidupan di balik awan itu.” Rei terbahak mendengar jawaban Ara. “Emang lo kebanyakan baca buku, Ra. Imajinasi lo kemana-mana.” Ara mendengus kesal mendengar kalimat Rei. “Dari pada lo, fotonya satupun enggak dapet feel.” Balas Ara. Mereka saling menatap. Kemudian Rei kembali terbahak. “Nah, kebanyakan buku gini juga bahaya Ra. Jadi makin perasa aja lo sama suatu objek.” Ara menjulurkan lidahnya. Memberi isyarat pada Rei kalau dirinya tidak benar-benar menyerah untuk ejekannya.
Sepoi angin terasa lembut menyentuh pipi Ara. Mengibarkan beberapa helai rambut Rei yang dibiarkan terurai. “Mika beneran enggak ikut kita nih?” Tanya Ara memecah sunyi. Rei mengangguk pelan. “Katanya baru balik jam sembilan nanti.” Ucap Rei. Kemudian secara bersamaan mereka menggeleng.
Warna langit segera berganti hitam setelah semua jingga hilang dari pandangan mata. Jakarta tetap ramai dengan kendaraan. Ibu kota seperti tak ada matinya. Ara duduk disamping Rei. Menikmati makan malam yang disiapkan Ibu.
“Kereta berangkat jam berapa, Ra?” Tanya Ibu. Tangannya sibuk dengan bekal yang dia siapkan untuk perjalanan Ara dan Rei. “Jangan kebanyakan Tan bekalnya.” Sahut Rei dari balik piring makannya. Ibu mengabaikan suara Rei. Tangannya tetap menyiapkan bekal makanan yang mungkin bisa mereka makan selama perjalanan menuju jogja. “Jam sepuluh tepat, Bu.” Jawab Ara, mulutnya masih penuh dengan makanan yang belum selesai dia kunyah.