Ara terbangun dari tidurnya lebih cepat dari perkiraan. Mengambil ponsel dan melihat jam. “Masih terlalu pagi dari jadwal gua bangun.” Gumamnya. Dan berusaha kembali ke dalam dunia mimpi. Usahanya tak membuahkan hasil. Ara semakin merasa matanya tak bisa terpejam.
Setelah menyeduh segelas kopi instan, Ara melangkah menuju rooftop. Mengamati lingkungan sekitar. Jogja pagi hari tak kalah indah dengan Jakarta. Bibirnya pelan menyesap kopi yang masih mengeluarkan uap. “Coba lo ikut Mik, sudah gila lo enggak bakal mau pulang dah lo.” Gumam Ara. Kemudian tersenyum. Dari celah-celah gedung bertingkat, Ara melihat semburat jingga pagi mencuat. Membentuk garis-garis abstrak yang indah.
“Rei bangun. Lo harus lihat.” Ara pelan membangunkan Rei. Dia ingin sahabatnya bisa mengabadikan keindahan langit pagi ini. Yang dibangunkan tak bergerak sedikitpun. Ara menyerah. Setelah Mika, Rei adalah orang yang paling enggan dia bangunkan.
Satu gambar dia abadikan lewat ponselnya. Ara terlalu malas mengeluarkan kamera dari tasnya. “Buat apa lo beli kamera Ra kalau cuma disimpen di dalam tas mulu?” Ucap Rei suatu hari. Yang diikuti anggukan kepala Mika. “Gua juga heran Rei sama satu bocah ini.” Ucap Mika menimpali kalimat Rei. Dia tersenyum mengikat perjalanan mereka bertiga hari itu.
Ibu jarinya cepat mencari satu nama dalam daftar nomer di ponselnya. Satu lampiran gambar terkirim. “Selamat pagi dari atas rooftop dan langit pagi Jogjakarta, Mikaaa.” Tulis Ara. Sepagi ini Mika masih dalam alam mimpinya. Ara menyedap kembali kopi dari gelasnya yang mulai hilang kehangatannya.
“Menikmati langit pagi seindah ini sendirian?” Seseorang berdiri disampingnya. Wajahnya baru pertama kali dia lihat. Ara mengembangkan senyum di bibirnya. Kemudian mengangguk. Memang dia sendirian. Rei belum akan terbangun kalau matahari masih bersembunyi dibalik tirai hitam. “Dari mana?” Dia memulai percakapan. Ara menjawabnya singkat. Dia tidak begitu senang saat orang yang baru dia temui banyak bertanya.
“Rencana berapa lama di Jogja?” Ara mengembuskan napas panjangnya. “Lo nikmati aja langit pagi ini, nanti masih bisa bertanya.” Ucap Ara. Wajahnya menatap lurus ke arah timur. Sinar fajar mulai melebarkan semburat cahaya. Laki-laki yang berdiri diampingnya tersenyum simpul. “Aku fajar.” Ucap laki-laki itu. Mengulurkan tangannya. Ara mengangguk pelan. Dan menjawab singkat. Usahanya untuk menikmati pagi dengan segelas kopi sedikit terganggu.