Kasih Dalam Kisah

Rifah Khodijah
Chapter #1

Anak baru

Seringkali lingkungan menuntutmu untuk terlihat bahagia dan dunia tidak pernah butuh cerita sedihmu. Dunia hanya butuh cerita bahagia yang bahkan jika pun kamu mengarangnya dia tidak akan peduli. Banyak yang bilang ini terlalu munafik, tetapi kepura-puraan seringkali dibutuhkan untuk tetap membuat hidup terasa aman sesuai yang kau inginkan. Aku tidak membenarkan ini, tetapi mau bagaimana lagi?

Aku Ana. Ibuku bilang Ana nama yang cocok untukku karena semburat merah di kedua pipiku ketika aku baru saja dilahirkan. Sementara Ayahku bilang bahwa Ana tidak cocok karena nama itu terlalu singkat. Lalu Ibuku bilang bahwa Ana memiliki arti yang sangat cocok dengan putrinya, yaitu manis. Saat itu juga Ayahku menyetujui nama itu untukku. Sesederhana itu.

Kini aku sudah berusia 16 tahun, dan selama itu aku tidak pernah bosan melihat alat lukis Ayah ketika Ibu sudah lebih dulu bosan melihatnya. 

“Yah, aku berangkat.” Ku cium tangannya.

“Kata Ibu uangnya di atas meja makan, dibawah tisu. Jangan lupa beli makan di sekolah, hari ini Ibu kamu nggak masak lagi. Kalau Ayah yang masakin, takutnya kamu nggak suka.”

Sementara aku sudah lebih dulu melenggang tanpa menunggu kalimatnya selesai kudengar, tetapi meski begitu aku masih bisa mendengar kalimatnya dengan jelas, alasan itu yang membuatku bergumam untuk merespon. Menutup pintu membiarkan Ayah kembali pada aktivitas yang tidak pernah membuatnya merasa bosan. 

Dulu Ayah bilang, ketika dia sedang melukis untuk pesanan pelanggannya atau hanya menuangkan ide sebelum akhirnya dia jual, Ayah akan lupa pada apapun yang ada di sekitarnya. Ayah meminta maaf lebih dulu jika seandainya aku ikut dia lupakan ketika berhadapan dengan cat dan kanvas, tetapi Ayah berharap aku mau memberikan jatah makannya, perhatian-perhatian kecil seperti menyuruhnya untuk makan akan lebih mempan dibanding kalimat Ibu yang dia dengar. Tetapi sampai saat ini, aku tidak melakukan itu, kukira orang dewasa lebih tahu batasannya. Itu sebabnya hanya kuletakan makanan di meja samping easel yang akan Ayah makan setelah dingin, dia tidak suka makanan panas.

Masih kukayuh sepeda, sepeda yang sudah kelas 1 SMP kugunakan. Alasan kenapa aku masih memakainya tidak lain karena Ibu, Ibu yang membelikan ini untuk hadiah ulang tahunku sekaligus teman untukku ketika hendak berangkat sekolah. Aku bisa memaklumi, aku tidak merasa sakit hati karena sadar Ibu sibuk dengan kerjaannya tetapi masih berusaha memberi yang terbaik untukku.

Untuk beberapa kali kusapa orang-orang sekitar yang kukenal. Tinggal di sini jauh lebih menguntungkan dibanding di kompleks elit seperti tempat tinggalku yang dulu, terlalu banyak orang sombong yang seringkali mengabaikan padahal saling mengenal. Aku bahkan tidak yakin mereka memiliki rasa simpati. Berbeda sekali dengan tempat baruku saat ini, sekesal dan semarah apapun hari yang ku jalani, aku tetap melempar senyum ketika keluar rumah untuk membalas senyum ramah mereka.

“Pagi, Pak.” Kusapa Pak satpam juga, dia baru saja memasuki pos satpam dengan membawa secangkir kopi ditangannya.

“Pagi, Neng.” Dia belum tahu namaku meski sudah berulang kali kusapa semenjak menjadi anak SMA.

Ku parkirkan sepeda lalu berjalan menghampiri kelasku. Kudengar, ada anak baru hari ini, tetapi entahlah, itu bukan salah satu penyemangat bagiku. Aku hanya ingin segera lulus SMA, kuliah di luar negeri untuk bisa merasakan jauh dari Ayah, dari tempat tinggalku saat ini. 

“Selamat pagi anak-anak.” Sementara itu wali kelas kami datang, berdiri di depan kelas dengan senyum semringah. Pipi tembemnya terlihat cocok di wajahnya, semakin tampak manis ketika tersenyum. Dan itu benar, bukan hanya cari muka.

“Pagi, Bu.” Kami membalasnya kompak.

“Minggu lalu Ibu udah bilang kan akan ada teman baru buat kalian, sekarang Ibu akan kenalkan orangnya.” Sedangkan tangannya sudah melambai ke arah pintu yang terbuka.

Kelas terasa begitu hening ketika laki-laki jakung itu berjalan memasuki ruangan, berdiri di samping Bu guru. Dia tersenyum diawal, mengedarkan pandangan seolah sedang mencari fokus untuk dia pandang. Lalu matanya bertemu dengan mataku, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, dia menatapku lebih lama.

“Halo, saya Azril, saya pindahan dari SMA Unggulan, salam kenal.”

“Pasti bakal jadi incaran nih,” desis teman satu bangkuku, dia tidak sedang bicara denganku, dia hanya sedang memastikan dirinya sendiri. Karena kau perlu tahu bahwa sejak dulu aku tidak pernah memiliki teman yang begitu dekat, seperti kemanapun selalu bersama atau melakukan hal apapun bersama hingga mendapat julukan dari mereka yang terlalu sering melihatnya. Tetapi aku juga bukan menjadi bagian dari murid yang diasingkan di kelas atau bahkan di SMA, aku hanya akrab pada siapa saja, pergi kemanapun dan dengan siapapun tidak pernah masalah, aku tetap menikmati sekalipun merasa canggung diawal. Kecuali untuk pergi bersama Ayah, aku pasti akan langsung menolak karena obrolan yang seringkali membuatku kebingungan. 

“Itu di belakang masih ada bangku kosong, kamu boleh duduk disana,” kata Bu guru, tetapi langkah pertamanya terjeda dan semua orang di ruangan mendapatkan satu fokus yang sama untuk diperhatikan. Lira, teman sebangkuku yang semula masih terduduk di kursinya mendadak beranjak menghampiri bangku yang Bu guru tunjuk. Dia berhasil terduduk, dan Azril mulai melangkah menghampiri ke bangku dibarisanku. Aku mulai curiga dia akan duduk di sebelahku, dan apa yang kuduga menjadi nyata, dia duduk di kursi yang sebelumnya Lira duduki.

Semua orang tertawa melihat pemandangan ini setelah semua orang paham apa yang coba Lira lakukan dengan cara berpindah. Dia berharap Azril bisa duduk di sebelahnya dibangku belakang tetapi justru Azril mengira dia membiarkan dirinya terduduk di sampingku.

“Terima kasih iya, Lira,” kata Bu guru bersamaan dengan itu, entah tahu yang sebenarnya atau tidak. Tetapi harusnya Bu guru bisa langsung paham dengan bagaimana semua murid di depannya tersenyum geli, kecuali Azril yang diam seolah benar bahwa dia sedang di hormati saat ini sebagai murid baru yang lumayan—tampan.

“Kenapa?” tanyaku ketika ditengah jam belajar dia masih mencoba menatapku seolah ada yang perlu dia pastikan. Tanpa kalimat dia terus menatapku lalu kembali menatap depan seolah hiburan.

Dia menggeleng, lalu fokus menatap depan dengan sesekali menunduk untuk menulis. Namun rupanya dia masih ingin menatapku, tetapi lagi-lagi tidak langsung berucap apa-apa. 

“Aku jadi nggak nyaman kalau kamu kayak gitu. Lihatin aku kayak coba memastikan sesuatu.”

“Maaf—“

“Nggak apa-apa, tapi jangan diulangi lagi. Aku nggak galak, kok. Kalau ada yang mau kamu tanyain nggak apa-apa, tanya aja. Aku bakal jawab kalau memang bisa aku jawab.”

Azril mengangguk. Ketampanan yang dia milikku hilang setengahnya, setidaknya bagiku. Dia seperti orang aneh sekarang, atau hanya aku yang ingin menganggapnya demikian? Mungkin.

“Aku Azril.” Dia kembali bersuara tetapi untuk kali ini, dia mencoba fokus menulis ketika mulutnya berucap demikian. Dugaanku memang benar, bahwa ada hal yang ingin dia tanyakan tetapi seolah sulit untuk mencari kata awalan. Paling tidak, dia mau menuruti apa yang kumau untuk tidak mengulangi menatapku seperti seolah sedang memastikan sesuatu.

“Hm. Aku tau, kamu baru aja bilang waktu perkenalan.” Aku meladeni, entah sikap anehnya akan berakhir sampai mana.

“Kalau kamu? Nama kamu siapa?”

Perlahan aku sadar, mungkin itu alasan kenapa dia bersikap menyebalkan sebelumnya. “Itu yang mau kamu tanyain?” tanyaku berhenti menulis, menatapnya dengan senyum geli.

Azril mengangguk pelan sementara mulutnya bergumam membenarkan. Kini, dia lebih terlihat seperti anak manja yang bahkan di usianya dia tidak tahu apa-apa. Maksudku, iya begitulah. “Aku boleh minta nomor kamu?”

Aku salah mengira kepribadiannya. Aku mulai yakin alasan kenapa dia memiliki kulit putih bersih seperti itu, dia pasti tidak pernah keluar rumah selain untuk belajar di sekolah. Aku bahkan bisa memaklumi kenapa sebelumnya dia bisa berada di SMA Unggulan meski akhirnya dia pindah ke SMA ku yang biasa saja, yang cukup biasa saja. Tetapi semua orang tahu bahwa pendidikan yang diajarkannya sama, hanya saja cara dan biayanya yang berbeda.

“Nomor sepatu?” candaku, aku tahu maksud yang sebenarnya.

“Nomor hape kamu.”

“Kenapa nggak nomor sepatu aja? Sepatuku udah rusak, siapa tau kamu mau beliin.” Aku hanya kembali bercanda, lagipula sangat memalukan jika kuminta itu sungguhan pada seseorang yang baru ku kenal.

“Memangnya nomor berapa?” tanyanya, aku merasa mampus setelah dia meladeni kalimatku dengan wajah dan nada bicara yang tak sama. Azril tampak serius dari kalimatku sebelumnya.

“Nggak, bercanda.”

“Aku juga bercanda.” Dia tersenyum di akhir.

Aku berhasil mengernyit, dia membuatku kebingungan. “Sini.” Kuraih salah satu tangannya untuk mengakhiri candaan yang terasa aneh kami lontarkan. Menulis satu angka di ujung jari jempolnya, menebalkan satu angka itu sebelum akhirnya ku tempelkan di kertas bawah miliknya. Seolah stempel, kutekan kuat jarinya hingga angka yang kutulis bisa tertempel sempurna di sana. Ku ulangi di ujung jari yang berbeda hingga kembali lagi ke jari yang sudah ternodai dengan tinta. Terakhir, kutulis namanya di bawah nomor itu dan tanpa sadar Azril sudah tersenyum geli menyaksikan. “bukan karena caranya yang sulit, ini cuma cukup menyenangkan aja,” kataku.

Azril mengangguk. Memperhatikan nomor yang kutulis dibawah buku tulis di halaman pertama sementara suara Pak guru sudah berhasil menggantikan suara wali kelasku sejak di menit pertama Azril terduduk di sampingku.

“Panggil aja Ana, lagian namaku cuma segitu.”

Azril kembali mengangguk, masih menunjukkan senyum seolah orang bodoh yang lupa bagaimana caranya untuk berhenti tersenyum. Dan setelah tahu itu hingga kuanggap sebagai kebiasaan anehnya, aku lebih suka dan berharap dia diam dengan wajah dingin, ekspresi itu selalu cocok untuk laki-laki tampan seperti dirinya. Memberi kesan misterius dan menjadi daya tarik tambahan untuk kaum hawa yang penasaran. 

Lihat selengkapnya