Kasih Dalam Kisah

Rifah Khodijah
Chapter #2

Kepura-puraan

Hari ini SMA diliburkan, tetapi aku sudah terlanjur berangkat karena kembali lupa. Entah kenapa semakin ke sini aku semakin pelupa, bahkan hal yang sebelumnya kukira sudah kuhapal sepenuhnya. Tiba-tiba aku menghentikan kayuhan sepedaku, memilih terduduk di halte untuk melihat pepohonan di depan yang seolah di tanam untuk disakiti. Seolah terjebak dalam semen tidak bisa keluar, atau leluasa sedikit untuk bergerak menghampiri temannya. Semua orang ingin pergi dari cerita menyedihkannya, tetapi selalu ada yang menahannya untuk melakukan itu. Cerita bahagia setelahnya yang bahkan masih terdengar abu-abu, atau tidak sama sekali.

Kuhela napas, mengira bahwa hanya kehidupanku yang rumit. Semua orang akan menduga aku baik-baik saja, tetapi tidak pada kenyataannya. Aku senang jika mereka menganggapku demikian, tetapi ketika sudah sendiri aku cukup merasakan luka yang luar biasa kurasakan. Aku tidak ingin berpura-pura, tetapi keadaan seolah mengatakan harus terlebih setelah bertemu Azril, laki-laki yang kukira paling bahagia kehidupannya meski dia tampak kekanak-kanakan. Mungkin itu resikonya, selalu ada hal yang hilang ketika semuanya bisa dia dapatkan. 

Ponselku berbunyi di tengah itu, Azril menghubungiku tidak seperti biasanya. Aku bahkan hapal dia akan menghubungiku dijam berapa, minggu siang dan malam, seringkali tanpa alasan dan cukup diam. Ketika aku kesal, dia hanya bilang; maaf, An, aku cuma lagi butuh teman ngobrol, tapi nggak tau harus ngobrol apa. Tanpa dia sadar, dia menjadikanku sebagai orang yang tepat untuk dia jadikan teman bicara. Aku tidak menyalahkannya karena dia sudah bersikap demikian, karena tanpa sadar aku sering memaksakan diri untuk mengajaknya bicara tanpa memedulikan kekesalanku sendiri.

“Kenapa?” tanyaku untuk kesekian kali, aku hanya menduga bukan alasan sama yang akan dia katakan.

Aku pikir belum bangun.”

“Aku bahkan udah sampai SMA.” Aku bisa membayangkan wajah kebingungannya ketika harusnya Azril tertawa meledekku, itu kan yang namanya teman? Menjadi orang pertama yang meledek temannya ketika melakukan hal yang cukup memalukan.

Bukannya diliburin, iya?” 

“Terlalu rajin.”

Kamu lupa lagi.”

“Kenapa telepon? Tumben banget pagi-pagi telepon.” 

Aku lagi pengin nonton film, kamu bisa temenin aku nggak?” Lebih tepatnya menjadi orang yang membelikan tiket nonton sampai menghentikan taksi untuk bisa turun. “aku yang bayarin.

“Biasanya juga gitu.” Karena Azril masih suka membuang uang untukku, tidak peduli seberapa banyak peringatan yang kulontarkan, tanpa peduli juga seberapa banyak kekesalan yang mulai berani sedikit kutunjukan, tetapi Azril tidak akan mau mengerti itu. Dia akan mengulanginya kembali, terlalu suka atau terlalu baik.

“Kenapa nggak sore aja?”

Boleh. Tapi aku mau lihat-lihat buku dulu.

“Jadi sekarang?”

Hm.”

“Iya udah,” kataku pada akhirnya. Hendak kumatikan sambungan, Azril kembali memanggilku hingga menjeda itu. Aku bergumam.

Kamu udah makan belum?

“Udah.” Padahal nyatanya perutku masih sama kosongnya seperti pagi sebelumnya, tetapi kali ini aku tidak berkata jujur karena tahu akhirnya Azril akan mengajakku makan lebih dulu yang selalu dia traktir.

Hm, iya udah. Tapi kamu jemput aku, kan?

“Iya.” Kumatikan sambungan setelahnya, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya aku kembali mengayuh sepeda untuk sampai di rumah Azril yang tidak pernah kulihat ayah ibunya di rumah.

Dia selalu sudah menunggu di depan gerbang rumahnya sebelum kuketuk pintu atau berteriak untuk memanggilnya—jika saja aku tidak malu untuk melakukan itu. 

“Sepedanya taruh di sini lagi aja, An,” ucapnya ketika sudah ingin kuletakan sepedaku di depan rumahnya, lagipula ini bukan kali pertamanya kutinggalkan sepedaku di rumahnya untuk bisa menonton film atau pergi jauh bersamanya. Bahkan untuk kesekian kali anak di SMA mengira kami berpacaran, mereka bilang kedekatan kami terlalu berlebihan jika hanya dikatakan teman, padahal memang itu kenyataannya, kami hanya teman, dia bagian yang merepotkannya sementara aku bagian yang membantunya menyelesaikan setiap masalah.

“Mau pakai switer—“

“Boleh.” Aku sudah lebih dulu menebak sebelum Azril selesaikan kalimat.

Azril melenggang meninggalkanku yang sudah kembali berdiri di depan gerbang rumahnya. Azril kembali dengan membawa switer berwarna navy dengan corak seperti batik di bawahnya. Kuraih dari tangannya untuk segera kupakai, dia tidak akan berniat untuk memakaikan itu di tubuhku, lagipula aku tidak ingin mendapat perlakuan spesial semacam itu darinya. Itu terlalu berlebihan untuk seorang teman, terlalu berlebihan.

“Nonton film apa?” kutanya ketika harusnya aku tahu Azril akan kembali menonton film fantasi yang tidak kumengerti, terlalu berkhayal tinggi yang bahkan membuatku memilih untuk memejamkan mata disaat Azril menikmati layar lebar di depannya. Jelas ini bukan filmnya yang kurang bagus, tetapi aku yang tidak suka genre fantasi, hidup ku saja sudah penuh fantasi dan dengan menonton film atau membaca buku bergenre sama sudah berhasil membuatku tersindir dan merasa malu. Aku mungkin akan menjadi pengarang luar biasa bagi hidupku sendiri jika seandainya mereka tahu.

“Kamu mending tungguin di situ aja, kalau nggak kamu aja yang beli aku yang duduk.” Itu sedikit sindiran dariku untuk kesekian kali. Azril lebih terlihat adikku dibanding teman sebayaku, terus mengikutiku pergi bahkan ketika dia tidak mau membeli sesuatu dan menyuruhku yang membelinya, tetapi dia tetap berada di sampingku.

Dia hanya bisa berkedip menatapku, sementara aku berhasil merasa bersalah hanya karena itu. Entah hatiku terlalu baik atau tidak, aku bisa merasakan sungkan dan menyesal begitu cepatnya. Terutama untuk Azril, mungkin karena aku tahu dia lemah, melebihi perempuan. Dan sedikit bodoh sepertinya, mencuci tangan di kobokan saja tidak tahu caranya, dan membuka segel botol minuman pun perlu kubantu juga. Kuhela napas kembali melihat antrean yang sebentar lagi.

“Kamu di sini aja,” kataku bersamaan dengan itu.

Tanpa kutanya aku sudah tahu dia mau duduk dimana, tiga kali lebih menonton film bersamanya tidak ada perubahan tempat duduk, selalu mau di barisan paling belakang, di tengah. Tiket sudah kupegang, Azril memilih jam sore ketika kukira dia akan memilih jam siang karena itu waktu yang paling dekat sekarang. Aku benar-benar lupa jika Azril berniat untuk melihat-lihat buku sebelum menonton, iya, itu alasannya, sudah kuingat sebelum kutanya, sedikit merasa lega karena tidak mendapat kalimat; kamu lupa lagi.

“Sebenarnya kamu mau beli buku apa? Mau aku tanyain aja ke Mba-Mba nya?” kataku setelah lima belas menit tidak ada buku yang di raih. Hanya berjalan melewati rak satu ke rak lainnya, melihat tanpa menyentuhnya lalu kembali berjalan. 

Azril menggeleng, masih dengan senyum bodoh yang dia tampakan sebagai pandamping responnya. “Aku pengin makan es krim.”

Seolah anak kecil, kemauannya harus segera ku turuti. Bukan karena Azril terdengar memaksa, tetapi yang yang selalu saja merasa kasihan jika harus menolak keinginannya. Wajah pucat dan tubuh kurusnya membuatku semakin merasa simpati, seolah selalu kedinginan, switer tidak pernah lepas dari tubuhnya, atau hoody sebagai pengganti.

Kami berhenti di outlet es krim, tetapi bukan hanya ada es krim, melainkan donat dalam kaca yang bersinar, dan brownies. Itu memang menggiurkan, itu sebabnya aku membelinya. Aku kembali menghampiri Azril yang sudah terduduk anteng, dia tidak pernah kulihat memainkan ponsel ketika sedang menunggu sesuatu, atau untuk menghilangkan kebosanan yang dia rasakan. Tetapi aku tidak pernah mengira dia tidak memiliki ponsel, karena nyatanya kami sudah sering berbalas pesan dan bicara dalam panggilan. 

Kusodorkan es krim dalam cup ke arahnya, sementara aku sudah terduduk di depannya dengan brownies cokelat yang sudah lebih dulu kucicipi dengan tanganku. Ketika kukira Azril sudah melahap es krimnya, dia justru memperhatikanku dalam diam. Kutatap kembali tanpa bertanya, pun Azril yang masih diam menatapku seolah tak mau kalah. Dia memang selalu saja begitu. Hingga perlahan aku tahu alasan kenapa dia terdiam menatapku, dia ingin brownies juga.

Aku kembali beranjak untuk membeli satu brownies lagi untuknya. Tanpa perlu kutanya dia mau yang rasa apa, aku sudah lebih dulu yakin maunya apa. Lagipula, Azril selalu mau apapun yang ku beli. Rasanya aku ingin tahu hal apa yang tidak dia sukai disaat aku sangat menyukainya, Azril terlalu senang mengikuti apapun yang kusuka ketika harusnya tidak.

“Makasih,” ucapnya setelah aku kembali terduduk di depannya.

Aku hanya bergumam, lalu berusaha untuk menghabiskan brownies ku sementara Azril, dia sudah memakan es krimnya. Kini dia tampak terlihat pintar dengan sedikit alasan, Azril tahu jika sebentar lagi es krimnya akan mencair.

“An.”

“Hm.”

“Ulang tahun kamu kapan?”

“Udah lewat.”

“Kapan?”

“Agustus.”

Azril bergumam paham. 

“Kalau kamu?” tanyaku setelah sempat diam. Azril mungkin ingin kutanya balik mengenai hari lahirnya.

“Sudah lewat juga.”

“Januari?” Aku hanya sedang menebak.

Azril menggeleng.

Lihat selengkapnya