Kasih Dalam Kisah

Rifah Khodijah
Chapter #3

Peter Pan

Suasana sepi rumahnya tidak membuatku bertanya. Menjaga hati seseorang jauh lebih baik dibanding harus menuruti rasa penasaran. Sudah sejak setengah jam yang lalu aku terbaring sedikit memiringkan wajah menatapnya sementara Azril tidak sadar akan hal itu. Dia berhasil memunggungiku dan sofa yang ku tempati, terduduk bersila menatap fokus layar pipih di depannya. 

“Mau minum?” tanyaku, sama sekali tidak ada hidangan sejak tadi, Azril langsung menyalahkan televisi yang lebih canggih dari televisi di rumahku ketika kami sampai. Sementara orang tuanya tidak juga kutemukan.

“Hm.” Hanya gumaman yang kudengar, aku beranjak, berinisiatif mencari sendiri keberadaan barang yang akan kubutuhkan seperti gelas di dalam lemari dapur. 

“Mau sekalian aku bikinin mie instan nggak?” tanyaku dari kejauhan, itu sebabnya aku sedikit berteriak ketika berucap agar dia bisa mendengar. Sejujurnya karena aku lapar, akan sangat memalukan jika hanya aku yang makan sedangkan pemiliknya tidak. Beruntungnya Azril mau mengiyakan, jika tidak aku memilih untuk menahan perut keronconganku karena tidak makan siang.

“Boleh, An. Yang goreng.”

“Mie nya dimana?”

“Di rak atas, yang kedua.”

Kubuka rak atas yang kedua seperti yang Azril katakan, kuambil dua mie goreng lalu memasaknya. Perlu beberapa menit sebelum akhirnya aku kembali menghampiri Azril dengan membawa dua mangkuk berisi mie sementara ditengah itu Azril tidak memanggilku untuk bertanya mengenai mie yang sedang kumasak, dia semakin terlihat pendiam setelah dihadapkan pada hal yang dia anggap menyenangkan. 

“Minumnya,” kataku setelah bolak balik menghampiri dapur, Azril tidak beranjak atau hanya basa-basi untuk menolongku membawa mie dan gelas, dia hanya terduduk anteng.

“Makasih, An.” Meski begitu dia tidak langsung melahapnya, aku meletakan mangkuk tidak tepat di depannya, harusnya aku sadar diawal. Dia memang manja.

“Zril, lihat ke makanannya nanti—“ kataku setelah kembali kuletakan tepat di depannya, setelah Azril melahapnya tetapi kedua matanya tetap terarah ke depan.

“Iya, An.” 

Harusnya aku kembali sadar diawal, dia tidak akan beralih untuk hal yang dia sukai, terlalu keras, bahkan perlahan sifatnya membuatku teringat Ayah. Azril sama keras kepalanya seperti Ayah, dia tidak akan berhenti jika belum membuat hatinya bahagia hingga merasa lega. Aku memilih diam, menikmati mie yang masih panas dibanding harus memperingatkan Azril kembali, biarkan saja, jika pun nanti mie nya masuk ke hidung dia pasti akan merasakannya.

“Memangnya ini baru pertama kalinya kamu nonton film Peter Pan, Zril?” Aku hanya heran saja. Harusnya jika ini bukan kali pertamanya dia menonton reaksinya tidak akan seberlebihan itu, terdiam melongo seolah takjub. 

“Nggak, An.” Aku bisa tahu bahwa dia sedang tidak ingin aku ganggu, nada bicaranya bilang begitu. 

Aku diam setelah itu, menghabiskan mie lalu kembali terbaring di sofa belakang Azril. Saat itulah aku tersadar dia tidak sepenuhnya memakan mie yang kubuat, bahkan banyaknya terlihat masih sama seolah belum dia makan sekalipun. Masih kubiarkan, padahal aku sudah ingin meraih mangkuknya untuk kumakan dengan alasan kubuang ke tong sampah. Paling tidak, aku masih memiliki rasa malu untuk hal seperti ini, sangat rakus ketika lapar meski mungkin itu memang wajar.

“An,” panggilnya melipirkan tubuh setelah film yang dia putar selesai. 

“Hm.” Sementara itu aku beranjak untuk bisa terduduk. 

“Mie nya enak, tapi aku udah kenyang.”

“Iya udah, aku buang aja?”

Azril mengangguk.

“Tapi mubazir. Biar aku aja yang habisin,” kataku, itu memang mauku.

“Jangan, An, itu bekas aku.”

“Nggak apa-apa, katanya kita teman.” 

Aku terduduk di sampingnya, diatas lantai seolah lesehan. Mulai melahap mie dengan santai seolah tidak sedang kelaparan. 

“Makasih iya, An.”

“Buat apa?” tanyaku dengan keadaan mulut penuh.

“Buat mie nya, dan buat janji yang kamu tepati.”

“Temenin kamu nonton?”

Azril mengangguk.

Lihat selengkapnya