Kasih Ibu Sepanjang Malam

Indah lestari
Chapter #1

Bekerja Seperti Biasa #1

Eni namanya, berkulit kuning langsat, berumur 24 tahun. Gadis lugu dari desa yang bermimpi untuk bekerja di kota, supaya keluarganya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.

Desa Eni terletak di pinggiran daerah Jawa Barat, tepatnya di Pantai Pangandaran, kehidupan mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan.

"Ah ... lagi-lagi hanya mimpi," gumam Eni. Ia terbangun dari tidurnya, rupanya ia telah bermimpi mengisi liburan di kampung halamannya.

Kakinya beranjak dari kamar kontrakan berukuran kecil menuju kamar mandi di depan. Di sana hanya tersedia 2 kamar mandi dan 2 WC saja yang sering digunakan beramai-ramai, total penghuni kontrakan ada 14 orang.

Itulah sebabnya Eni bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari bersinar, sebab ia tidak ingin mengantri panjang hanya untuk ke kamar mandi.

Kontrakan yang ditinggali Eni terletak di daerah Klender, Jakarta Timur. Eni sudah terbiasa mencuci pakaian di jam segini. Selesai mencuci, Eni bersiap untuk mandi, ia butuh membasuh tubuhnya yang sudah gerah dipenuhi oleh keringat.

Tangan Eni melilitkan handuk di leher jenjangnya, ia berjalan sambil menenteng gayung yang berisi perlengkapan mandi, dan juga pakaian gantinya.

Terdengar bunyi pintu seng, yang ditutup rapat oleh Eni. Beberapa saat setelah menutup pintu, Eni dikagetkan oleh ketukan pintu seng dari luar kamar mandi.

Tok ... tok ... tok.

"Siapa di dalam?" seru Niken, tetangga sebelah rumah kontrakan Eni.

"Eniii!" teriak Eni dari dalam kamar mandi.

"Buruan, ya," Niken ikut berseru, dia juga ingin cepat-cepat mandi sebelum pagi tiba.

Mata Niken masih sangat mengantuk, ia menunggu Eni yang sedang mandi sambil berjongkok di samping dinding seng kamar mandi tersebut.

Terdengar sayup-sayup suara air yang disiram menggunakan gayung. Rasa kantuk Niken menjadi tak tertahankan, ia tertidur sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding seng kamar mandi.

Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB, antrian kamar mandi semakin mengular, semua penghuni rumah kontrakan adalah pekerja, mereka juga ingin mandi sebelum berangkat kerja.

Begitu pun dengan Niken, yang juga masih tertidur lelap sambil bersandar di dinding seng kamar mandi. Niken adalah seorang pekerja di warteg dekat Stasiun Jatinegara.

Pintu kamar mandi dibuka lebar menimbulkan suara derakan yang khas. Ia sudah berpakaian rapi dan wangi, siap untuk berangkat bekerja, kakinya melangkah meninggalkan kamar mandi, sambil membawa baju kotor dan perlengkapan mandinya.

Terasa diburu oleh waktu, Eni sampai tidak menyadari ada Niken yang tertidur pulas akibat menunggunya mandi hingga selesai.

Antrian selanjutnya diisi oleh teman kontrakannya yang lain, tidak ada orang yang berani membangunkan Niken, sebab Niken terkenal dengan sifatnya yang toxic. Tidak ada satu orang pun yang mau berurusan dengannya.

Setelah merapikan perlengkapan mandi, Eni mengunci pintu rumah kontrakannya dan bersiap untuk berjalan kaki menuju tempat kerjanya di toko roti milik Keluarga Liem.

Di sepanjang perjalanan, Eni selalu melihat jam tangan kesayangannya, meski harganya murah tapi ini merupakan hadiah pemberian dari Mbah Parmo dan Istrinya ketika Eni berulang tahun.

Langkah kaki Eni semakin cepat, ia tidak ingin datang terlambat, ia tahu betul di menit keberapa kereta akan lewat tepat di depan wajahnya.

Setiap hari Eni harus melewati gang sempit padat penduduk dan rel kereta api, itu sebabnya Eni selalu berjalan terburu-buru supaya ia bisa menyebrangi rel kereta api tanpa harus menunggu lama.

"Sarapannya, Kak?" tawar bocah penjual aneka kue yang tiba-tiba lewat.

Setiap pagi bocah perempuan itu selalu menyapa Eni untuk menawarkan dagangannya, barangkali wanita itu mau membeli, sebab tidak setiap hari Eni mau membeli dagangannya.

Melihat banyaknya aneka kue yang dijual bocah tadi, perut Eni semakin keroncongan, ia butuh sarapan supaya bisa kuat bekerja seharian, Eni mulai merogoh kantong celananya. Hanya ada koin 100 rupiah, Eni bersyukur karena uangnya cukup untuk membeli satu buah pisang goreng, yang bisa membuat perutnya kenyang seharian.

"Mau satu pisangnya, Dek," seru Eni kepada anak perempuan tersebut.

"Boleh, Kak, silakan." Bocah perempuan itu bergegas mengambil selembar daun pisang untuk dijadikan alas pisang goreng.

Satu porsi pisang goreng yang masih hangat dibalut daun pisang disodorkan ke hadapan Eni. Eni segera mengambilnya kemudian tersenyum. 

"Terima kasih," kata Eni sambil menyerahkan uang seratus rupiah tadi.

Lihat selengkapnya