Seorang pria berusia 30-an tampak sibuk mengerjakan pekerjaannya di balkon belakang rumahnya yang megah. Balkon tersebut menghadap ke perkebunan rumahan dengan taman kecil di tengah, pemandangan hijau dan asri pun tampak begitu memanjakan mata.
"Somat, coba kamu lihat ke depan!" seru Ferry lewat walkie talkie-nya.
Di rumah yang sangat besar itu seluruh penghuninya memiliki walkie talkie. Benda itu tersimpan di beberapa tempat seperti kamar, ruang tamu, dapur. Para pekerja di rumah itu juga diberi walkie talkie, guna mempermudah komunikasi.
"Baik Tuan, saya cek," sahut Somat melalui walkie talkie miliknya. Setelah pembicaraan selesai, ia menutup benda yang digunakan sebagai sarana komunikasi itu, dan segera melangkahkan kaki menuju halaman depan.
Somat menarik napas panjang terlebih dahulu, sebab butuh waktu beberapa menit berjalan dari kebun belakang rumah menuju ke depan pintu pagar.
Ia sudah sangat bosan bekerja sebulan full tanpa libur, karena mendapat hukuman dari majikannya, sebab ia telah ketahuan berbohong untuk mendapatkan cuti libur kerja.
Somat melangkah dengan malas, ia masih ingat betul bagaimana Mbak Sum memergokinya sedang berpacaran di taman dengan seorang wanita kenalannya. Hal tersebut membuatnya harus berbohong kepada majikannya bahwa dia sedang sakit, dia melakukan itu untuk bisa mendapatkan libur kerja.
Sialnya, Somat lupa jika hari itu adalah jatah liburnya Mbak Sum, ia tidak sengaja bertemu dengan Mbak Sum yang juga sedang kencan bersama pacarnya di taman yang sama, pada akhirnya Somat dan Mbak Sum saling memaki di taman, di hadapan pacarnya masing-masing.
"Kamu sudah dikasih kerja enak, dapet makan, dapet gaji, tidur, dan mandi gak perlu bayar, kamu masih tega bohong kepada majikan!" hardik Mbak Sum di hadapan banyak orang.
"Sudah, Dek. sudah! Malu dilihat sama orang." Pacar Mbak Sum mencoba menenangkan emosi perempuan tersebut.
"Biarin aja, Mas. Ini orang mesti diajari etika, biar tahu diri, biar bisa tahu malu!" cecar Mbak Sum meluapkan semua emosinya kala itu.
Sangat jelas kalimat yang dilontarkan Mbak Sum pada hari itu terus terngiang-ngiang sampai detik ini, kata-kata Mbak Sum seperti menampar kesadaran Somat, ia menyesal telah berbuat demikian.
"Haaaah ... nasib, nasib," keluh Somat. Dia merasa dirinya sangat sial. Namun, ia juga menyesali segala perbuatan curangnya selama ini.
Bayangan Somat seketika buyar ketika dia merdengar suara bel yang ditekan berulang-ulang dari arah depan. Somat semakin mempercepat langkahnya.
"Ya, tunggu sebentar!" teriaknya.
Seperti biasa Somat mengintip dari balik pagar, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengintip terlebih dahulu sebelum ia membukakan pintu pagar.
"Eh, ya ampun, ada cewek cantik," gumam Somat begitu melihat siapa orang yang ada di luar pagar, matanya seketika berbinar.
Ia segera merapikan rambut serta pakaiannya. Tak lupa mencium kedua ketiak untuk mengecek bau badannya sebelum berhadapan dengan wanita cantik yang dilihatnya tadi.
"Ya lumayan lah, masih wangi dikit." Somat cengengesan.
Ia sudah tidak sabar untuk berkenalan dengan gadis yang ada di balik pintu pagar ini. Segera saja ia membuka pagar dengan memutar kunci gemboknya terlebih dahulu. Eni menoleh ketika mendengar suara kunci pagar yang dibuka oleh Somat.
"Permisi ...." Eni tersenyum ramah ketika seorang pria membukakan pagar rumah besar tadi.
"Hmmm ... eh, iya neng yang cantik ada apa, ya?" Somat kini berhadapan langsung dengan Eni. Senyum pria itu tak kunjung hilang dari wajahnya sebab ia terkesan dengan kecantikan Eni.
Entah apa yang ada di pikiran Somat, Eni tidak terlalu menggubris kalimat berisi gombalan tersebut, yang terpenting Eni sudah mengantarkan pesanan roti ke tangan pelanggan secepatnya.
"Ini saya mengantar pesanan roti atas nama Ibu Amalia." Eni menyerahkan secarik nota yang harus dibayar oleh Ibu Amalia.
"Sebentar, ya, cantik. Saya mau konfirmasi dulu ke Ibu Amalia." Somat menjawab ramah.
"Iya, Pak."
"Eh, jangan panggil saya pak, panggil aja saya Bang Somat."
Somat menginterupsi panggilan Eni terhadapnya. Lagipula Somat masih muda, tidak seharusnya gadis cantik memanggilnya dengan sebutan bapak, pikirnya.
"Iya, Pak, eh, maksudnya Bang."
"Nah begitu, tunggu dulu sebentar di sini, ya. Saya mau masuk dulu." Somat berpamitan terlebih dahulu dan segera meninggalkan Eni di depan pagar.