"Kok tiba-tiba tutup, Koh?"
Eni kebingungan sebab mereka tutup lebih awal hari ini. Biasanya toko buka sampai malam, tapi ini baru siang hari dan Koh Liem sudah menutup tokonya. Eni bertanya sambil ikut membereskan semua roti ke dalam lemari rak besi, yang ada di sudut ruangan.
"Owe takut, katanya ada demo." Koh Liem bergegas menutup toko rotinya.
"Tapi Koh, rotinya belum habis."
Eni justru memikirkan roti-roti yang tak terjual hari ini, sebab dia tahu Koh Liem pasti akan mengalami kerugian, tapi pria tua itu hanya menjawab santai. "Gak apa-apa, En. Kita sudah menjual separuh."
"Terus mau diapain sisa rotinya?"
"Kamu bawa pulang aja, En. Bagiin ke orang-orang," ucap Koh Liem sambil memberikan kantong plastik besar kepada Eni.
Eni mengangguk, dengan sigap ia memasukan semua roti ke dalam kantong plastik besar tersebut. Di sela-sela pekerjaannya Koh Liem juga memberikan titah pada Eni, gadis itu hanya bisa mendengarkan semua perintah atasannya.
"Owe butuh satu pekerja lagi, kamu bantu cariin, ya."
"Lelaki apa Wanita Koh?"
"Wanita." Koh Liem menjawab singkat, ia mulai mencari kunci toko di antara banyaknya kunci yang menumpuk.
"Baik koh." Eni menyahut singkat, ia segera mengambil tas selempangnya bersiap untuk pulang. "Koh, saya permisi pulang dulu, ya."
"Ya En, terima kasih, ya."
Kepala Eni hanya mengangguk membalas ucapan Koh Liem, ia kemudian pergi meninggalkan toko roti tua itu sembari menenteng roti dalam kantong plastik. Di sepanjang perjalanan pikiran Eni mulai sibuk menghitung jumlah tetangga rumah kontrakannya, ia berniat membagikan roti kepada tetangganya dan separuhnya lagi akan ia bagikan kepada siapa pun yang ia temui di jalan.
Dengan penuh semangat kaki Eni terus melangkah, menyusuri jalan menuju rumah kontrakannya, tapi ketika ia tiba di rel kereta tempat biasa menyebrang, ada banyak kue tercecer di sekitar rel, bahkan sebagiannya lagi hancur karena terinjak.
Sambil menahan napas, Eni sungguh menyayangkan semua kue yang telah jatuh di sekitaran rel tersebut. Bagi Eni tindakan membuang-buang makanan adalah hal yang mubazir, berdosa untuk dilakukan, karena masih banyak orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.
Ketika selesai menyebrangi rel, telinga Eni mendengar sebuah tangisan anak kecil, suaranya menarik perhatian, membuat hati Eni menjadi pilu dibuatnya.
"Kamu kenapa nangis?" Eni mendekati sumber suara dan mendapati anak kecil yang sedang menagis itu, ia mencoba menenangkan anak kecil tersebut, tapi tangisnya tak kunjung berhenti. Ketika Eni memperhatikan anak itu dengan saksama, ia baru mengerti penyebab anak tersebut menangis seorang diri.
Rupanya anak perempuan tersebut adalah penjual kue, yang setiap pagi menjajakan kuenya di pinggir rel penyebrangan. Eni mencoba memikirkan cara untuk membuat anak kecil tersebut berhenti menangis.
"Kakak bisa bantu kamu, kamu jangan nangis lagi, ya."
Ucapan Eni yang satu itu tampaknya berhasil, terbukti tangis anak tersebut berhenti, dia mulai menatap Eni dengan mata yang berkaca-kaca.
"Beneran, Kak? Kakak bisa bantu aku?" tanya gadis kecil itu sambil mengusap air matanya.
"Beneran, nih Kakak punya Roti banyak." Eni menunjukkan kantong plastik besar yang berisi banyak roti.
"Caranya gimana Kakak mau bantu aku?" tanya gadis kecil itu dengan polos.
"Coba sekarang kamu cerita masalah kamu, Kakak janji akan bantu kamu."
Gadis itu menunjuk kue jualannya yang tercecer tadi dengan nada sedikit tak jelas. Namun, Eni paham apa yang anak itu ucapkan. "Kue aku jatuh semua di sana."
"Iya Kakak tau, terus?" tanya Eni lagi, berusaha membuat anak kecil tersebut supaya mau jujur menceritakan masalahnya.
"Terus aku bingung, kalau kuenya jatuh semua, aku mau setoran pake apa?" Gadis kecil itu kembali menangis.
"Oh itu masalahnya, oke Kakak bantu, ya, udah diem jangan nangis lagi, yuk bantuin Kakak." Nadanya penuh semangat, sembari berdiri dan menarik tangan bocah kecil itu.