Pagi ini Eni memulai aktivitasnya untuk bersiap berangkat bekerja. Kejadian kemarin membuat ia berpikir untuk mengajak Sinta bekerja dengannya di toko roti. Hal itu dilakukannya sebagai rasa balas budi karena Sinta sudah menolongnya ketika pingsan kemarin.
“Yakin kamu mau kerja hari ini?” tanya Sinta yang terlihat cemas ketika Eni sudah berpakaian rapi.
“Iya, aku udah sehat lagi kok. Yuk, kamu ikut aku kerja,” seru Eni, mengajak Sinta untuk pergi bekerja di toko roti bersamanya.
“Emang boleh aku ikut kerja?” selidik Sinta yang heran dengan ajakan Eni.
“Ya boleh lah. Bos aku emang sedang cari karyawan baru,” tukas Eni sambil membetulkan jam tangan di pergelangan.
“Tunggu sebentar ya, aku mau ganti baju dulu,” sahut Sinta yang segera beranjak ke kamar mandi sambil membawa pakaian ganti.
Beberapa saat kemudian, Sinta dan Eni berjalan bersama menuju toko roti milik keluarga Liem. Eni masih tidak percaya bahwa Sinta bisa kembali seperti dulu lagi, Sinta yang dikenal sebagai gadis kampung yang baik.
Sementara itu, sebelum membuka toko rotinya, Koh Liem seperti biasa, menonton berita di televisi sambil menikmati secangkir kopi kesukaannya. Ia begitu antusias mendengar kabar berita di televisi. Ia paham betul dengan politik di Indonesia saat ini, sehingga tak melarang anaknya untuk hidup di luar negeri.
Koh Liem begitu penasaran ketika melihat cuplikan tayangan demo yang dilakukan mahasiswa Trisakti kemarin. Ia sangat menantikan kabar terbaru mengenai hal tersebut. Kali ini ia mendapatkan tayangan berita tentang demo kemarin dan diputar secara utuh. Ia sangat terkejut ketika mengetahui ada lima orang korban jiwa yang meninggal dunia akibat tembakan misterius.
“Kok bisa ada korban jiwa? Wah, gak beres ini.” Koh Liem bergumam sembari terus memperhatikan layar televisi.
Kringgg ... kriiinggg ....
Telepon dari dekat meja kasir berbunyi dan terdengar hingga telinga Koh Liem.
“Siapa, sih, pagi-pagi begini sudah telepon,” gerutu Koh Liem seraya beranjak. “Haloo ...,” sapa Koh Liem begitu mengangkat gagang telepon.
Rupanya telepon tersebut dari anaknya yang tinggal di luar negeri. Tanpa menyela, Koh Liem mendengarkan ucapan anaknya secara seksama. Selain itu, ia mencoba mengerti dengan penjelasan yang diberikan anaknya.
“Owe mau tinggal di Indonesia aja. Owe yakin akan baik-baik aja di sini. Uangnya kamu simpan aja, owe gak mau ngerepotin anak,” ujar Koh Liem.
Anak Koh Liem berupaya untuk mengajak Koh Liem tinggal di luar negeri bersama dengan suami dan anaknya, tapi Koh Liem malah menolak. Koh Liem merasa bahwa sebagai orangtua yang bertanggung jawab, ia tidak ingin merepotkan anak dan menjadi beban bagi menantunya.
Melihat jam dinding, Koh Liem segera beranjak dari duduknya. Ia bergegas untuk membuka toko roti. Dari kejauhan, Koh Liem melihat Eni bersama dengan seorang wanita. Ia menduga bahwa wanita tersebut adalah orang yang akan bekerja di toko rotinya.
“Pagi, Koh,” sapa Eni, membuka percakapan kepada bosnya itu.
“Ya, pagi juga, En,” sahut Koh Liem seraya membetulkan letak kacamatanya.
Koh Liem mengamati dengan jelas bentuk wajah wanita yang sedang bersama Eni. Menurut pemahaman orang Cina, bentuk wajah seseorang mempengaruhi rejeki dan menunjukan sifat serta karakter tertentu.
“Oh iya, Koh, ini Sinta. Dia ingin kerja di sini,” jelas Eni dengan sangat hati-hati. Ia khawatir jika Sinta tidak diterima bekerja oleh bosnya.
Usai mengamati wajah Sinta, Koh Liem mengalihkan perhatian kepada pekerjaan lain. Ia menyibukan diri sembari berpikir dan membuat pertimbangan sesuai fengsui Cina.
Eni mulai cemas melihat Koh Liem yang agak cuek. Ia merasa Koh Liem tidak seperti biasanya.
Tak jauh berbeda hal tersebut juga dirasakan oleh Sinta yang menunggu dengan posisi berdiri. Kakinya lumayan pegal karena sebelumnya berjalan kaki dari kontrakan Eni. Ia belum terbiasa berjalan kaki jauh.
“Bagaimana, Koh?” tanya Eni dengan gugup.
“Ya, boleh,” sahut Koh Liem, singkat.
“Jadi, Sinta boleh bekerja di sini, Koh?” tanya Eni sekali lagi. Ia ingin mendengar kalimat yang jelas dari mulut Koh Liem.
“Ya, temen lu boleh kerja di sini,” jawab Koh Liem.
Hati Eni lega setelah mendengar jawaban Koh Liem. Ia sangat senang kini bisa memiliki teman di tempat kerja.
Seperti hari biasanya, Eni sibuk melayani pembeli roti, sedangkan Koh Liem sibuk membuat roti di dapur. Namun, entah kenapa Sinta tidak terlihat batang hidungnya setelah izin untuk pergi ke toilet.