Kasih Ibu Sepanjang Malam

Indah lestari
Chapter #7

Penolakan #7

Mobil mewah itu tiba di depan gerbang. Ferry membunyikan klakson beberapa kali agar dibukakan pintu pagar dengan segera. Tak berselang lama, penjaga gerbang—Somat, berlari menujunya. Sudut matanya mendapati seorang gadis di dalam sana; Eni.

“Gimana bisa itu cewek ada di dalem mobil pak bos? Wah, nggak beres nih,” gumam Somat begitu mobil melewati gerbang.

Usai memarkirkan kendaraan, Ferry dan Eni turun dari mobil. Langkah itu dipimpin oleh Ferry yang berjalan masuk ke dalam rumah, lantas diikuti oleh Eni.

“Kamu bebas mau duduk di manapun. Aku mau ganti baju dulu.”

Eni sibuk mencari tempat duduk yang cocok untuk berbicara berdua dengan Ferry, lalu ia memilih untuk duduk di balkon belakang. Pemandangan belakang rumah Ferry sangat asri. Eni merasa segar, seketika tenaga dan mood-nya yang telah hilang bisa kembali.

“Silahkan minumnya, Non,” ucap Mbak Sum sembari meletakan jus jeruk dan beberapa toples cemilan ke atas meja.

“Terimakasih. Maaf ya, Mbak, jadi merepotkan,” ujar Eni yang merasa tak enak hati kepada Mbak Sum.

“Nggak apa-apa, Non. Memang sudah jadi tugas saya. Permisi ya, Non,” sahut Mbak Sum dengan sopan.

“Oh, di sini kamu rupanya,” ujar Ferry yang sedari tadi mencari keberadaan Eni.

Ferry segera duduk di samping Eni setelah meletakan gelas kopi yang dibawa dari kamar. Ia merasakan ada sesuatu penting yang ingin Eni katakan. Pikirannya mulai menduga-duga tentang Eni.

“Ceritalah ....”

“Hm ... itu ... aku sebenarnya sudah dua bulan ini telat datang bulan,” ungkap Eni sambil tertunduk.

Ucapan itu membuat Ferry sedikit terkejut. Ia menghela nafas. Ia tahu bahwa hal itu adalah akibat dirinya yang telah berani meniduri Eni. Ia yakin Eni adalah gadis yang baik karena masih perawan.

Somat yang sengaja mendengar percakapan mereka dari balik dinding juga kaget mendengar pernyataan Eni. Ia tidak habis pikir dengan bos-nya yang tega mendahului dirinya untuk mendekati Eni. Hati Somat begitu hancur ketika mendengar gadis pujaan hatinya dihamili oleh majikannya sendiri. Ia tidak mengerti kenapa begitu teganya Ferry mempermainkan gadis lugu seperti Eni.

“Aku akan tanggung jawab. Kamu tenang, ya,” sahut Ferry yang kemudian menyeruput kopinya.

Mendengar hal tersebut, Eni hanya terdiam. Tidak ada hal lain yang ingin dibicarakannya dengan Ferry.

“Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara waktu,” lanjut Ferry kemudian mengecup punggung tangan gadis itu.

“Hayo, lagi ngapain?!” seru Mbak Sum yang mengejutkan Somat.

Lelaki yang berkulit sawo matang itu mengelus dada. Ia tidak mengira bahwa Mbak Sum bisa mengetahui dirinya yang sedang bersembunyi di balik dinding.

“Lagi nguping, ya?” desak Mbak Sum yang telah menduga kebiasaan menguping Somat.

“Enggak, kok. Lagi nangkepin nyamuk,” sahut Somat yang kemudian menepuk kedua tangannya seolah sedang menangkap nyamuk.

“Halah, bohong aja kamu,” cecar Mbak Sum dengan tatapan sinis.

“Serius, My Darling, aku nggak bohong,” ucap Somat agar Mbak Sum untuk tidak berpikir negatif padanya.

“Loh kalian kok ada di situ?” teriak Ferry yang mulai merasa terganggu oleh suara Mbak Sum dan Somat.

“Somat cemburu sama Tuan Ferry,” sahut Mbak Sum, mengadukan Somat kepada tuannya.

“Enggak kok, Tuan. Mbak Sum bohong,” jelas Somat dengan gelagapan. Ia khawatir tindakan mengupingnya tadi diketahui oleh sang majikan.

“Loh, Somat, bukannya kamu sudah pacaran ya sama Mbak Sum?” tanya Ferry sembari berjalan mendekati Somat dan Mbak Sum.

“Enggak, Tuan. Mbak Sum bau ketek, saya nggak suka,” ujar Somat sambil membusungkan dada, lantas mengalihkan wajah ketika dipelototi oleh Mbak Sum.

Lihat selengkapnya