“Assalamualaikum ... Mbah Parmo!” Eni berteriak seraya mengetuk pintu rumah kontrakan itu. “Mbah ...,” seru Eni sekali lagi, dan masih tetap hening.
“Sedang pergi kali, En,” ujar Deri yang kini melihat ke sekeliling rumah kontrakan tersebut.
Mendengar praduga Deri, Eni hanya tertunduk lesu. Ia tidak tahu lagi harus pergi kemana, karena seluruh uangnya tertinggal di rumah Ferry. Eni sangat menyesal dengan seluruh tindakannya hari ini.
“Yuk, pulang!” ajak Deri.
“Aku tidak tahu mau kemana ...,” ucap Eni dengan lemas.
“Loh, memang selama ini kamu tinggal di mana?” Deri tampak bingung sekaligus heran.
“Rumah kontrakanku dekat toko, tapi kunci dan seluruh uang yang kupunya tertinggal di rumah Ferry,” sahut Eni dengan nada menyesal.
Deri menatap Eni yang sedang tertunduk di hadapannya. Ia tidak tahu lagi harus berbicara apa kepada Eni. Ia sangat ingin membantu Eni.
“Yuk, pulang aja. Nanti aku bantu buka pintunya. Kalau masalah uang, nanti bisa diatur,” tukas Deri sembari tanganya menyalakan mesin motor.
“Kok kamu mau anter aku pulang?” tanya Eni yang merasa bahwa tindakan Deri kali ini terlalu baik.
“Kamu nggak tahu, ya? Sekarang keadaan lagi genting, semua orang ketakutan. Kamu nggak lihat dari tadi suasana di mana-mana sepi?” cecar Deri yang mencoba menyadarkan Eni.
“Memang ada apa?” timpal Eni yang semakin merasa kebingungan.
“Kemarin ada demo besar-besaran, lalu ada yang meninggal. Nah, besok tuh mau ada demo besar-besaran lagi,” jelas Deri dengan sangat hati-hati.
Mendengar penjelasan Deri membuat Eni menjadi merinding. Ia baru menyadari penyebab mengapa jalanan selalu sepi akhir ini. Eni pun hanya pasrah, menuruti apa pun perkataan Deri. Sebelum pergi, ia memandangi pintu rumah kontrakan Mbah Parmo yang pernah menjadi saksi atas kehidupan masalalunya. Eni sangat menyesal karena terlalu sibuk bekerja hingga melupakan Mbah Parmo dan istrinya.
Motor itu pun melaju, meninggalkan rumah Mbah Parmo dengan melewati gang-gang sempit. Eni hanya bisa terdiam membisu di belakang Deri. Namun, di tengah perjalanan, mata Eni menangkap sesosok pria tua yang sedang berjalan pelan dengan menggunakan tongkat kayu sebagai penyangga. Eni mencoba memperhatikan dengan saksama. Ia ingin memanggil sebuah nama, tapi ragu karena takut salah orang.
“Mbah Parmo?!” teriak Eni dengan nada girang. “Stop, stop! Itu Mbah Parmo!” titah Eni yang menyuruh Deri untuk menghentikan laju motornya.
Mendengar perintah Eni, Deri segera menghentikan motornya. Eni lekas turun dan berlari menghampiri Mbah Parmo. Deri hanya memperhatikan dari jauh. Ia tidak ingin merusak momen bahagia Eni dan Mbah Parmo.
“Mbah Parmo masih ingat saya?” tanya Eni.
“Oh, Eni. Kamu ke mana saja, Nak?” balas Mbah Parmo yang selalu mengingat wajah Eni karena sangat mirip sekali dengan almarhumah anak semata wayangnya.
“Iya, Mbah, ternyata Mbah masih inget,” sahut Eni yang langsung tersenyum senang ketika namanya disebut oleh Mbah Parmo.