“Kak, bangun!” seru Tari dengan menggoyaang-goyangkan bahu Eni.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Eni terbangun. Gadis itu mulai membuka kelopak mata secara perlahan. Terdengar suara bising di telinga Eni, berupa riuh suara banyak orang dan kendaraan yang sibuk. Eni merintih, merasakan kesakitan yang luar biasa di sekujur tubuh. Ia bahkan kesulitan untuk membuka mata. Ketika kelopak matanya terbuka dan melihat sekitar, ia terkejut karena berada di trotoar.
“Kenapa aku di sini?” gumam Eni yang masih menahan sakit.
Tari mencoba membantu Eni untuk duduk. Ia juga menyodorkan botol air mineral. “Nih, Kak, minum dulu,” ucap Tari.
Usai menegak air mineral tersebut, Eni masih merasa kebingungan. Ia melihat banyak orang yang mengelilingi. “Apa yang terjadi?”
Tari menggeleng. “Aku nggak tahu karena baru datang dan lihat ada banyak orang. Pas aku lihat, ternyata ada Kakak di sini. Aku udah coba bangunin Kakak dari tadi,” jelas Tari.
“Ada apa ini?” Deri datang menerobos kerumunan. “Ayo, bubar! Ini bukan tontonan!”
Tatapannya berpusat pada Eni yang masih terduduk dengan lumuran darah di sekitar. “Astaga, Eni. Kamu kenapa? Ada apa ini?” Belum juga Eni menjelaskan, Deri sudah membawa Eni ke dalam rangkulan. “Ayo, En, kita ke klinik terdekat!”
Seorang tukang becak mendekati mereka. Setelah memastikan Eni duduk di dalam becak dengan nyaman, barulah Deri memajukan tubuh untuk berbicara lebih dekat pada tukang becak. “Ke klinik di depan ya, Pak,” ucap Deri yang memberikan intruksi.
Becak itupun melaju, membawa Eni ke klinik terdekat. Deri dan Tari mengekor dengan sepeda motor. Tidak jauh dari sana sudah tampak sebuah klinik.
Begitu sampai di klinik, Deri menghampiri salah satu petugas untuk membantu membawa Eni. Setelah itu, Deri menyelesaikan pembayaran dengan tukang becak dan mengarahkan Tari untuk lebih dulu menuju ruang tunggu.
“Dok, bagaimana keadaan Eni?” tanya Deri begitu melihat dokter usai memeriksa keadaan Eni.
“Anda suaminya?” Dokter tersebut ganti bertanya.
“Iya, Dok, saya suaminya,” sahut Deri berbohong.
Mendengar jawaban Deri tersebut, Tari menyorot tajam. Ia tidak percaya bahwa Deri adalah suami Eni. Namun, ia hanya bisa diam, tidak mau ikut campur urusan orang dewasa.
“Ayo, ikut saya masuk ke dalam.” Dokter pun menyuruh Deri untuk masuk ke dalam ruang prakteknya.
Deri berjalan mengekori dokter tersebut. Begitu masuk pun ia masih harus menunggu sang dokter menuliskan resep. Barulah setelah itu, sang dokter membalas tatapan penasaran dari Deri.
“Istri kamu mengalami keguguran. Usia kandungannya sudah masuk 10 minggu,” ucap dokter sembari menyodorkan kertas resep yang usai ditulis.
“Keguguran? Jadi, selama ini dia hamil?” seru Deri yang terkejut mendengar pernyataan dari sang dokter.
“Iya, benar. Jadi, nanti kalau istri kamu hamil lagi, tolong dibantu jaga kandungannya, ya.” Dokter tersebut mencoba menasehati Deri.
“Iya, Dok. Terimakasih,” jawab Deri.
Deri pun berlalu meninggalkan ruang dokter. Ia bergegas menemui Eni di ruang rawat inap sementara. Ketika membuka tirai, terlihat Eni masih terlelap dengan selang infus yang terpasang di tangan.
Suara tirai membuat Eni membuka kelopak mata.
“Oh, maaf Eni, kamu jadi terbangun.” Deri lantas membalikkan badan untuk pergi, supaya Eni bisa istirahat kembali.