KASTURI DALAM SANGKAR

KUMARA
Chapter #1

PRIA BERAMBUT BIRU

Di dunia serba cepat dan sibuk seperti ini, rasanya tidak ada tempat untuk orang sepertiku. Sebagian orang mengejar popularitas, menjadi hamba bagi para pengikut setia atau memiliki ambisi untuk menjadi “sesuatu”, sebagian yang lain sibuk bicara tentang rencana besar dan segala pencapaian maupun tujuan yang ingin diraih. Barangkali hanya sedikit yang seperti aku, terlalu asyik dengan cangkangku sendiri, tertinggal dan menepi dari kebisingan dunia, tidak memiliki impian. Selama hampir 23 tahun hidupku datar, tidak menarik, setidaknya itulah menurutku. Aku bersekolah seperti anak pada umumnya, kehidupan sekolahku pun biasa, tidak ada romansa sama sekali, isinya hanya tugas dan baca novel sebagai selingan, mungkin karena rupaku juga tidak istimewa, kepribadianku juga membosankan, sekali lagi, setidaknya itu menurutku. Setelah lulus SMA aku tidak melanjutkan kuliah karena Ayah tidak sanggup membiayai sementara aku punya 3 adik yang masih duduk di bangku sekolah, lagi pula Ibu selalu bilang: “anak perempuan gak perlu sekolah tinggi, toh kamu nanti ngurusin dapur juga.” Kalimat itu tak kubantah sedikit pun, justru diwujudkan Ibu saat usiaku 21 tahun, dia memperkenalkanku dengan anak sahabatnya.

Rudi namanya, 5 tahun lebih tua, sudah punya pekerjaan tetap di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, perawakannya tinggi kurus dengan rambut yang tampak selalu klimis, serta kulitnya putih pucat, mungkin karena jarang terpapar sinar matahari. Ibu langsung menyukai karakter tenangnya dan pembawaannya yang selalu serius, Ayah sepertinya tak mau ambil pusing, dia serahkan keputusan di tangan Ibu, karenanya kami hanya butuh waktu 2 bulan untuk kemudian menikah. Setelah seminggu menikah, aku diboyong Rudi ikut ke Jakarta, tempatnya bekerja. Seperti yang dia bilang pada Ibu, dia menyewa sebuah rumah susun yang cukup untuk kami berdua. Gedung rumah susun itu masih baru didirikan saat kami pindah ke sana, jauh lebih bersih dan rapi dari bayanganku, serta belum banyak penghuni, sebagian besar rumah belum ditempati, aku pribadi lumayan puas karena walaupun terbilang kecil, dapurnya cukup luas serta memiliki balkon dimana aku bisa melihat pemandangan kota lebih jelas, aku bisa menikmati gedung-gedung menjulang yang selama ini hanya bisa kulihat di layar kaca, terlebih saat senja dan malam hari, lampu-lampu kota adalah hiburan tersendiri bagiku di penghujung hari. 

Selama 2 tahun hidupku berjalan normal, semuanya stabil, semuanya baik. Rudi menerima promosi bulan lalu dan dia berencana untuk mengajukan Kredit Kepemilikan Rumah tahun depan, dia bilang sebelum kami bisa menempati rumah sendiri, kami harus menunda untuk mempunyai anak dan aku setuju walaupun imbasnya, aku mesti siap setiap minggu mendengar khotbah Ibu yang bikin kuping panas, dia tidak sabar untuk menggendong cucu katanya. Tapi baik aku dan Rudi sepakat, punya anak bukan untuk lucu-lucuan masa balitanya, butuh kesiapan mental dan tentu saja minimal kami harus punya tabungan terlebih dahulu. Dan sejujurnya, aku pribadi belum siap kalau harus menjadi seorang ibu, menurutku itu sebuah tugas yang teramat berat, bahkan kadang untuk sekadar membayangkannya pun aku tidak punya keberanian.

Kembali pada hidupku. Hari-hari berjalan biasa, Rudi bekerja setiap senin-sabtu, setiap pagi aku harus bangun pukul 6 untuk menyiapkan sarapan. Setelah dia berangkat, aku hanya berdiam di rumah, bersih-bersih, mencuci, keluar untuk belanja hanya kulakukan di hari senin atau selasa, selebihnya aku membunuh waktu dengan menonton TV atau baca novel. Minggu biasa kami pakai untuk pergi ke bioskop atau cuma jalan-jalan ke taman, sesekali pergi ke tempat wisata yang menarik, itu pun jarang sekali, kalau Rudi sedang kelelahan, maka kami bisa seharian saja di rumah, dia bisa bersantai seharian. Aku tidak punya teman satu pun di Jakarta, karenanya aku hampir tidak pernah bertemu dengan orang selain Rudi, kehidupan normalku hanya berputar di rumah susun dan pasar, sesederhana itu dan aku menikmatinya, atau bisa kubilang, seharusnya aku menikmatinya.

...

Radio pagi sedang memutar lagu pop saat aku membuka jendela dapur, kunyalakan kompor gas sembari bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang diputar. Kudekatkan kepala ke jendela untuk menilik langit, cuaca sedang kurang baik akhir-akhir ini, mungkin akan turun hujan lagi, kuputuskan akan memasak sup sayur supaya tubuh tetap hangat. Kucepol rambut sepunggungku menggunakan karet gelang seadanya lalu kupakai celemek usang yang sudah tak jelas lagi motifnya dan warnanya sudah memudar. 

Celemek itu hadiah pemberian Ibu waktu aku baru menikah, katanya celemek akan membuat masakanku jauh lebih enak dan sejak itu tak sehari pun aku tak memakainya. Entah bagaimana korelasi celemek dan rasa masakan, meski aku tahu dua hal itu tak berkaitan tapi aku tak menyangkal kalimat Ibu, seperti katanya, celemek ini sudah menjadi mahkota kebanggaanku. 

Lihat selengkapnya