Manusia memang unik, pun relasi manusia tak kalah unik. Berawal dari sebuah percakapan yang tak disengaja, bisa mengantarkanku untuk mengenal lebih jauh sosok yang tadinya kukira seram dan menyebalkan. Untuk pertama kalinya seumur hidupku, aku bisa menyaksikan sebuah pertunjukan teater, hal baru bagiku. Aku mendapat tempat tepat di barisan pertama, aku bisa melihat dengan jelas penampilan Guntur yang memesona. Sesaat aku dibawa ke dalam dunianya, ke dalam dialog-dialog maupun monolognya, ke dalam bahasa tubuh serta puisi-puisi indah yang disampaikannya penuh penghayatan. Sesekali mata kami berjumpa dan kulemparkan senyum sebagai wujud dukungan. Di bawah sorotan lampu temaram, dia tampak tidak menakutkan sama sekali, justru aku bisa melihat ketampanan rupanya, dia terlihat sangat berkilauan.
Setelah menyaksikan pertunjukan teater, aku berencana sekalian melihat pameran seni yang digelar masih di sekitar kompleks gedung kesenian. “Kamu tadi keren banget.” Kulontarkan pujian malu-malu saat kami keluar dari gedung kesenian.
Guntur belum sempat membalas karena tiba-tiba sebuah seruan dari belakang mengejutkan kami. “Tur! Lu gak ikut makan dulu?!” Salah seorang kru pertunjukan ternyata.
“Kalian aja! Gue mau balik!” Guntur melambaikan tangan kanannya.
“Apa gara-gara saya ya? Saya nanti bisa pulang sendiri, kok," kataku tak enak hati.
“Gak papa, gue mau liat pameran juga," jawabnya berkilah.
Gedung pameran telah dipadati pengunjung maupun seniman-seniman muda saat kami tiba. Mereka memajang beberapa lukisan serta hasil karya seni lainnya seperti patung dan kerajinan dari bambu maupun ukiran kayu. Saat Guntur berkeliling melihat-lihat, kakiku berhenti di depan sebuah lukisan, mataku tertuju pada lukisan bergaya Ekspresionisme itu, sapuan kuas dan permainan warna yang begitu khas agaknya kukenali, entah di mana aku pernah melihatnya ....
“Asti?”
Aku menoleh pada sumber suara, mataku membesar ketika melihat yang menyapaku ternyata seorang teman lama sewaktu duduk di bangku SMA, Ningrum. Gadis cantik bertubuh kecil itu kini berkacamata, rambutnya keriting sebahu dan senyumnya sangat manis, matanya akan menyipit tiap kali dia tertawa. Dia begitu populer waktu SMA, selama 3 tahun kami duduk semeja dan selama itu pula siswa dari kelas lain sering menitip surat maupun hadiah untuknya padaku, dan dia pula yang mengenalkanku pada dunia lukis meski pada akhirnya kutinggalkan. Sayangnya hubungan kami merenggang karena satu dan dua hal, terutama karena harus berpisah saat lulus SMA, sejak itu aku tidak tahu keberadaan maupun kabarnya.
“Kalian saling kenal?” Guntur yang baru kembali menunjukku dan Ningrum bergantian sementara kami masih diam membeku seolah butuh waktu untuk mencerna kejutan tak terduga ini.
“Iya, Tur, ini Asti temen SMA gue dulu,” jawab Ningrum mencairkan situasi. “Dia juga jago lukis, loh," imbuhnya.
“Masa?” Guntur menatapku tak percaya.
Aku menggeleng canggung. “Gak kok, pernah ngelukis amatiran doang," bantahku.
Ningrum menatapku lekat. “Jadi ... kamu udah berhenti ngelukis, Ti?”
Aku mengangguk pelan.
“Sayang banget ya, padahal kalo dilanjut ....”
“Udah lah, Rum,” selaku cepat. Percakapan ini kian membuatku tidak nyaman. “Jalanku emang gak di sana, Aku udah nikah lagian, fokusku yah suamiku sekarang.”
“Nikah kan bukan berarti kamu harus melepas bakat kamu, Ti. Tapi itu balik ke diri kamu, asal kamu bahagia toh yang menjalani juga kamu," ujar Ningrum.
Aku menarik napas dalam dan kuangkat kepalaku, niatku ingin meyakinkan Ningrum tapi entah kenapa hatiku sendiri tidak yakin dengan apa yang ingin kuucap. “Iya, aku bahagia," kataku singkat.
Ningrum dan aku bertukar kontak kemudian aku pamit lebih awal, untungnya Guntur tak bertanya lebih jauh kenapa tiba-tiba aku ingin pulang. Bahkan sepanjang jalan pulang pun kami lebih banyak diam, suasana hatiku benar-benar kacau karena pertemuan tak disangka-sangka itu. Banyak kenangan mati bangkit kembali dalam otakku, pikiranku serasa menjelajah ke masa lalu, semuanya mendadak singgah dan memenuhi kepala, memori indah dan menyakitkan yang sudah lama kukubur dan ingin kulupakan.
...
“Kamu dari mana?”
Nada pertanyaan Rudi terdengar tidak senang, dia tengah membaca buku di ruang tamu saat aku masuk ke dalam rumah. “kan tadi aku udah bilang, mas, aku ngeliat pertunjukan drama tetangga kita, si Guntur," jawabku tak acuh sambil melepas sepatu kets yang kupakai.
“Sampe malam gini?” tanyanya seakan belum puas dengan jawabanku.
“Ngeliat pameran juga tadi bentar, trus ketemu sama temen lama jadi kami ngobrol-ngobrol bentar," jawabku sembari berjalan ke dapur untuk mencuci tangan.
“Cowok?”