Kakiku terhenti ketika yang pertama kali kulihat saat keluar rumah adalah Guntur, dan dia juga baru saja keluar dari rumahnya. Sialnya, mata kami lurus bertemu, tak ada pilihan selain menyapa walau dengan canggung hebat. “Mau ke pasar ya?” tanyanya sambil menunjuk keranjang belanja di tanganku menggunakan dagunya.
“Iya, udah jadwal ngisi kulkas," jawabku sekenanya.
“Barengan aja, gue juga mau belanja.” Dia menawarkan tumpangan seraya menggoyangkan kunci motor di tangannya. Karena aku tak langsung menjawab, dia segera berujar lagi, “Kalo gak mau gak papa, kok ....”
“Boleh, saya cuma takut ngerepotin aja," sambarku cepat.
“Santai aja, kali. Sama tetangga sendiri gak perlu malu-malu, ada pepatah yang bilang, tetangga adalah keluarga terdekat, setuju, gak?” Didekatkannya wajahnya, senyumnya mengembang berbarengan dengan alisnya terangkat sekejap. Jantungku sempat mau copot karena tak menyangka Guntur yang kukira seram ternyata bisa bersikap lembut dan ramah seperti sekarang.
Tawaran tumpangan itu akhirnya kuterima meski sejujurnya aku sangat gugup, sepanjang jalan dibonceng mega pro miliknya aku hanya duduk kaku di jok nyaris tanpa bergerak sedikit pun, tubuhku mirip ikan beku di dalam freezer. Aku bisa mencium aroma parfum yang menguar dari jaket lusuhnya, aroma itu tidak asing, sepertinya aku mengenali baunya tapi aku lupa bau apa itu, yang pasti aroma itu lumayan kusuka.
Di hari senin seperti ini sekalipun, pasar tetap terlihat ramai dan penuh, tapi ini lebih baik ketimbang datang di hari libur, aku tak tahan beceknya. Beberapa pedagang sudah menutup lapak mereka karena memang sudah hampir tengah hari, tapi ada pedagang yang justru baru mulai membuka lapak. Bermacam-macam aroma menggelitik hidungku, dari mulai aroma amis ikan, aroma kuat dari rempah-rempah, aroma tubuh manusia yang sudah samar karena tertutup aroma-aroma lainnya yang tak mampu kujabarkan, sampai aroma asap dari kedai sate yang tidak terlalu membangkitkan selera karena dijajakan berdampingan dengan comberan pasar, tapi tetap saja ramai pembeli yang bisa makan dengan cueknya seolah tak ada apa-apa selain sate nikmat di depan mata.
Aku tengah memilih bawang saat ujung mataku tak sengaja menangkap ekspresi serius Guntur melihat-lihat sayuran. Bahkan saat berbelanja pun, cowok ini begitu hati-hati. Dia mengingatkanku dengan Ibuku. “Saya gak nyangka kalo yang belanja ternyata kamu," kataku memulai obrolan, mencoba mencairkan suasana tegang dalam diriku.
“Gue udah biasa, kok. Soalnya Citra kan lebih sibuk, dia juga gak pinter pilih-pilih bahan yang bagus, kalo dia yang belanja, ya berabe,” jawabnya santai. “Ini aja gue sering berantem sama dia gara-gara beda selera, dia sukanya sayur dimasak matang padahal kalo dimasak matang, gizinya bisa hilang," lanjutnya berterus terang.
“Kamu bisa potong besar-besar supaya gizinya gak hilang.”