Perjalanan kisah hidup hewan mentilin di rimba bumi negeri Serumpun Sebalai, mirip dengan kisah perjuangan hidup Firdan. Baik kawan, akan kuceritakan kisah nyata perjalanan hidup dia. Sebuah kekhilafan untuk kebablasan orang tua melahirkannya.
Dua puluh anak keluar hanya bermodalkan dukun rimba. Sebenarnya dini tidak bisa dipersalahkan atas sebuah pernikahan. Pikiran seorang Firdan tidak bisa menjangkau. Kenapa istilah pernikahan dini hit, di kalangan usia dia saat itu. Seharusnya yang dipersalahkan adalah pola nafsu yang tidak bisa dipetakan dalam lembabnya hutan.
Di dalam rimba tidak kenal akan sebuah pendidikan sex karena dikelilingi rimbunan pohon. Oleh karena Itulah, kenapa ibu dan ayahnya menikah sejak usia mereka dua belas tahun. Pada waktu itu hewan mentilin masih banyak hidup di kawasan hutan dekat rumahnya. Ada sekitar 140 ekor, dan kini hanya tersisa 5 ekor mentilin saja. Begitu juga pohon gaharu yang dulu masih banyak tumbuh di dalam rimba, kini musnah sekejap mata.
Lihat kepala Ayah Firdan sudah botak. Tersisa hanya rambut belakang saja. Ayahnya bukan terkena penyakit kanker. Bukan pula terkena hawa panas pantai selatan Bangka. Akan tetapi, kepala ayahnya selalu bersajak atas kesulitan dalam kehidupan, untuk menerobos akal sehat kemelut keluarga mereka.
Berbeda dengan fisik ibunya yang tetap gagah, seperti orang masih berumur empat windu. Padahal ibunya sudah masuk tujuh dasarwarsa. Mungkin ibunya suka memainkan rumus daun sirih, ditambah gambir, buah pinang, dan kapur, lalu dikunyahkan. Sambil nyirih, ibu Firdan juga sering menumbuk beras di atas lesung, agar halus menjadi tepung. Biasanya beras yang sudah jadi tepung itu, digunakan untuk dijadikan bedak dingin. Kunyit menjadi bahan campuran dalam bedak dingin, dan aroma wanginya ditambah dengan serai. Sehubungan dengan itulah, menyebabkan muka Ibu Firdan kalau siang berwarna kuning, sedangkan malam berwarna putih. Memang neraca timbangan untuk hal perawatan terkadang sering timpang, antara laki-laki dan perempuan.
Bermodal tinggal di rimba. Berumah ume(rumah kebun panggung khas Bangka) yang jauh dari peradaban manusia di titik tengah pulau Bangka. Harus berjuang menghidupkan dua puluh anak, sangatlah sulit. Gizi yang digaungkan empat sehat lima sempurna tidak ada rumus dalam kehidupan mereka. Ibunya melahirkan anak pertama saja harus janinnya mati. Berlanjut pada anak ke dua, harus mengalami gizi buruk sehingga harus tewas juga.