Menurut pemetaan perusahaan tambang timah PT. Koba Tin. Perusahaan asing di bawah naungan Malaysia. Telah menyatakan bahwa tanah rimba yang ditinggal keluarga Mangcek Matba, menyimpan pasir timah hitam kasar. Memiliki kadar tinggi setara harga emas 1 gram.
Peta lokasi pertimahan itu didapat oleh Anwar. Kakak tertua Firdan yang bekerja sebagai buruh harian di PT. Koba Tin. Anwar dengan sigap melakukan pendekatan dengan cara Betason(bermusyawarah) dengan seluruh keluarga. Akan tetapi, apa daya pertengkaran terjadi. Keluarga Mangcek Matba terbagi menjadi dua kubu. Bagaikan Kurawa dan Pandawa dalam kisah sejarah Mahabarata.
Anwar, Saka, Bahrun, Tamak, Raka, Amri, Kadir, Maryana dan Dehen berada di pihak Kurawa, sedangkan Taufan, Aziz, Afif, Nury, Aisya, dan Firdan berada di pihak Pandawa. Pihak Kurawa bersitegang meminta menguasai lahan hutan rimba untuk dijadikan tambang inkonvensional. Sedangkan di sisi lain, pihak Pandawa meminta untuk membiarkan hutan jangan sampai dirusak. Mengingat itu adalah titah leluhur nenek moyang mereka. Ucapan pihak Pandawa yang diwakilkan oleh Taufan, dan paling terngiang dalam benak Firdan dalam perdebatan itu adalah, “Lagian orang tua kita masih hidup. Tidak pantas meminta-minta warisan. Jika kalian tetap meminta warisan, itu sama saja mendoakan ayah dan ibu kita cepat-cepat mati. Meninggalkan tanah atas harta milik mereka.”
Pihak Kurawa Mangcek Matba lupa, dari mana nenek moyangnya berasal, yaitu rimba hutan. Mereka manusia-manusia yang terjebak, terpengaruh, dan terhimpit pada perkembangan zaman atas dasar uang. Bagi mereka tiada uang, tidak bisa hidup. Dengan uang, mereka bisa menaikkan kasta di tengah masyarakat. Mereka seperti kesurupan. Nafsunya liar. Hatinya ternoda dengan setan yang hobinya memperkosa tanah, demi mendapatkan uang dari penjualan timah.
Golongan Kurawa di keluarga Mangcek Matba, tidak memperhatikan unsur nyawa tanah yang hilang untuk hidup. Hanya niat ingin menguasai. Ingin beradu kekayaan dan kuat. Akibatnya, mereka tidak paham fungsi dari senjata parang dan tombak yang mereka pegang saat betason untuk apa. Dalam benak pihak Kurawa, jika keinginan tidak terpenuhi, maka parang dan tombak mengancam nyawa saudara-saudaranya di pihak Pandawa.
Untuk mencegah pertumpahan darah dan hal-hal yang mengancam kehidupan persaudaraan keluarga. Menyebabkan Mangcek Matba saat itu juga, harus membagikan seluruh tanah yang dimiliki untuk kelima belas anaknya. Utara dibagi menjadi tiga anak perempuan yaitu Maryana, Nury dan Aisya. Timur Laut untuk Taufan. Timur dilimpahkan ke Aziz. Tenggara dilimpahkan ke Afif. Wilayah Barat sampai Barat Laut yang sangat luas, dan menurut peta perusahan tambang banyak mengandung timah, Mangcek Matba serahkan kepada pihak laki-laki Kurawa yaitu Anwar, Saka, Bahrun, Tamak, Raka, Amri, Kadir, dan Dehen.
Dampak tidak bisa menahan nafsu bejat. Atas dasar untuk meningkatkan kasta. Delapan Abang Firdan, langsung membuka TI( Tambang Timah Inkonvensional) tanpa memperhatikan kelestarian, izin pemerintah, dan keselamatan mereka. Alhasil dari keserakahan itu berdampak pada Saka, Amri dan Tamak harus terkubur hidup-hidup oleh gelombang tanah tambangan timah. Namun hal itu tidak menjadi jera, bagi abang-abang Fir yang lainnya. Anwar, Bahrun, Kadir, Raka, dan Dehen tetap terus menambang timah. Menurut mereka ajal semua sudah ditentukan oleh yang di atas. Apalagi setelah Anwar, Bahrun, Kadir menjadi kaya dadakan. Mereka mempunyai rumah besar, mobil, gizi mereka tercukupi dan banyak uang.
Kini hutan rimba yang tersisa, dan kebun sahang Mangcek Matba, telah berada di pinggir jurang pengrusakan. Dikelilingi dengan banyak lubang camoy(lubang galian tambang) yang tinggal tunggu bom waktu. Untung saja kini sisa kebun yang ditinggal Mangcek Matba berada di titik tengah. Terhalang oleh falsafah kitab titah leluhur bahwa pemilik warisannya adalah anak bungsu yaitu Firdan.
Untuk kakak Firdan di sebelah Pandawa yaitu Taufan, Aziz, Afif, Nury dan Aisya, lahan yang mereka dapat, digunakan untuk berkebun sahang. Mereka sependapat dengan berkebun sahang akan bisa menghasilkan uang banyak, tanpa merusak unsur tanah. Apalagi waktu itu saat mereka panen harga sahang sangat tinggi mencapai 110.000 pada tahun 2000. Sehingga Taufan menikah, mempersunting gadis desa Rawa Bara yang bermodal mahar hasil uang panen sahang.
Dari perkebunan sahang itu pula, di pihak Pandawa juga punya rumah dan gizi mereka mulai tercukupi. Begitu juga dengan Mangcek Matba. Waktu itu dia bisa mencicipi uang hasil penjualan sahang sepuluh juta. Tapi uang itu harus habis. Sehubungan dengan, Raka dan Dehen meminjamnya untuk modal pembukaan TI(Tambang Inkonvensional) baru.