KESTURI KAWA MENTILIN

Ardian Sufandi Z.S
Chapter #3

LENCONG

Headline koran daerah, pada halaman depan tertulis, “Lahan hutan di Provinsi Bangka Belitung sudah mengalami kritis sebesar 60%”. Selanjutnya di halaman yang sama, juga tercantum judul berita “Petani merugi, harga sahang terjun bebas menjadi 10.000/Kg”. Firdan kabarkan berita itu ke ayahnya. Mangcek Matba tertarik pada berita kedua ketimbang membahas berita pertama. Mendengar berita pertama Mangcek Matba hanya menarik napas panjang.

Mangcek Matba sebagai orang rimba sebenernya sangat taat akan tatanan warisan untuk menjaga hutan. Akan tetapi, Mangcek Matba kini merasa serba salah. Anak-anaknya terdesak akan kehausan nafsu duniawi, untuk menjadi kasta tertinggi di masyarakat. Itulah anomali lima anaknya, atas penyimpangan yang menggantungkan hidupnya dengan ikut dalam pengrusakan hutan, melalui tambang timah inkonvensional. Dilema yang mencekam bagaikan cengkraman langkeluit(kalong/kelalawar besar),  yang akan merobek-robek mangsa dengan cara berkelompok. Mangcek Matba sekarang sudah menjadi takut. Mangcek Matba lebih baik menjaga persaudaraan anak-anaknya. Ketimbang, harus bertegang urat dengan anaknya di pihak Kurawa, untuk melarang pertambangan di kawasan dekat rimba.

Oleh karena itulah, kini Mangcek Matba lebih memfokuskan diri berkebun sahang. Apalagi tahun-tahun sebelumnya Mangcek Matba bagaikan mendapat hujan uang, akibat tingginya harga jual sahang. Ditambah lagi sahang Bangka mentok white papper, telah terkenal sejak abad penjajahan silam. Namun seiring dengan tingkat kecerdasan politisasi, menyebabkan harga sahang terus anjlok. Ditambah pula timbulnya penyakit kuning. Busuk pada pangkal sahang. Tiang rambat kayu yang mudah patah dan sulit dicari karena pohon di Bangka telah habis.

“Coba kau hitung Fir. Jika kita berkebun sahang dengan harga sepuluh ribu, masihkah kita untung?”

Mangcek Matba mengajak Fir menghitung, berasumsi, berspekulasi akan jumlah biaya pupuk, junjung(tiang rambat) sahang, pestisida, hingga tenaga, dengan apa yang akan di dapat nantinya. Lantai papan selasar ume panggung sudah banyak Fir coret-coret tidak menemukan kesimpulan atas setiap apa yang dibicarakan ayahnya.

Mangcek Matba gelisah lehernya bergerak dari kanan ke kiri. Matanya melotot tajam melihat setiap jengkal jarak sahang. Mulutnya komat kamit menghitung jumlah sahang yang tiangnya sudah roboh karena serdadu rayap menggerogoti. Tidak hanya itu Mangcek Matba juga menghitung berapap banyak sahang yang akan tewas terserang penyakit kuning dan busuk pangkal batang.

Tak puas dengan hitungannya dari atas selasar, Mangcek Matba turun dari ume panggung, lalu dia menuju rimbunan pohon sahang. Mangcek Matba berdiri memegang daun-daun sahang, kadang jongkok memegang pangkalnya, lalu berdiri lagi, jongkok kembali, hingga dia menarik nafas yang panjang.

Lihat selengkapnya