KASUS 831

Novi Assyadiyah
Chapter #1

DETEKTIF MIYU

Suasana ruang tamu di sebuah rumah minimalis, ada seorang gadis polos berumur lima belas tahun dengan rambut pendek sebahu berwarna hitam pekat. Gadis bernama Mila itu menyimpan sebuah kisah yang begitu rumit dan membingungkan. Jika seseorang bertanya kepadanya tentang momen terakhir kali ia merasa terjebak dalam kesulitan, maka saat itu juga ia akan menjawabnya dengan jujur bahwa sekaranglah ia sedang mengalaminya.

Kesulitan itu tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai sekolah yang merosot atau dengan kenaikan drastis harga-harga bahan pokok. Mila tidak perlu memikirkan itu semua. Ayahnya, seorang analis keuangan di universitas ternama di Kota Bandung, Jawa Barat, selalu bisa mengelola keuangan keluarga dengan baik, bahkan di saat-saat sulit seperti krisis moneter tahun 1998.

Tapi, apa yang membuatnya merasa tertekan adalah sebuah kasus baru yang baru saja mereka terima. Sebuah kasus yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Bahkan insting kuatnya pun tidak yakin bisa menolong kali ini. Mila tidak pernah membayangkan bahwa keputusannya untuk tetap menjadi detektif remaja di lingkungannya, bersama temannya, Bayu, akan membawanya ke dalam labirin emosi yang tidak terduga.

Ketidakpercayaan diri mulai merasuki pikiran Mila, meragukan kemampuannya sendiri sebagai detektif remaja. Kalau boleh memilih, gadis bernama Mila itu lebih baik menangani kasus pencurian daripada kasus romansa percintaan. 

"Mil, tebak Ene mau bikin apa?" Suara ceria neneknya menghentikan gejolak pikiran Mila yang sejak tadi terus bergemuruh meminta solusi.

Mila melirik ke atas, melihat wajah penuh semangat neneknya. Dia merasakan kehangatan dari senyum itu, dan sedikit demi sedikit, pikirannya yang kacau mulai mereda.

Dari berbagai bahan yang tersedia di hadapannya—coet, piring, garam, nasi yang masih mengepul, dan opak bakar—Mila sudah bisa menebak apa yang akan neneknya buatkan. Tutug Opak. Makanan kesukaan Mila. Sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu setiap kali Kakek dan neneknya kembali dari kampung halaman mereka di Desa Cipeuteuy, Kota Sumedang.

Tiga hari yang lalu, kakek dan neneknya pulang membawa oleh-oleh berupa cemilan Opak bakar, ulen, buah-buahan segar dari kebun kakek seperti salak, pisang, mangga, dukuh, dan lain-lainnya yang kini sudah memenuhi dapur "Mama Qonita", julukan yang Mila berikan pada ibunya.

“Tutug Opak! Asik! Mila gak sabar buat makan Tutug Opak buatan Ene yang mantap markotop,” ucap Mila dengan suara yang penuh kegembiraan, senyum kembali menghiasi wajahnya yang sebelumnya murung.

“Benar!” seru neneknya lagi sambil melayangkan jempolnya ke arah Mila, lalu melanjutkannya dengan bersenandung. Walaupun Nenek sudah berumur lima puluh tahun, tapi ia masih bugar dan selalu menyandungkan lagu yang Mila tidak ketahui.

Dengan suara pintu yang menutup secara tiba-tiba, ruangan itu seketika terasa hening. Mila menoleh ke arah sumber suara, dan tatapan cemasnya langsung tertuju pada sosok Kakek yang langsung duduk di dekat tumpukan salak, memilih menyibukan diri dengan membersihkan kulit buah-buahan itu.

"Meni watir! Dek dagang ge kudu kitu. Ceuk urang mah nya hidup teh kudu rukun da jelema mah teu bisa hirup sorangan," gerutu Kakek dengan nada yang penuh rasa kesal.

Mendengar itu membuat Mila bingung akan sikap kakeknya. Neneknya yang menyadari kebingungan yang melingkupi Mila dengan pelan memberi isyarat bahwa suaminya kesal sejak pulang dari rumah temannya yang berada di dekat Alun-alun Kota Bandung. Teman Kakek, yang merupakan keturunan Tionghoa, masih terjebak dalam stereotip "Milik Pribumi" yang melekat pada dirinya, bahkan di tempat usahanya sendiri. Sebuah diskriminasi yang membuat seseorang tidak berani menampakan wajah aslinya hanya karena takut akan hilang seperti cerita di televisi dan radio empat bulan yang lalu. Padahal kalau boleh dibandingkan, di Kota Bandung sendiri tidak separah yang terjadi di Kota Jakarta. Tapi temannya itu terus mengaktifkan mode waspada demi keselamatan.

Mila merenung, mencoba memahami kesedihan dan kemarahan kakeknya. Diskriminasi yang masih terjadi di negerinya sendiri membuat Mila merasa terluka. Merdeka yang dirayakan ternyata tidak memberikan kebebasan yang sesungguhnya bagi semua warga negara. Demokrasi yang digembar-gemborkan hanyalah kata-kata kosong jika hak asasi manusia masih dilanggar, rasa saling menghargai tidak ditegakkan, dan kata untuk terlihat menawan di buku pelajaran Sejarah atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 

Sementara Kakeknya menyibukkan diri dengan salak, Mila merasa api kemarahan membara di dalam dirinya. Menurut Mila, ia lebih baik sakit hati melihat orang-orang sebangsanya mati di tangan negara lain yang menjajah dahulu ketimbang harus sakit hati dan membenci orang yang membunuh sebangsa setanah air.  Seperti yang ia dengar mengenai berita di radio atau televisi tentang banyaknya keturunan Tionghoa yang diperkosa dan pada akhirnya memilih bunuh diri juga mahasiswa yang meninggal dunia karena tertembak peluru saat berusaha menyuarakan pendapat akibat bobroknya negeri ini. 

Mama Qonita, yang merasa cemas karena tahu bahwa Mila, anak semata wayangnya, telah mengetahui apa yang sedang terjadi, sempat merasa khawatir. Baginya, Mila belum cukup umur untuk terlibat dalam hal-hal yang serius seperti itu. Ia pun berupaya membatasi akses Mila pada televisi, radio, bahkan internet, berharap anaknya tidak akan mencari tahu lebih dalam.

Namun, Mila tidaklah mudah untuk ditenangkan. Dengan kepala tegak dan mata yang bersinar penuh ketegasan, dia mencoba meyakinkan Mama Qonita bahwa kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. "Cepat atau lambat," ujar Mila dengan suara yang mantap, "Mila pasti akan mengetahuinya dan tidak ada yang salah jika Mila mengetahui kebenaran pahit tentang negeri ini lebih cepat dari yang lain."

Mama Qonita terdiam, melihat betapa matangnya pikiran Mila meskipun usianya masih sangat muda. Dia merasa bangga pada keberanian dan keingintahuan yang dimiliki putrinya, meskipun hatinya juga dipenuhi kekhawatiran akan masa depan yang begitu tidak pasti.

Lihat selengkapnya