Keduanya sedang duduk di ruang tengah yang padat perabotan, mendiskusikan cara menghilang dari muka bumi. Ketegangan memahat kedua wajah yang telah melewati usia paruh baya, suara-suara berbisik menyiratkan kegentingan, meskipun selain mereka berdua tak ada siapa pun lagi di sana. Lampu kristal bersusun, guci-guci setinggi empat kaki, karpet Persia yang menutupi satu sisi tembok, lemari pajangan berukiran rumit yang konon dipesan langsung dari Jepara, semuanya turut membisu seolah bukan karena mereka memang benda mati tapi karena mereka ingin menjaga privasi yang sedang ingin dibangun oleh kedua penghuni rumah—rumah yang sebentar lagi akan menjadi sumber momok terbesar mereka.
Apa yang harus kita lakukan? gumam kedua suami istri Nirgunaman sambil meremas-remas kepalan tangan dan saling menggosokan telapak tangan di atas lutut.
Apa yang harus mereka lakukan?—seandainya asbak keramik di atas meja kopi dari kayu jati itu dapat menjawabnya. Kenyataannya, pertanyaan ini telah membuat Bapak dan Ibu Nirgunaman terjaga selama berbulan-bulan disokong obat-obatan anti depresan sejak surat peringatan ketiga dilayangkan; mereka tak akan terjaga selama itu, seandainya mereka sudah menemukan jawabannya. Lalu waktu berlalu dalam kerjapan mata—dasar pengkhianat!—dan pagi ini ketika mereka bangun tidur dengan sekujur tubuh kebas dan ngilu seolah ranjang King Koil telah berubah jadi ranjang kayu tanpa matras, saat inilah waktunya. Dalam waktu dua puluh empat jam dari sekarang, bank akan menyita rumah mereka; rumah yang mereka bangun dengan keringat, air mata, dan warisan orangtua. Bagi suami istri Nirgunaman, ini bukan sekadar perkara kehilangan harta benda terakhir yang mereka miliki. Sulit membiarkan hal semacam itu terjadi ketika kau hidup di antara orang-orang bermartabat, pernah dikenal sebagai keluarga terpandang dan beradab—sampai beberapa jam ke depan, Bu Nirgunaman percaya mereka masih menyandang status itu di mata para tetangga.
Baik Bapak maupun Ibu Nirgunaman mulai merasakan sensasi mual saban kali membayangkan reaksi dan omongan-omongan para tetangga nantinya. Tak diragukan lagi Keluarga Julidhadyanto akan memimpin pergunjingan tak terpuji itu segera setelah tanda ‘disita’ ditempel di tembok depan rumah.
Apa yang harus mereka lakukan?
Apa yang harus kita lakukan!
Kedua suami istri itu memejamkan mata dan berpegangan tangan seperti dua penumpang terakhir di atas kapal yang sebentar lagi karam. Sepuluh tahun terakhir keduanya menjalani hidup seperti penumpang di atas kapal kemasukan air. Terendam dan terombang-ambing, mencoba melepaskan satu demi satu apa yang akan memperlambat tenggelamnya kapal. Mereka menjual aset-aset yang amat mereka banggakan; tanah, sebuah ruko di suatu tempat, sebuah bangunan kos-kosan, emas batangan, perhiasan emas, surat-surat berharga, mobil terakhir yang mereka sayangi seperti keponakan sendiri, belakangan perabotan-perabotan pun menyusul dijual. Semua itu tak cukup untuk menutupi lubang-lubang yang terlanjur mereka gali dari masa lalu. Satu lubang ditutup tak lantas menutupi lubang yang lain; lubang demi lubang terus digali untuk menutupi lubang yang baru. Maka kerja keras bertahun-tahun harus pergi satu demi satu. Hingga akhirnya rumah yang mereka huni saat ini ikut menjadi taruhan terakhir. Di sanalah letak sisa harga diri mereka.
Bapak dan Ibu Nirgunaman ingin menghilang dari muka bumi yang tidak lagi ramah bagi para pecundang ini.
“Aku berpikir mau gantung diri. Tapi…” Pak Nirgunaman berkata dengan suara masih berbisik seolah khawatir tetangga sedang menguping dari celah jendela. Berhari-hari beliau menimbang kemungkinan untuk mengakhiri hidup dengan menggantung diri. Namun tak dapat ia bayangkan bagaimana tampangnya nanti ketika istri dan anak-anak menemukannya lalu para tetangga menurunkannya dari tali gantungan. Ia yakin orang-orang itu akan mengambil fotonya lebih dulu sebelum menurunkannya—bahkan mungkin satu-dua orang tetangga melakukan siaran langsung via Facebook selama proses evakuasi jasadnya. Dan foto-foto serta video itu akan tersebar di mana-mana; wajahnya yang kelabu seperti semen, lidahnya yang terjulur keluar, ungu atau biru, bola matanya yang terpuntir ke belakang, tercetak dalam ingatan orang-orang baik yang kenal maupun yang tak pernah sempat mengenalnya.
“Aku kepikiran mau minum sepuluh butir obat tidur,” Bu Nirgunaman mengaku. “Tapi apakah sepuluh butir saja sudah bisa bikin koit?”
“Kenapa tidak cari saja jawabannya di Google?”
“Menurutmu kalau mulutku nanti mengeluarkan busa, apakah anak-anak kita mau membersihkannya sebelum tetangga atau polisi datang?” Bu Nirgunaman melanjutkan, tatapan matanya menerawang melewati pigura emas di seberang, tak ambil hirau dengan saran sang suami tentang Google.
Bapak Nirgunaman menggeleng. “Ada-ada saja. Menurutku, sebaiknya kamu tulis pesan di secarik kertas dan bilang kalau mereka harus membersihkan busa dari mulutmu supaya tidak merepotkan polisi dan tidak bikin tetangga jijik. Tulis di sana jangan ambil fotomu sebelum busanya dibersihkan. Dan jangan juga ambil fotoku dalam kondisi tergantung.”
Bu Nirgunaman menatap suaminya untuk pertama kali. “Menurutku, gantung diri dosanya jauh lebih besar. Bagaimana kalau kamu juga minum obat tidur saja?” katanya seperti menyarankan restoran mana yang sebaiknya mereka kunjungi di akhir pekan nanti. Bu Nirgunaman membayangkan bahwa tak ada tempat bagi orang yang mati gantung diri selain neraka jahanam, sedangkan mereka yang mati menenggak obat tidur barangkali masih bisa diberlakukan dispensasi.
“Aku enggak mau mulutku mengeluarkan busa,” Bapak Nirgunaman menggeleng khidmat. “Aku yakin anak-anak kita pun pasti jijik membersihkannya.”
Istrinya sepakat. “Aku juga tidak mau Ratna Julidhadyanto melihatku dengan mulut berbusa lalu menyebarkannya di grup WhatsApp RT.”
Suaminya berdeham berat dan melayangkan pandangan ke arah pintu di ruang tamu. “Anak-anak sialan.” Pak Nirgunaman mengejatkan rahang. “Di mana mereka ketika kita sedang di jalan buntu begini.”
Namun di hati kecil mereka bersyukur bahwa baik Baktinus maupun Mariska tak ada di rumah pada saat itu. Biasanya meskipun keduanya sedang keluar, rumah tetap tak pernah sepi dari para asisten rumah tangga, sanak keluarga yang berharap memperoleh pakaian lungsuran atau perabotan bekas, dan orang-orang yang setia menjilat bokong mereka. Namun jangankan sanak keluarga dan para penjilat, bahkan asisten rumah tangga terakhir yang berjanji akan setia hingga Keluarga Nirgunaman bangkit kembali dari keterpurukan, akhirnya menyerah setelah lima bulan tidak digaji. Kini hanya ada mereka berdua dalam keterpurukan itu, seperti dulu ketika bisnis masih merangkak. Kesunyian menambah rasa depresi dan menyusupkan perasaan gelap dalam benak pasangan suami istri itu.
Bu Nirgunaman diam-diam masih mempertimbangkan gagasan bunuh diri—tapi mengurangi dosis obat tidur yang akan ia tenggak mungkin tidak memalukan amat; siapa tahu nanti mulutnya tidak akan berbusa, siapa tahu ketika ia terjaga di ranjang rumah sakit yang dingin, dalam kondisi debil dan dikasihani, ia akan menyesali perbuatannya.
LIMA BELAS KILOMETER dari rumah orangtuanya, Baktinus Nirgunaman tengah menunggu Lastri bersiap-siap untuk makan malam di sebuah kedai langganan. Masih mengenakan kemeja kerja dengan keringat dan sisa parfum bercampur, Baktinus memang tak langsung bertolak ke rumah selepas jam kerja. Janji makan malam itu sudah mereka tetapkan sejak siang. Mereka jarang bisa bertemu di siang hari, di mana Baktinus punya waktu sekitar satu jam untuk makan siang, saat yang sama Lastri masih berhadapan dengan anak-anak didiknya di sekolah. Namun makan malam kali ini akan berbeda dari biasanya dan akan meninggalkan kesan tersendiri di hati Lastri, setidaknya demikian harapan Baktinus. Dia telah merencanakannya sedari malam, membuatnya terjaga hingga pukul dua pagi.
“Aku yakin kamu enggak akan kaget lagi bila kukatakan ini,” katanya terang-terangan begitu mereka menemukan meja di sudut kedai bergaya art deco itu. Baktinus bahkan tak merasa harus menunggu sampai menu pertama disajikan. Sepanjang jalan tadi ia sudah cukup menahan diri dan kinilah waktunya. “Menurutku kita sudah saatnya menikah.”
Kedua mata Lastri seperti hendak melompat dari liang-liangnya. Beruntung mereka tidak sedang menelan apapun; seandainya demikian, Baktinus yakin kekasihnya itu akan tersedak. “Tapi, Nus,” Lastri satu-satunya yang memanggil Baktinus dengan sebutan ‘Nus’ dan bukan Bakti atau pun Ayang. “Menurutku ini bukan waktu yang tepat, khususnya buat orangtuamu.”
Kemunduran bisnis Keluarga Nirgunaman sudah jadi rahasia umum di penjuru kelurahan—kalau bukan di penjuru Kotabaru. Bahkan Baktinus tak perlu lagi menjelaskan apapun secara jujur dan malu-malu.
“Las, kita sudah pacaran sejak SMA,” Adapun Baktinus satu-satunya yang memanggil kekasihnya itu dengan sebutan Las, dan bukan Tri apalagi Ayang, tanpa teringat bengkel las di dekat rumah. “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” lanjutnya, menyitir sebuah kutipan yang amat klise di kalangan anak muda yang butuh motivasi. Tentu saja alasan yang sebenarnya tak hendak Baktinus beberkan: bahwa karena kedua orangtuanya secara ekonomi sedang terpuruk, dia ingin buru-buru keluar dari rumah seperti satu-satunya penumpang berpelampung harus buru-buru meninggalkan kapal karam. Keterpurukan itu tak baik bagi mentalnya.