Bahkan seandainya Baktinus membangun kembali menara babel untuknya, Lastri tak yakin ingin segera menikah dalam waktu dekat. Di akhir tahun nanti, guru-guru akan mengadakan glamping di luar kota; tahun berikutnya teman-teman angkatannya ada rencana mengambil tur ke Korea; Niken memintanya menjadi salah satu bridesmaid; Lastri tentu berkeinginan mengikuti acara-acara itu dalam kondisi masih lajang—dan tidak sedang hamil. Selain hal-hal ini, tak ada alasan khusus kenapa ia harus keberatan mengenai pernikahan. Kenyataan bahwa orangtua Baktinus sudah bangkrut, justru membuat Lastri bersyukur. Jika mereka masih kaya raya seperti dulu, Lastri ragu Bu Nirgunaman menginginkan dirinya sebagai menantu. Sekarang justru aku yang harus pikir-pikir untuk jadi menantunya, pikir Lastri puas sambil merapikan tempat tidurnya.
Ia baru saja berganti piyama dan menyikat gigi. Ia tak mengantisipasi pikiran yang menghantuinya ketika baru saja mendaratkan kepala dan tubuh di atas tempat tidur. Sepiring pisang goreng yang ia makan di kedai tadi kembali membayangi benaknya seperti pacar baru—bedanya sang pacar adalah pisang goreng. Meskipun makan memang adalah spesialisasinya selain mengajar, merasa lapar kembali dalam waktu secepat ini sungguh agak keterlaluan. Tadi ia menghabiskan satu paket bebek bakar dengan nasi yang hanya setangkup kecil. Begitu kecil sampai-sampai ia sesekali mencomot nasi di piring Baktinus. Wajar saja bila sekarang pada jam-jam rawan menjelang tidur, ia masih ingin makan lagi. Ponselnya tidak menyala atau pun berbunyi. Biasanya Baktinus akan menghubunginya begitu tiba di rumah. Ia sendiri tidak berharap Baktinus menghubunginya kembali seandainya ia tidak kelaparan lagi. Ia sanggup tidak merepotkan Baktinus untuk membawakannya seporsi sate ayam dari Pasar Jajan. Tetapi ia tak sanggup berdiam diri di kamar dengan bayangan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya tadi berseliweran di benaknya seperti dosa-dosa yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Seandainya ia bisa memuntahkan makanan-makanan itu dalam wujud masih utuh dan hangat. Ibunya memasak sambal teri dan tumis pakis tadi siang. Yang ada di bawah tudung saji kini hanya tinggal dadar. Lastri menambahkan dua sauk nasi ke atasnya dan makan dengan satu kaki terangkat di tepian kursi.
Keesokan hari Lastri baru selesai mengajar di kelas delapan ketika Bu Jahatia, guru senior yang sudah ada di muka bumi ketika seluruh murid dan guru-guru muda di sekolah itu masih berupa embrio, mengomentari tubuhnya, “Ada yang gemukan nih.” Lastri menyelinap ke toilet guru dua menit kemudian dan mengetik, zaman orang udah nikah sama AI masih ada juga yang senang body-shaming… ihhh jauhkan, memancing beragam komentar dari teman-teman Facebooknya. Beberapa menyarankan ia supaya bersikap cuek, kebanyakan menyemanganti ia supaya meakukan diet. Lastri jadi penasaran jangan-jangan Bu Jahati ada benarnya. Sepulang sekolah ia membeli timbangan di supermarket. Berat badannya ternyata telah bertambah lima kilo. Bagaimana bisa ia lalai dan orang lain yang lebih dulu menjadi cermin atas perubahan fisiknya? Namun yang membuatnya mawas dan curiga adalah belakangan payudaranya juga mulai terasa penuh dan nyeri meski hanya dijawil. Seolah ia baru saja melakukan implan payudara di Thailand. Ia suka bentuk dan ukuran payudaranya yang sekarang seandainya kedua gudunkan itu tidak harus terasa nyeri, tapi yang terburuk, para guru lelaki—entah mereka sadar atau sekadar refleks—suka tiba-tiba melirik ke sana setiap kali berpapasan dengannya di ruang guru.
Lastri menunggu ibunya mengomentari perubahan tubuhnya sebagaimana Bu Jahatia. Biasanya memang ibu dan para tante yang akan melek lebih dulu. Maka sepulang sekolah ia sengaja mondar-mandir di depan ibunya yang sedang mengerok punggung ayahnya karena semalam tidur sendirian di pos kamling tanpa diminta. Tindakannya memancing teguran sebab menghalangi penglihatan sang ibu.
“Emangnya Mama enggak lihat, aku gemukan seperti orang hamil?” Lastri berkata dengan nada meminta perhatian.
“Jangan-jangan kamu memang hamil,” gumam ibunya tanpa mengalihkan pandangan dari garis-garis kemerahan yang ia guratkan di punggung berminyak sang suami. “Sana, cari siapa bapaknya.”
Ayah Lastri tertawa. “Yang benar saja. Ada yang mau sama dia?”
Wajah Lastri memerah karena marah. “Aku punya pacar, Papa. Aku dan Baktinus sudah sembilan tahun pacaran. Papa selalu lupa.” Ayah Lastri tidak bisa mengingat siapa pun yang tak pernah diajaknya bermain catur di teras. Baktunis bukan pemain catur.
Giliran ibunya yang tertawa. Dan akhirnya memandang Lastri dengan ekpsresi menggoda. “Mens kamu telat?”
Lastri mengingat-ingat, “Sepertinya begitu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali.”
Ibunya mendongak. “Kenapa baru bilang sekarang?”
“Aku pikir cuma kecapekan. Biasanya juga begitu.” Lastri menggaruk-garuk pelipis sambil berpikir. “Tapi sekarang rasanya sudah dua bulanan aku tidak mens.”
“Ya sudah, berarti kamu hamil.” Lastri memelototi ibunya. Ibunya sudah kembali menggerakkan koin berminyak ke punggung berminyak sang suami. “Sudah sembilan tahun pacaran baru hamil sekarang.” Ibunya mencolek lengan ayahnya. “Gimana menurut Papa?”
“Beda sama kita dulu. Belum jadian, kamunya sudah hamil duluan.”
“Itu bukan Mama.” Ibunya menepuk ringan bahu ayahnya. “Itu kisah teman masa kecilku yang pernah Mama ceritakan ke Papa dulu.”
“Yang namanya Candy Syrup?”
“Ternyata Papa masih ingat. Jadi waktu itu…”
Lastri mendengarkan penuturan sang ibu tentang si teman masa kecil. Sesaat ia larut dalam kisah dan melupakan tujuan serta alasannya mematut diri di sana. Ia merasa geram karena orangtuanya tidak menganggapnya serius. Ia berganti pakaian dan pergi mencari apotek.
Lastri berusaha tidak memikirkan tujuh menit pertama adegan Juno ketika ia berjalan ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Ia terlalu tua untuk menyamakan dirinya dengan Juno. Juno hanya lebih tua sedikit daripada murid-murid Lastri. Ia tidak perlu cemas atau pun takut seperti Juno saat membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia terlalu tua untuk merasa takut karena kemungkinan hamil, sebab perasaan takut tertentu memang memiliki masa kedaluwarsa; rasa takut pada badut, suara petir, jarum suntik, kecoak, kegelapan. Namun barangkali apa yang ia rasakan saat itu bukan takut atau pun cemas. Aku cuma jijay menyentuh pipisku sendiri, pikirnya sembari berjongkok di atas kakus untuk menampung air pipis pertamanya di pagi hari.
Hasilnya benar-benar membuatnya gugup. Atau jijik. Hari itu ia izin tidak ke sekolah.
Tak terasa seminggu sudah berlalu sejak Baktinus mengajaknya makan malam di kedai. Sejak itu keduanya belum kembali bertemu, sementara komunikasi lewat telepon tidak seintens biasanya. Lastri berusaha tak memikirkan penyebabnya sebab ia sendiri sibuk mengajarkan anak-anak didiknya cara membedakan majas dan peribahasa di ruang kelas. Namun kini mau tak mau ia mesti menghubungi Baktinus lebih dulu.
“Tadinya aku juga mau mengajak kamu ketemu. Ada yang mau kubicarakan,” Baktinus terdengar seperti seseorang yang sedang menyimpan banyak hutang dan pikiran. Lastri selalu tahu ketika pacarnya sedang tak baik-baik saja. Apakah Baktius dapat mengendus bahwa ia juga sedang tak baik-baik saja?
“Harusnya aku yang bilang begitu duluan, karena aku yang nelepon kamu. Kalau kamu benar-benar mau bilang sesuatu, kenapa tidak telepon duluan?”
Suara menghela napas berat, “Las, aku lagi banyak pikiran.”