Ketika Batikunus tiba di rumah, kedua bayi masih menangis hingga pipi mereka memerah dan ubun-ubun mereka memutih. Dua botol susu yang tergeletak di atas tempat tidur telah kosong melompong. Mariska tak dapat lagi mengisi kedua botol itu dengan bubuk susu terakhir yang baru dibeli tiga hari lalu oleh sang kakak; kini mereka sudah harus beli lagi. Ia tak akan menelepon sang kakak di rumah pacar kalau saja tangis kedua bayi tidak mencapai pos satpam. Tak seorang pun di antara kakak beradik itu punya pengalaman mengasuh bayi manusia—atau pun bayi kera; mereka tak tahu betapa 400 ml susu formula bertahan tak sampai dua hari bagi kedua bayi yang selalu menangis kelaparan itu. Kini Baktinus membawa pulang sekaleng susu berukuran 1.6 kg. Berharap dalam waktu dekat dia belum akan bolak-balik lagi ke mini market terutama saat dia sudah kembali masuk kerja; Mariska tak dapat meninggalkan bayi-bayi itu berdua saja di rumah. Seketika tangis-tangis berhenti dan kedua bayi menghisap dengan khidmat dan lahap botol-botol susu yang disumpalkan ke mulut mereka seolah mereka sedang berlomba.
“Popok juga sudah hampir habis,” kata Mariska dengan enggan.
Baktinus menghempaskan tubuh di ujung ranjang orangtuanya. “Kenapa tadi tidak bilang sekalian?”
Mariska membisu—namun ada yang perlu diantisipasi. Pandangan matanya nanar, bibirnya tertekuk dan bergetar. Tiba-tiba tangisnya pecah. Baktinus membenamkan wajah di permukaan ranjang. Tangis adik perempuannya tak berhenti. Baktinus mengangkat kepala, menyuruh Mariska berhenti menangis sebab bayi-bayi itu akan mengira menangis itu sewajar bernapas dan tidak mengganggu gendang telinga orang lain.
“Aku sudah enggak tahan, Kak,” Mariska mencoba bicara. “Aku enggak bisa begini terus. Aku enggak mau bolos sekolah lagi.” Berhari-hari ia tidak nongkrong di kafe langganan; berhari-hari ia tidak jalan dengan pacar; berhari-hari ia tidak tidur siang sambil melamun dirinya sudah dewasa dan menjadi seorang direktur.
“Tentu saja ini hanya sementara,” bujuk Baktinus. “Kita sedang menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ini sambil memikirkan langkah ke depan.”
Mariska menyeka ingus dengan kerah baju. “Tadi ada tetangga yang mengira bayi-bayi ini anakku. Lebih gila lagi ada yang bertanya umurku berapa, umur suamiku berapa? Mereka bilang selisih usia kita kelihatannya beda jauh.”
Baktinus tersenyum masam. “Padahal aku sudah bilang kita kakak beradik. Mungkin mereka lupa.”
“Aku juga sudah bilang kalau bayi-bayi ini orangtua kita.”
Baktinus menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. “Kamu boleh bilang apa saja ke mereka. Kecuali tentang rumah kita yang disita.”
Tangis Mariska—yang tadinya sudah hampir berhenti—kini pecah semakin keras. Baktinus mendelik sambil menunjuk ke arah kedua bayi yang sudah mulai lelap. “Nanti mereka bangun dan menjajah kita lagi.” Namun di sudut benaknya Baktinus tahu dia memang salah; dia tak boleh menyebut-nyebut lagi tentang rumah yang disita. Kapan saja dia tak sengaja menyebut tentang rumah itu, Mariska akan serta merta tenggelam dalam kesedihan yang menyakitkan, seolah tak ada obatnya. Rumah itu adalah cangkang mereka, tapi yang paling tak sanggup ia lepaskan adalah kamar tidurnya. Teman-temannya sering berkumpul di sana untuk membicarakan ‘crush’ masing-masing. Poster-poster bintang film dan penyanyi idolanya masih tertempel di tembok-tembok dan belakang pintu. Meja rias penuh tempelan stiker, jendela yang pernah dimasuki pacar saat seisi rumah telah mendengkur, pendingin ruangan yang sudah mengenalnya seperti saudara kembar sehingga tak jarang diajaknya bicara. Semua itu terlalu sulit dilepaskan lebih daripada rumah itu sendiri. Seandainya ia boleh membawa serta kamar dan seisinya ke rumah baru sang kakak—rumah yang dingin, asing, sempit, dan bau semen—mungkin hatinya tak perlu seberat ini. Anehnya Baktinus tak pernah menangisi rumah masa kecil atau apa pun yang telah mereka tinggalkan di belakang. Mariska yakin hati kakaknya telah mengeras seperti semen yang dipakai membangun rumah barunya yang kecil ini. Ia pernah melihat kakaknya menangis saat jempolnya terjepit pintu dan klub bola kesayangannya kalah; bagaimana bisa dia tak menangis menghadapi keadaan yang bejat ini?
Yang lebih sulit dari melepaskan adalah menanggung rasa malu.