Baktinus memperoleh parcel dari rekan-rekan kerja serta bonus uang saku dari atasan sebagai hadiah pernikahan. Meski tak seorang pun dari mereka ada yang diundang ke resepsi pernikahan, mereka berkata bahwa mereka tak dendam dan malahan mendoakan kebahagiaan Baktinus bersama istri. Mata Lastri berbinar-binar menerima parcel berisi set perlengkapan minum teh terbuat dari porselen mahal. Ia juga menerima hadiah dari rekan-rekan guru tapi tak semahal hadiah pemberian rekan-rekan kerja Baktinus. Teman-teman guru menghadiahkan pakaian-pakaian bayi dan set perlengkapan makan bayi dari plastik berlabel food-grade. Namun Lastri tak tahu menahu tentang uang saku yang diterima sang suami dari Pak Bos. Baktinus sengaja tutup mulut rapat-rapat. Tak sedikit teman-teman lelakinya yang mengeluh tentang dominasi istri akan uang mereka. Mereka pun telah mewanti-wanti Baktinus soal itu. Baktinus tak keberatan dengan aturan uang dipegang istri. Namun situasinya berbeda sekarang. Dia harus memikirkan Mariska dan kedua orangtuanya yang kini bergantung penuh padanya. Mustahil dia menyerahkan urusan keuangan pada Lastri yang doyan jajan dan berdandan. Istrinya pasti pusing dan repot mengatur pengeluaran untuk kebutuhan dua orang bayi dan satu orang adik ipar. Istrinya pasti akan lebih mengutamakan keinginannya daripada kebutuhan seluruh anggota keluarga. Beruntung sebulan setelah menikah Lastri belum menunjukkan tanda-tanda ingin menguasai ATM Baktinus. Sialnya suatu hari justru dialah yang meminta uang pada sang istri. “Kamu tahu sendiri gajiku tidak seberapa untuk kita berlima,” katanya dengan suara minta dimengerti.
“Dan kamu tahu sendiri gajiku sebagai guru cuma seperempat dari gajimu sebagai supervisor sales marketing,” timpal Lastri.
“Tapi duitmu buatmu sendiri, tidak pernah dibagi dengan kami.”
“Belum lama aku belikan popok untuk ayah dan ibumu.”
“Ayah dan ibuku? Sejak kita menikah, mereka juga ayah dan ibumu.”
“Ayah dan ibuku tidak pakai popok,” sindir Lastri.
“Bisakah kamu bantu aku kali ini saja?” Baktinus mencoba tidak terdengar terlalau memelas--tapi gagal.
“Aku sudah bantu kamu berkali-kali tapi kamu tutup mata, seolah kewajibanku adalah juga untuk menafkahi orangtua dan adikmu.”
“Ya sudah, kamu enggak perlu bantu aku membelikan kebutuhan orangtuaku. Kamu juga enggak perlu ngasih uang jajan untuk Mariska. Tapi kali ini saja belikan aku pulsa.”
Salah satu kesepakatan pranikah yang mereka buat adalah menampung kedua orangtua dan si adik perempuan--Mariska--tapi perihal uang tidak dibicarakan secara spesifik. Ini salah Baktinus. Dia mengira seumur hidup dia tak akan pernah harus minta uang pada istrinya. Bukan salah Lastri bila ia bersikap masa bodoh.