Baktinus merasa pusing lebih dari yang sudah-sudah. Dan bila dia merasa pusing, dia kehilangan fokus bekerja. Semakin sering dia menerima laporan dari bibi pengasuh mengenai pertengkaran orangtua dan anaknya. Pertengkaran seringnya karena memperebutkan mainan. Pertengkaran selalu berakhir dengan tangis kesakitan anaknya, membuat Lastri makan hati dan memunggunginya saat malam hari. Namun jika bayi Yoga yang bersikap ringan tangan sehingga membuat ayah dan ibunya—kakek dan nenek Yoga—menangis, Baktinus juga tak sampai hati. Entah apa yang harus dia lakukan. Orangtua dan anak mungkin tidak seharusnya dibesarkan bersamaan di bawah atap yang sama.
Sumber peningnya tak sampai di situ saja. Baktinus terlalu sering disibukan dengan anak dan kedua orangtuanya sampai dalam waktu yang lama dia melupakan adik perempuannya. Dia lupa Mariska adalah gadis remaja yang juga butuh perhatian dan kasih sayang. Dia lupa Mariska juga memiliki masa depan yang masih perlu dikejar dan dibentuk. Dia lupa Mariska tidak seperti dirinya atau pun Lastri, yang sudah tahu alasan mereka bangun tidur setiap hari dan punya tujuan hidup. Adiknya bagaikan hidup di dalam bayang-bayang. Terombang-ambing di lautan transisi antara masa anak-anak ke masa remaja dan kini ia sudah harus mengarungi masa lain dari remaja menuju dewasa. Inilah masa yang menurut Baktinus paling sulit. Namun dia lupa betapa sulitnya masa-masa ini.
Dia terjaga hingga larut malam dengan sabuk di tangan. Ketika pintu dibuka pelahan dari luar, Baktinus sudah bersiap di ruang depan dengan sabuk melayang ke arah Mariska. “Begundal tidak tahu diuntung, dari mana saja kamu?” Sabuk di tanganya mendarat di tubuh adiknya dengan bunyi pecut. Dia tidak akan berhenti sampai bibi pengasuh atau Lastri datang untuk menghentikannya. Di malam yang lain, Mariska tidak lagi melalui pintu depan. Sengaja jendela kamarnya tak dikunci saat ia meninggalkan rumah di siang hari. Namun malam itu tepat setelah ia berhasil melompati jendela, ia mendengar kakaknya mengejar sepeda motor yang baru saja mengantarnya pulang dan menghajar pacarnya sampai lelaki itu menangis. Setelah Baktinus kembali ke dalam, dengan punggung tangan lecet dan napas terengah-engah, Mariska memakinya habis-habisan. “Kamu tahu apa yang dikatakan pacarmu?” kata sang kakak dengan nada mencela. “Dia bilang baik, dia berjanji akan mutusin kamu.”
“Apa?” Mariska menyeka air mata.
“Pacar macam apa itu? Baru ditonjok sekali doang sudah mau mutusin kamu.”
Mariska menangis terisak-isak.
“Kalau dia cinta, dia akan tetap memperjuangkan kamu.”
Mariska sudah tak tahan. Gadis itu menjerit hingga bayi-bayi yang tersentak kaget dalam tidur serentak menangis di dalam kamar. Mariska mengambil vas bunga dan melemparkannya ke arah Baktinus yang sigap berkelit sehingga vas bunga mengenai tembok, pecah berkeping-keping di atas lantai.
“Kamu bukan lagi kakakku, anjing.”
Baktinus menampar Mariska sampai gadis itu jatuh di atas sofa. “Sejak kapan kamu berani bilang anjing ke aku? Demi membela laki-laki itu kamu sebut aku anjing! Kamu yang anjing. Anjing betina tidak tahu diri.”