Kasus Langka Keluarga Nirgunaman

Cicilia Oday
Chapter #8

Diskusi Serius tentang Perang dan Genjatan Senjata

Bila ada pihak-pihak yang tak menyukai pesta ulang tahun barangkali mereka adalah tetangga dan si bibi pengasuh. Beberapa tetangga tidak suka berisik, apalagi bila anak atau cucunya tidak diundang; sedangkan bibi pengasuh tahu betul bahwa setelah pesta usai, bertumpuk-tumpuk perangkat makan kotor menantinya. Namun tak ada yang lebih membenci sebuah pesta ulang tahun daripada Papa dan Mama Nirgunaman. Mereka tahu pesta ini bukan untuk mereka. Mereka hanya penonton yang boleh ada, juga boleh tak ada di sana—tak ada pengaruhnya. Seandainya mereka tidak menjelma jadi anak kecil, mereka berdua pasti diajak ke atas panggung untuk turut mendampingi sang cucu saat sesi meniup lilin bersama Baktinus, Lastri, dan Kakek Nenek Tabahari. Namun insiden yang terjadi setengah jam sebelum pesta, menentukan alasan keduanya harus diisolasi. Papa dan mama Nirgunaman menolak dipakaikan baju yang bagian depannya bertulisan Kakek dan Nenek. Semua anggota keluarga diharapkan mengenakan ‘kostum’ serupa. Baktinus memakai kaos bertulisan Papa, Lastri memakai kaos bertulisan Mama, kakek-nenek Tabahari memakai kaos bertulisan Kakek dan Nenek, bahkan bibi pengasuh memakai kaos bertulisan Bibi / Babysitter. Karena kaos-kaos itu berwarna putih, Lastri melarang kedua mertuanya memakan cokelat yang belum habis mereka makan. Setelah Lastri merebut cokelat-cokelat itu dari tangan keduanya, Papa dan Mama Nirgunaman langsung mengamuk dan berlari ke atas dekorasi ulang tahun sementara bibi pengasuh berusaha menyusul keduanya sambil membawa kaos bertuliskan Kakek-Nenek. Bibi pengasuh sudah mendapat firasat buruk melihat kedua bayi berusia hampir dua tahun itu berlari mengelilingi meja dekorasi. Namun prediksinya ternyata lebih buruk. Kaki Si bayi-mama Nirgunaman terantuk dan ia jatuh menimpa bayi-papa Nirgunaman, lalu Papa jatuh menimpa meja dekorasi, menyebabkan tak hanya barisan cup cake berjatuhan menimpa punggungnya tapi juga kue ulang tahun yang telah dipesan khusus dengan tema baby sharks. Bibi pengasuh menjerit. Pembawa acara dan badut-badut menjerit. Tukang make up dan penata rias rambut sewaan menjerit. Para tetangga yang tak sengaja menonton kejadian itu dari teras masing-masing juga menjerit. Tukang sol sepatu yang kebetulan melintas di komplek rumah juga menjerit. Bahkan tukang tagih air yang sedang menagih air di rumah tetangga juga menjerit. Semua orang menjerit untuk insiden semacam itu. Hanya Baktinus dan Lastri yang tidak menjerit. Sebab keduanya langsung semaput dan kena serangan jantung.

 

 

Lastri sadar betul di balik riasan karya make up artis yang disewa khusus untuk hari istimewa itu, wajahnya sembap setelah menangis hampir satu jam lamanya. Acara akan dimulai setengah jam lagi; semua teman-teman guru dan anak-anak didiknya akan datang; semua rekan kerja Baktinus bersama istri dan anak-anak mereka akan datang; tapi kue ulang tahun utama hancur lebur. Beruntung Baktinus masih selamat dari serangan jantung. Berburu dengan waktu dia menyetir selaju mungkin untuk mencari kue ulang tahun. Dia membawa pulang sebuah kue ulang tahun paling standar yang dijual di toko bakery terdekat. Tak ada lagi waktu untuk pilih-pilih apalagi menyuruh penjaga toko mendekor kue yang baru. Yang penting kue itu masih sempat ditulisi Selamat Ulang Tahun Yoga. Yoga belum bisa membaca. Si bocah tidak tahu apa yang tertulis di atas kue ulang tahunnya. Yang dia tahu seharusnya kue ulang tahunnya dihiasi ornamen-ornamen gula berwujud bayi-bayi hiu berwarna biru dan merah muda menyeringai ke udara. Yoga menangis melihat ornamen kuenya sudah berubah menjadi bunga-bunga mawar.

           “Aku membayar lima ratus ribu untuk kue itu!” jerit Lastri setelah siuman, membuat rambut dan bulu mata palsunya bergetar dan riasan matanya butuh polesan lagi. Saat itu para tamu sudah mulai berdatangan. Para tetangga yang prihatin cepat-cepat membantu membereskan kekacauan di atas panggung. Sayang sekali kue mahal yang dipesan sebulan sebelum hari ulang tahun dan didekor dengan begitu estetik nan lucu harus berakhir di tempat sampah. Bahkan lilin angka satu tak dapat diselamatkan, sebab lilin itu patah. Sisa-sisa krim yang menempel di atas karpet buru-buru ditutup dengan pot-pot berisi tanaman hias. Dekorasi meja yang seharusnya dihiasi barisan cup cakes juga diganti dengan barisan bunga-bunga plastik. Para tetangga belum pernah melihat pesta ulang tahun anak laki-laki yang dihiasi dengan begitu banyak bunga. Seorang tetangga yang sempat mengabadikan kekacauan selepas insiden tabrakan tadi tak menunggu satu hari untuk mengunggah foto-fotonya di Facebook. Captionnya berbunyi: inilah yang terjadi ketika kakek dan nenekmu baru berusia dua tahun.

           Lastri melihat unggahan itu, berhari-hari kemudian, dan kebencinanya terhadap kedua mertua masih berkobar sengit. Meskipun Baktinus telah menghukum ayah dan ibunya, bagi Lastri itu tak cukup. Ia ingin kedua anak itu tak hanya dikurung. Ia ingin mereka dibuat kelaparan. Sampai mereka terlalu lemah untuk menyesali perbuatan mereka. Apa gunanya mengurung dua orang anak kecil di dalam kamar berisi mainan dan diberi makan setiap empat jam? Mertuanya akan mengira perbuatan mereka tempo hari bukan kesalahan besar sehingga masih ada kemungkinan untuk mengulangnya kembali. Barangkali ia terlalu baik membiarkan mereka lolos, pikir Lastri. Tak sekali pun ia meninggalkan jejak kekerasan fisik pada kedua anak yang telah merugikan dirinya dan hampir merusak hari bahagia yoga. Orang dewasa lain akan setidaknya mencubit atau menempeleng anak-anak yang kenakalannya sudah di luar batas. Ingin rasanya Lastri melakukan hal serupa. Perbuatannya tak akan muluk-muluk; hanya menjambak dan menguliti ayah dan ibu mertuanya hidup-hidup. Bagaimana ia bahkan tahu kedua bocah benar-benar ibu dan ayah mertuanya? Mertua seharusnya disayang seperti beruang Teddy. Bisa jadi anak-anak itu siluman, titisan iblis, yang hanya berpura-pura jadi orangtua Baktinus demi memperoleh suaka, dan untuk kasus-kasus tertentu, terbebas dari hukuman yang lebih pantas mereka terima. Ia mencoba membicarakan hal ini dengan Bibi Pengasuh suatu hari.

           “Aku mulai ragu mereka benar-benar papa dan mamanya Baktinus.”

           Bibi pengasuh juga tadinya meragukan, sampai ia teringat wajah si sepupu jauh di masa kecil dulu sangat mirip dengan bocah perempuan yang dipercaya sebagai Ibu Nirgunaman. “Ibu mertuamu punya tahi lalat di belakang telinga. Anak perempuan itu juga punya tahi lalat di tempat yang sama.”

           Lastri percaya itu cuma kebetulan. “Banyak orang di dunia ini punya tahi lalat di belakang telinga. Apakah itu artinya mereka semua ibu mertuaku?”

           “Ayah mertuamu punya kelingking tambahan di kaki kirinya. Anak laki-laki itu juga punya.”

Lihat selengkapnya