Baru tiga bulan waktu berlalu sejak Mariska memutuskan minggat dari rumah tapi rasanya bagai sudah tiga tahun. Sebagai kakak yang baik, tak sehari pun Baktinus tidak memikirkan sang adik yang entah kini keluyuran di mana. Betapa dia berharap Mariska baik-baik saja, tidak menjadi arwah gentayangan yang memilih keluyuran di jalanan daripada harus menghabiskan waktu seharian menjaga bayi di rumah yang kecil. Di sisi lain ketidakhadiran Mariska menciptakan ruang ekstra dalam hati Baktinus yang tak terkontaminasi emosi tertentu. Seperti ruang tambahan dalam memori ponsel yang tercipta secara otomatis ketika berkas-berkas sampah dihapus. Bukan berarti Baktinus menyamakan sang adik seperti berkas-berkas sampah. Namun sejak tak ada Mariska, hasil tensi darahnya menjadi normal, tak ada lagi alasan terjaga di tengah malam untuk menunggu seseorang yang belum pulang, tak ada lagi yang membikinnya pusing dan malu karena pergaulan bebas dengan orang-orang yang tak dia kenal, tak ada lagi yang harus dia kebaskan sabuk kulitnya. Perasaan menjadi seorang abang barangkali tanpa sadar telah membebaninya seumur hidup. Perasaan itu kini terbebas seolah Mariska keluar dari hidupnya karena telah menikah, bukan karena kabur dari rumah. Baktinus membenci dirinya sendiri karena dia mulai menyukai perasaan itu. Karena itulah suatu malam dia menyelinap ke sebuah ball room hotel tempat acara perpisahan kelas dua belas diadakan. Dia memperoleh informasi tentang malam prom night itu dari wali kelas Mariska yang ditemunya beberapa waktu lalu.
Ball room hotel disulap menjadi bak ruang diskotek. Lampu-lampu berkedip warna warni secara bergantian. Guru-guru dan para murid yang sebentar lagi akan menjadi mantan murid, berbaur seperti orang-orang sebaya. Baktinus tak pernah mengalami acara perpisahan sekolah semacam ini. Dulu angkatannya lumayan kolot dan konvensional. Guru-gurunya masih banyak yang galak dan mengajar pakai mistar sepanjang tombak. Betapa jauh rentang masa antara angkatannya dulu dengan angkatan Mariska sekarang. Anak-anak zaman sekarang terasa lebih cepat dewasa daripada usia mereka. Cara mereka berpakaian. Cara mereka bicara. Cara mereka mengambil keputusan. Cara mereka berekasi. Semuanya sungguh berbeda. Baktinus merasakan sedikit tikaman kecemburuan. Dia menangkap sekelabat tubuh Mariska di antara orang-orang yang mengobrol di dekat jendela. Dia menghampiri sosok tersebut, menarik bahunya dengan agak gegabah, mendapati seorang gadis asing yang menatapnya dengan kedua alis berkerut. Baktinus meminta maaf dan beralih ke kerumunan yang lain. Kembali dia melihat sosok yang tak diragukan adalah Mariksa. Buru-buru dia menghampiri, menarik bahu dengan tak sabaran, mendapati sosok yang tak dia kenali. Kembali dia meminta maaf sambil melangkah mundur. Akhirnya sosok yang dia yakin adalah Mariska tampak di ujung ruangan. Kali ini Baktinus tak punya keraguan sedikit pun. Buru-buru dia berjalan melewati ruangan persegi panjang itu, dalam hati berjanji Mariska tak akan lolos dari kedua tangannya seolah sang adik adalah ikan leleh yang mempermainkannya dari bawah air sedari tadi. Jika Mariska adalah ikan leleh, ia adalah ikan leleh bergaun perak yang sekujur bahu dan nyaris setengah punggungnya terpapar pandangan mata. Direnggutnya bahu si ikan leleh dengan kasar. Baktinus berhadap-hadapan dengan seorang gadis yang tak dia kenal. Gadis itu panik lalu mendaratkan tamparan telak di pipi Baktinus. Semua kepala menoleh. Rasa sakitnya tak seberapa dibandingkan rasa malu dan rasa bersalahnya. Baktinus tetap meminta maaf meskipun sudah digampar. Adapun si gadis, seolah baru menyadari tindakannya, juga ikut meminta maaf—meskipun wajahnya tak tampak bersalah. Baktinus menjauh ke sudut ruangan dan berusaha menjernihkan isi kepalanya kembali. Pada saat itu seharusnya Mariska telah melihatnya—jika gadis itu ada di sana. Seseorang mendekat diikuti yang lain.
“Ada yang bisa dibantu? Bapak siapa?” Seorang petugas keamanan bertanya pada Baktinus. Dia lelaki berperawakan tegap yang tampaknya sanggup mengangkat siapa saja hanya dari kerah baju. Bersamanya adalah seorang pria berpakaian formal yang Baktinus yakin adalah seorang guru. Penampilannya mirip para siswa kelas dua belas yang memenuhi ruangan itu, tapi wajahnya adalah wajah lelaki kepala empat atau lebih. Baktinus mengaku apa yang dia lakukan di sana. Bahwa dia sengaja menyusup untuk mencari adik perempuannya yang bernama Mariska. Perubahan air muka sang guru mengatakan bahwa dia kenal siapa yang dimaksud.
“Mariska Nirgunaman?”
“Dia sudah pergi,” sang guru menunjuk arah keluar.
Baktinus merasa kedua lututnya lemas. “Barusan?”
“Sekitar sepuluh menit lalu. Kamu yang ditampar tadi?”
Baktinus punya firasat Mariska memang telah melihatnya. Anak itu buru-buru menyelinap keluar ketika perhatian semua orang tengah tertuju pada sang kakak. Baktinus menyadari bahwa dia seharusnya bertindak sangat hati-hati, tidak menarik perhatian, tidak membuat kehadirannya terendus apalagi diketahui. Dia keluar meninggalkan ruangan gemerlap itu dengan harapan jejak Mariska masih dapat dia ikuti. Namun sekali lagi dia kehilangan jejak adik perempuannya.
Mereka ingin menghiburnya karena adiknya hilang ke dalam mesin waktu. Untuk sesaat Baktinus tak yakin apakah ‘mereka’ adalah rekan-rekan kerjanya di kantor atau para tetangga dari tempat tinggal lamanya. Wajah-wajah bercampur aduk seperti dalam lukisan suasana pasar yang ramai. Di antara wajah-wajah itu terdapat Onak Julidhadyanto, tetangganya dari tempat tinggalnya yang lama, padahal dia yakin mereka adalah rekan-rekan kerjanya. Di antara wajah-wajah itu juga terdapat Pak Bos sang atasan, padahal dia yakin mereka adalah para tetangga dari tempat tinggalnya yang lama. Dua orang pelayan datang mengantarkan pesanan. Bernampan-nampan ikan leleh diatur di atas meja. Tak ada menu lain selain ikan leleh dalam segala olahan; ikan leleh goreng, pecel leleh, ikan leleh santan, sambal ikan leleh, ikan leleh bakar, ikan leleh panggang. Baktinus mau protes ketika dia menyadari salah satu pelayan yang baru saja hendak berpaling adalah Mariska. Dia berdiri. Direnggutnya bahu sang adik. Mariska mendelik kaget dan melangkah mundur seperti melihat genderuwo.
“Ke mana saja kamu?” tanya Baktinus. Rencananya untuk meledak seketika berubah menjadi emosi tertahan yang dia tak yakin bagaimana harus menunjukkannya. Pada akhirnya hanya rasa lega yang tersisa karena dia bisa melihat adiknya lagi.
“Aku tidak ke mana-mana. Aku kerja.”
“Untuk apa kamu kerja… Sebagai pelayan.”
Mariska menatapnya dengan pandangan keberatan. Nada suara sang kakak sungguh mengandung penghinaan. Baktinus tak sadar jika para pelayan ditiadakan dari muka bumi maka dia harus pergi mengambil pesanan-pesanannya dari dapur restoran sendiri. Tak ada yang mengelapi meja-meja yang akan dia tempati sebelum makan. Tak ada yang membawakan menu dan bill ke mejanya setelah makan. Betapa pentingnya pekerjaan sebagai pelayan.
“Yang penting aku bisa bayar kos,” kata Mariska dengan ketus.
“Buat apa ngekos segala. Ayo pulang. Kakak dan Kak Lastri sangat merindukan kamu.”
Mariska menggeleng dan melangkah mundur lagi. Baktinus mulai khawatir jika adiknya melarikan diri dan dia akan kehilangan jejak Mariska kembali. Maka dia tak mencoba menyusul Mariska tapi dia belum menyerah membujuknya. “Ayo pulang. Kakak janji kamu enggak perlu menjaga papa dan mama dan Yoga.”
“Tidak apa-apa. Aku enggak keberatan menjaga mereka. Aku hanya pengen kerja dan mandiri.”
Baktinus tidak tahu apa yang harus dikatakan. sungguh benar ucapan Mariska. Namun Baktinus tak ingin kebenaran. dia ingin mariska pulang, membutuhkan dia dan lastri dan masih menjadi tanggung jawab mereka. Dia tak ingin adiknya mandiri dan tak lagi membutuhkan naungannya. Namun mustahil baginya mengungkapkan isi hatinya yang egois di depan orang-orang yang mulai menyaksikan dan menyimak pertemuan emosional itu. Tanpa diduga Baktinus mulai menangis. “Kakak mohon, pulanglah.”
Mariska menggeleng, melangkah mundur sambil meremas ujung celemek.
“Kakak janji akan menguliahkan kamu. Kakak sudah janji pada papa dan mama.”
“Kakak enggak perlu melakukan itu. Aku tahu kakak enggak punya uang. Dan orangtua kita sudah jadi anak kecil lagi. Mana mereka peduli aku kuliah atau tidak. Yang harus kakak pikirkan adalah mengurus dan membesarkan mereka.”
“Juga membesarkan kamu.”