Kasus Langka Keluarga Nirgunaman

Cicilia Oday
Chapter #10

Dari Tikus Sampai Kecoak; Sehina Itukah Dirinya?

Untuk sesaat gadis itu berharap dirinya seekor tikus. Ketika ia menyusup ke dalam rumah kosong itu lewat jendela yang kacanya ia pecahkan pakai batu. Ketika ia memanjat ke dalam dan mendarat di atas retakan-retakan kaca. Ketika itulah ia berharap dirinya seekor tikus. Sebab tikus hanya perlu menyusup untuk bisa masuk. Butuh beberapa saat sampai ia sanggup memutuskan arah yang harus diambil untuk menuju kamarnya. Dahulu, bahkan dengan mata terpejam ia dapat mencapai kamarnya tanpa kesulitan. Ia tak menyalahkan kegelapan yang merungkup seluruh ruang itu hari ini; ia tak menyalahkan waktu yang telah membuatnya berjarak dari rumah itu; ia menyalahkan kekosongan yang membuat rumah itu seperti bangkai tak bernyawa. Tanpa perabotan, rumah itu seperti bangunan tua raksasa yang begitu asing. Ia tak menyadari betapa lapang rumah yang ia dan keluarganya tinggali selama ini. Ia bisa bernapas dan berlari dengan leluasa—seandainya ia punya alasan melakukan itu. Namun saat ini ia hanya ingin menuju kamarnya. Sengaja tak ia keluarkan ponsel dan memasang fitur senter. Kedua matanya lama-lama terbiasa dalam gelap dan setelah beberapa saat gelap telah menjadi temaram bahkan remang; terima kasih untuk cahaya bulan dan tempias cahaya lampu jalan serta lampu-lampu dari teras tetangga. Keheningan menggaungkan langkah-langkahnya. Remang memerangkap deru napasnya. Kamarnya terletak di ujung koridor lantai dua. Saat menaiki tangga, ada perasaan anak-anak tangga di bawah kakinya dapat rumpal sewaktu-waktu. Ada perasaan lain seolah semua itu tidaklah nyata. Perasaan seolah ia tersesat di semesta film horror dan sebentar lagi ia akan menemui hantu-hantu masa lalu. Perasaan ia sedang mendatangi rumah masa kecilnya sebagai seseorang yang telah beranjak dua abad lebih tua, meskipun rumah itu baru ditinggalkan selama dua tahun. Pada saat itu—setelah dua abad—kedua orangtuanya seharusnya telah tiada, dan bukannya menjadi kanak-kanak tak berguna. Kamarnya kosong melompong. Ia mengira sekelumit perasaan familiar akan menyerangnya dan membuat dadanya sesat. Alih-alih yang ia rasakan hanya kehampaan. Ia tak merasakan apapun. Ia merasa seperti hantu yang tak dapat lagi mengenali tempat tinggalnya semasa hidup. Maka ia beranjak ke ruangan-ruangan lain. Ia pergi ke kamar kakaknya. Lalu ia pergi ke kamar utama, yakni kamar orangtuanya. Di sana masih ada sebuah lemari nakas. Satu-satunya perabotan yang tak berarti apa-apa. Untuk kali pertama ia mengeluarkan ponsel dan menyorot ke dalam laci-laci nakas. Tak ada apapun di dalamnya kecuali pada laci paling dasar ia temukan dua lembar foto yang sudah berdebu. Itu foto-foto yang ia keluarkan dari album foto keluarga pada suatu malam. Masing-masing foto memperlihatkan dirinya dan Baktinus saat masih bayi. Ia memakai swim suit di tepi kolam. Di foto satunya Baktinus hanya pakai popok. Ia hendak menyelipkan kedua foto ke dalam saku ketika seketika keyakinannya goyah. Kedua bayi tampaknya bukan dirinya dan sang abang. Kedua bayi kemungkinan adalah ayah dan ibunya. Bukankah mereka amat mirip satu dengan yang lain? Ia tak ingin menyimpan foto kedua orangtuanya dalam versi bayi. Sebab jika ia ingin, ia bisa pulang ke rumah Baktinus dan menemui kedua bayi yang menjengkelkan itu. Namun ia tak ingin menemui mereka. Ia meninggalkan kedua foto di atas nakas dan kembali menuruni tangga dalam remang. Ia tertidur di lantai bawah yang dulunya adalah ruang tamu. Ketika ia terjaga, seseorang yang tampak amat tinggi berdiri menjulang di atasnya. Membuatnnya berpikir, untuk sesaat, ia pasti telah menjelma seekor tikus.

 

 

Mariska masih ingat satpam dari pos jaga komplek. Pak satpam juga masih ingat Mariska anak bungsu dari keluarga Nirgunaman. Lelaki itulah yang membungkuk di atasnya saat ia masih meringkuk di ruangan depan yang kosong melompong dengan salah satu jendelanya telah dirusak dan pecahan-pecahan kaca berhamburan di lantai. Lelaki itulah yang membungkuk di atasnya, bukan hantu penunggu rumah kosong. Pak satpam baru saja mendapat laporan dari tetangga terdekat bahwa semalam ada yang merusak jendela di rumah tersebut.

           “Kenapa kamu di sini? Mana kakakmu?” Pak satpam tidak menanyakan pertanyaan yang lazimnya ditanyakan orang dewasa pada seorang remaja yang kabur dari rumah; mana orangtuamu?—sebab terakhir kali pak satpam membaca unggahan status seseorang, keduanya masih terjebak dalam fisik dan alam pikiran anak-anak bahkan konon semakin bandel saja setiap hari. Mariska tak mencoba menutup-nutupi perihal keberadannya di sana. Ia tidak mengatakan tentang pertengkaran besar-besaran dengan sang abang yang telah melayangkan cambukan tak berperasaan ke tubuhnya dan yang telah ia sebut anjing. Ia hanya mengatakan bahwa ia merindukan rumah itu dan ia merindukan kamarnya, meskipun tentu saja tak ada apapun lagi yang pantas ditenggok di sana. Pak satpam hampir gagal menutupi rasa sedih di wajahnya. Tak ada orang yang rela tercerabut dari rumah tempat harapan, rasa aman, dan kenangan manis sempat dibentuk. Bahkan seekor kecoak akan melawan bila diusir dari rumah-manusia tempatnya telah menetaskan telur-telurnya. Meskipun begitu pak satpam tak menyarankan ia tetap mematut diri di rumah itu dan berpura-pura bank belum menyitanya. Pak satpam menyarankannya bangun dan memanjat keluar melalui jendela yang telah dirusaknya semalam. Betapa menyesal ia membiarkan dirinya ketiduran dan merelakan dirinya menjadi santapan lezat para tetangga yang lapar akan topik gunjingan. Tetapi ternyata tetangga yang menunggunya di luar hanya satu orang. Apa yang dilakukan Onak Julidhadyanto di sana, adalah pikiran pertama yang mengganggu Mariska seperti seekor laron yang tak sengaja nyasar di kelopak matanya. Yang terburuk terjadi sedetik kemudian yaitu ketika Onak mengeluarkan ponselnya dan mulai mengarahkan kamera ke arahnya. Mariska memalingkan wajah dan berlari ke jalan seperti tiba-tiba mendapatkan aba-aba dalam kepalanya untuk berlari. Pak satpam mengejar tapi gagal.

Lihat selengkapnya