Ada rasa lega yang enggan dia akui dalam dirinya setiap kali dia tiba di rumah dalam keadaan sunyi senyap. Hal itu melegakan; kesunyian dan kesenyapan itu sungguh melegakan. Bayangkan dia sudah letih bekerja seharian dan harus meladeni kenakalan dan kerewelan Yoga yang sedang bersemangat memanjat meja dan jendela, belum lagi kedua orangtuanya yang selalu bersaing memperebutkan perhatiannya. Bahkan kepada sang istri Baktinus enggan mengakui kelegaan ini. Lastri kerap berkata anak-anak adalah obat lelah; kehadiran dan kepolosan mereka membuat rasa letih langsung sirna. Baktinus yakin itu karena Lastri tidak seletih dirinya untuk merasa terhibur dengan hanya melihat ulah anak-anak. Dia justru merasa lebih tentram melangkahkan kaki ke rumah dengan sambutan hangat sang istri yang masih rela terjaga untuk menunggunya pulang. Malam itu Baktinus membawa martabak manis kesukaan Lastri, ketoprak, dan dua gelas es kopi untuk mereka berdua. Lastri belum tertidur bukan karena menunggu Baktinus tapi karena tempat tidur mereka tiba-tiba jadi sempit karena ketiga anak tidur dengan pose amburadul; kaki kiri yoga di atas kepala neneknya sedangkan kaki kanan di atas kepala ibunya, adapun kaki kiri sang nenek alias mama berada di dekat kepala papa atau suaminya sedangkan kaki kanannya di atas paha Lastri, adapun papa nyasar di dekat kaki Lastri sementara salah satu kakinya bertumpu di atas perut Mama. Tubuh-tubuh kecil yang sungguh makan tempat, membuat Lastri terpojok dan terenggut dari tidur nyenyak yang paling mungkin diberikan oleh ranjang pegas hadiah pernikahannya itu. Di sisi lain Lastri tak berani membenarkan posisi-posisi tidur ketiga bocah, tak ingin ambil risiko membangunkan salah satu sebab itu berarti membangunkan ketiga-tiganya. Demikian kondisi tidur di kamar Lastri dan Baktinus setiap malam sejak bibi pengasuh pergi. Kadang-kadang Baktinus harus mengalah tidur di sofa atau minggat ke kamar sebelah. Lalu Lastri akan menyusul suaminya dengan mengendap-endap seolah dalam mimpi pun yoga dan kedua mertuanya yang usil akan dapat mendengar suara langkahnya. Bagaimanapun, tidur berduaan di atas kasur tipis ukuran single terasa seperti bulan madu sampai salah satu anak membuyar ketentraman malam karena ngompol di celana atau bermimpi buruk. Malam itu tak ada tanda-tanda akan berbeda dari malam-malam yang sudah-sudah. Baktinus tak hanya ingin menjejalkan makanan-makanan berlemak ke perut sang istri tapi kemudian menyenangkannya habis-habisan di atas sofa seolah mereka sepasang remaja yang baru jadian. Sudah lama keduanya tak bermesra-mesraan seperti itu. Hubungan suami istri yang terjadi di antara keduanya selama ini tak lebih dari kebutuhan biologis semata tanpa menyentuh sisi emosional. Namun bermesra-mesraan di sofa seperti anak abg membuat Lastri, untuk sesaat, lupa bahwa dirinya—secara fisik—ibu satu anak—meskipun secara psikis ia merasa seperti ibu tiga anak. “Oh ya, aku mau bilang sesuatu,” katanya setelah berhasil menarik bibirnya dari lumatan mesra Baktinus. Tapi Baktinus tak peduli. Dia beralih ke leher dan belakang telinga, membuat Lastri mulai memejamkan mata dan melupakan keinginannya bicara. Meskipun kemesraan itu berakhir dengan persetubuhan yang cukup intens, mereka selesai hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit.
“Jadi,” kata Lastri dengan ritme napas yang belum beraturan. “Ada yang mau aku katakan, mewakili mama. Soal kejadian tadi siang,”
“Tidak. Ssttt…” Baktinus menempelkan telunjuk di depan bibir sang istri. Dia pernah melihat para kekasih di film-film drama melakukan hal yang sama. Cara ini langsung ampuh membuat sang lawan bicara terdiam. Apalagi atmosfer dan konteks percakapan mereka cukup mendukung. “Jangan katakan sekarang. Aku mohon. Aku tidak ingin merusak suasana intim ini.”
Lastri mendorong jari Baktinus dari bibirnya. Ia tahu benar apa yang dilakukan oleh jari itu beberapa saat yang lalu saat mereka masih bergumul di sofa. Berani-beraninya Baktinus menempelkan jari yang masih beraroma cairan tubuhnya sendiri ke mulut Lastri. Ia mengambil es kopi dari atas meja dan minum lewat sedotan sebesar telunjuk dengan wajah memberengut.
“Omong-omong,,” kata Baktinus setelah hening sebentar. Bersyukur Lastri tidak balas menempelkan telunjuk di bibirnya. Biasanya memang para lelaki yang lebih sering melakukan tindakan semacam itu. “Tadi pagi aku bertemu tetangga lamaku di depan sekolahmu.”
Lastri mendengarkan tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Namanya Onak.”
Lastri tak mengenal orang yang dimaksud. Meskipun ia dan Baktinus telah berpacaran sejak SMA, tidak semua tetangga Baktinus dikenalnya. Begitu juga dengan tetangga-tetangga Lastri tidak semua dikenal oleh suaminya. Tak heran ia segera merasa bosan dengan cerita tentang tetangga apalagi tetangga lama dari rumah yang telah disita oleh bank.
“Kami temanan sejak kecil,” Baktinus melanjutkan. “Orangtuanya dulu sering pinjam uang ke orangtuaku. Jaminannya bisa macam-macam: sepeda motor, perhiasan, sampai barang-barang elektronik. Sewaktu Onak mau kuliah, orangtuanya tidak punya biaya sehingga mereka kembali harus pinjam uang ke orangtuaku. Singkat kata, hidup mereka tidak seberuntung kami. Di masa itu.”
“Baiklah. Tidak semua orang seberuntung kalian di masa itu. Tapi hidup ini bagai putaran roda, kau tahu. Hari ini kau di puncak, besoknya kau terjun bebas tanpa parasut. Jadi apa gunanya membanding-bandingkan? Di atas langit masih ada langit, tapi pandangan kita terbatas.”
Baktinus menangkap nada sindiran dalam suara Lastri. “Bukan itu tujuan dari percakapan ini. Bukannya aku sedang membanding-bandingkan.”
“Jadi apa tujuan dari percakapan ini?” Lastri bersedekap. Baktinus menyesap es kopinya lewat sedotan sebelum melanjutkan. Mungkin tidak apa-apa mengonsumsi kopi di jam selarut itu dengan ukuran sedotan yang tak membolehkanmu minum sedikit demi sedikit. Namun es kopi adalah minuman manis dengan perasa kopi dan campuran es jadi tak ada kekhawatiran mereka tidak akan mengantuk hingga dini hari.
“Maksudku dengan percakapan ini adalah aku mau merenung. Hidup seharusnya mudah ditebak. Tapi siapa sangka hari ini orangtuaku menjadi anak kecil yang enggak berdaya sedangkan si Onak memakai rolex dan mengendarai Fortuner.”
Lastri tidak tampak terkejut. Lastri tidak mengenal orang yang dimaksud sebaik Baktinus. “Tidak ada yang mustahil. Bahkan kalau dia mau mencalonkan diri jadi presiden, kamu bisa apa?”
“Dia tahu aku menyadari perubahan drastis yang terjadi padanya. Dia tahu aku kagum dan penasaran. Tapi dia tidak mencoba menutup-nutupi apapun. Jadi dia mentraktirku minum kopi dan menceritakan tentang pekerjaan yang membuat hidupnya berubah dalam semalam.”
“Dalam semalam.” Lastri bergumam sambil mencari-cari remote tv di bawah meja. “Aku tidak mempercayai apapun yang terjadi dalam semalam.”
“Tapi dialah buktinya. Si Onak itu. Las, kalau kamu tahu kehidupannya dan keluargannya dulu, dan melihat dirinya yang sekarang, kamu juga pasti akan terkejut.”
Lastri menyedot es kopinya sambil memindahkan saluran TV tanpa minat. “Jadi apa pekerjaannya?”
Baktinus menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya di depan dada seperti bersiap menyantap sepinggan kalkun panggang untuk dirinya sendiri. Caranya memulai penjelasan menyiratkan bahwa dia telah mempersiapkan dan menunggu berjam-jam untuk obrolan ini. “Pada dasarnya dia hanya seorang agen asuransi. Kliennya memang kebanyakan para pemilik perusahaan. Tapi yang mengubah hidupnya adalah penghasilan sampingannya.”
Lastri hampir tersedak karena tawa mengejek.
“Ini serius, Las. Hidupnya benar-benar berubah karena bisnis itu.”
“Ok.” Lastri tampak berusaha seserius suaminya.
“Namanya Roda Keberuntungan. Itu nama bisnisnya. Kita hanya perlu menanam modal sekian, sesuai yang kita mau. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, modalnya balik ke kita dengan keuntungan delapan puluh persen.”