Kasus Langka Keluarga Nirgunaman

Cicilia Oday
Chapter #12

Kejam, Frustrasi, Senewen

Ada yang mau aku katakan, mewakili mama. Soal kejadian tadi siang.

Ibu Tabahari telah mengendus suatu firasat buruk sejak hari pertama. Sudah cukup buruk memiliki besan yang tak dapat diajak mengobrol tentang kelucuan para cucu, cara bercocok tanam, resep masakan, cuaca ekstrim, hingga tentang Covid-19. Padahal pada masa itu semua orang bisa diajak bicara tentang Covid-19: tukang sayur, sopir angkot, satpam swalayan, tukang sol sepatu, wanita jompo yang mengantri bersamanya di ruang tunggu dokter gigi. Kedua besan Lastri satu-satunya pihak yang tak dapat diajaknya bicara tentang apapun. Seolah kenyataan itu saja belum cukup buruk, ia pun mesti mengasuh keduanya bersama dengan sang cucu. Hal-hal buruk terus terjadi kemudian; anak-anak memanjat kursi dan meja, menjatuhkan macam-macam, anak-anak kerja-kejaran di penjuru ruangan, menyambar ini dan itu, anak-anak menjerit dan bertengkar, anak-anak menangis. Kedua besannya saling jambak rambut. Si anak perempuan menggigit tangan si anak laki-laki. Anak-anak menjerit semakin keras. Bu Tabahari menenggelamkan kepalanya di bawah bantal dalam upaya tidur siang yang sia-sia. Kekacauan itu tidak akan terjadi seandainya Yoga dititipkan seorang diri saja. Ia menarik cucunya ke kamar dan menyuruhnya tidur siang. Kedua besan dibiarkan di ruangan yang lain. Tiba-tiba terdengar sesuatu gemeretak di lantai. Bunyinya menyobek kesunyian. Bu Tabahari mengernyit sambil mengusap dada di tempat tidurnya. Firasat buruknya menjadi kenyataan. Bu Tabahari keluar, mendapati vas bunga kesayangannya telah menjadi serpihan-serpihan kristal berserakan di lantai. Bu Tabahari menangis di sudut ruangan tapi telah percuma; vas kristalnya hanya akan kembali kecuali bila ia beli yang baru. Masih terisak-isak, ia menelepon Lastri yang masih tengah mendidik dan mengomeli anak-anak orang di ruang kelas.

 

 

Ada yang mau aku katakan, mewakili mama. Soal kejadian tadi siang.

Lastri bersumpah suaminya harus membayar atas ketidakacuhannya yang tak terpuji. Tetapi terutama suaminya harus membayar atas kekurangajarannya membuat sang ibu mertua menjadi pengasuh gratis atas kedua orangtuanya. Ia mulai mengemasi pakaian-pakaiannya ke dalam travel bag pagi itu ketika ayam-ayam bahkan belum berkokok. Sesungguhnya ia tak perlu membawa satu potong pun pakaian bila ia bermaksud bermalam atau tinggal selama beberapa hari di rumah orangtua; ada tiga rak penuh berisi pakaiannya di dalam lemari di kamar lama. Namun apalah artinya minggat dari rumah suami tanpa mengemasi pakaian-pakaian dengan tergesa-gesa seolah ia akan ketinggalan kereta jika tak bergegas. Pertengkaran suami istri di film-film selalu dipenuhi adegan semacam itu: istri mengemasi pakaian di dalam koper atau tas sementara suami memohon dengan putus asa agar tidak ditinggalkan. Lastri sempat khawatir baktinus tak akan memohon-mohon memintanya supaya berubah pikiran. Untungnya Baktinus tak hanya memohon tapi juga bersujud dan berjanji tak akan membahas masalah tabungan deposito. Sikap memelas Baktinus membuat Lastri semakin bersemangat mengemasi pakaian-pakaian.

           “Kumohon, jangan pergi,” wajah Baktinus begitu merah karena menahan tangis.

           “Aku butuh ketenangan.”

           “Aku akan memberikan kamu ketenangan yang kamu inginkan.”

           “Aku enggak tenang lagi di sini.”

           “Jangan bawa Yoga jauh dariku!”

           Lastri selesai berkemas dan menarik resleting travel bag dengan suara nyaring demi menegaskan keberangkatannya. Seolah ia hendak berangkat ke dubai, bukan sekadar ke rumah orangtua yang hanya berjarak tiga kilometer. “Kamu boleh menjemput aku dan Yoga di rumah Mama setelah kamu sudah menemukan pengasuh untuk kedua orangtuamu.” katanya dengan dingin sehingga Baktinus nyaris tak mengenali suaranya.

           “Setidaknya izinkan aku mengantar kamu dan Yoga ke rumah mama,” Suaminya memelas. “Dan sampaikan permohonan maafku untuk mama.”

“Sampaikan saja sendiri.”

“Nanti kubelikan vas bunga yang baru. Aku janji.” Baktinus telah diberitahu bahwa jambangan kristal yang dipecahkan oleh orangtuanya dibeli dengan harga tujuh ratus lima pulih ribu. Tapi dia pura-pura tak ingat. Dia bisa memperoleh jambangan yang sama yang dijual setengah harga di pasar swalayan—tapi Lastri tak perlu diberitahukan soal ini.

Lihat selengkapnya