Kasus Langka Keluarga Nirgunaman

Cicilia Oday
Chapter #14

Arwah Gentayangan

 

Bagaimana dia bisa memperbaiki kinerja di mata para atasan dalam waktu tiga hari saja? Dalam waktu tiga hari, bisa menambah satu target penjualan saja sudah lumayan. Tetapi itu nyaris mustahil dengan pekerjaan rumah yang menumpuk, dua bocah yang menguras fokus dan energinya setiap menit, dan pasangan hidup yang egois dan tidak kooperatif. Seminggu lebih sudah baik dia maupun tim yang dia komandoi tidak mendapatkan booking ataupun sekadar prospek. Berkas-berkas calon pembeli yang tiba di mejanya kebanyakan tidak memenuhi syarat, namun sedikit yang memenuhi syarat pun tetap saja lost deal. Barangkali dia memang harus siap-siap kehilangan pekerjaannya. Apa yang harus dia lakukan tanpa bekerja? Bagaimana dia bisa menemui Lastri, Yoga, dan keluarga istrinya jika dia menjadi seorang pengangguran? Di mana dia harus meletakkan wajah dan harga dirinya? Maukah dia membiarkan dirinya dan kedua orangtuanya dinafkahi oleh Lastri sampai dia menemukan pekerjaan baru? Sekali pun dia mau, Lastri pasti tidak akan mau. Dia mengira hidupnya pernah berada di jalan buntu. Dia mengira hanya karena dia pernah berada di jalan buntu maka untuk selanjutnya jalan hidupnya mulus-mulus saja. Entah kenapa jalan buntu tak henti-hentinya menemui langkahnya.

Baktinus menatap kedua bocah yang telah tertidur pulas. Kedamaian yang terpancar dari wajah dan suara tarikan napas mereka, membuat keduanya seolah tak berasal dari dunia penuh carut marut yang sedang Baktinus jalani. Seolah ada cangkang transparan yang melindungi mereka dari dunia yang keras, dingin dan tak punya hati. Mereka tidak tersentuh. Mereka tak tersakiti. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka tak dapat disalahkan. Rasa iri mengiris dada Baktinus dengan rasa getir. Seharusnya dialah yang menjadi bocah-bocah itu. Dia juga ingin dilindungi, dia ingin merasa rapuh, dia ingin dinafkahi, disayangi, dan menjadi alasan seseorang terus berjuang dan berharap.

“Apakah dulu kalian pernah berpikir mau menyerah sewaktu membesarkan aku dan Mariska?” dia bertanya pada kedua bocah yang masih tertidur pulas. Hanya suara napas

Bukankah kedua orangtuanya pernah menjadi anak-anak; kenapa kini mereka harus menjadi anak-anak lagi dan membuat dia, Baktinus, menjadi orangtua bagi mereka? Seharusnya dialah, Baktinus atau adiknya, yang menjadi anak kecil kembali selagi kedua orangtuanya masih ada di dunia ini. Itu tidak terlalu ajaib dan absurd, bukan, membayangkan dirimu menjadi bayi untuk kedua orangtuamu sekali lagi, alih-alih dirimu menjadi orangtua bagi kedua orangtuamu yang menjadi anak kecil sekali lagi. Apakah pada akhirnya semua orangtua akan menjadi anak-anak bagi anak-anak mereka meskipun mereka, anak-anak, tidak berkehendak, dan mereka, anak-anak, memiliki anak-anak biologis mereka sendiri? Benarkah bahwa pada akhirnya semua anak akan menjadi orangtua sebelum waktunya? Sebagaimana dia menjadi orangtua bagi kedua orangtuanya dan Mariska sempat juga menjadi orangtua bagi kedua orangtua mereka di usia yang begitu belia?

           Baktinus menguap. Kelelahan setelah bekerja seharian—dalam makna professional dan domestik—membuatnya jadi cepat mengantuk begitu malam merayap. Fisiknya tak lagi memungkinkan ia untuk begadang. Baktinus beringsut ke tepi tempat tidur dengan pelan, supaya tak mengusik kedua orangtuanya. Sejak mereka bertiga saja di rumah, mereka tidur di kamar utama sekaligus. Rutinitasnya menjelang tidur Baktinus adalah memakaikan popok untuk papa dan mama nirgunaman. Jika Lastri pulang nanti dan ranjang mereka bau ompol, istrinya pasti akan minta beli ranjang baru. Terdengar suara derit meja dari ruang depan. Seolah seseorang baru saja melintas dan tak sengaja menyambar sudut meja. Seandainya siang hari suara sekecil itu pasti luput dari telinga Baktinus. Namun keheningan membawa suara-suara dari penjuru rumah seperti berasal dari sudut kepalanya sendiri. Baktinus ingat ia lupa mengunci pintu depan saat masuk tadi. Lingkungan perumahan tempat tinggalnya sangat aman dari maling; tapi Baktinus tak akan kaget bila mendapati seekor anjing atau kucing yang lupa diberi makan pemiliknya telah menyusup, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dengan malas-malasan dia beringsut dan berjalan keluar dari kamar untuk mengusir si tamu tak diundang. Dia baru saja tiba di ruang tengah ketika melihat Marisk berdiri di depan kulkas, menenggak air di dalam botol yang diambilnya dari rak di pintu. Dia mengira gadis itu hantu, arwah gentayangan yang singgah ke rumahnya untuk minum. Baktinus berhasil mengendalikan diri, tidak menunjukkan rasa kaget sedikit pun. Dia berbalik menuju ruangan depan untuk memeriksa pintu yang lupa dikuncinya tadi, berpura-pura seolah tak ada siapa pun yang datang. Ketika dia yakin dia sudah cukup jauh dari ruang tengah, sehingga adiknya tak akan melihatnya atau setengah punggungnya dari depan lemari es, Baktinus membiarkan dirinya menangis tanpa suara.

Lihat selengkapnya