Pengorbanan Kimi
“Nah, gitu dong Bu Arun muroja’ahnya pindah tempat, jangan di kelas terus, kalau begini kan jadi enak!” celetuk Kimi spontan, siswa kelas sebelah yang bergabung pada saat jam belajar alquran dimana aku menjadi penanggung jawabnya.
Selama seminggu ini anak-anak kelihatan sangat senang. Saat pertama kali kami bersepakat untuk berpindah tempat muroja’ah (mengulang hafalan alquran).
Kimi bukan main senangnya anak yang berkulit coklat sawo matang ini ketika ku ajak melakukan kegiatan mengulang hafalan alquran di luar ruangan. Kimi yang mandiri, nampak pada tatapan mata yang selalu berbinar saat mengikuti pelajaran.
Dengan tangan membentang bak pesawat terbang kami pun berlari memutari kebun dan mendarat di tempat muroja’ah kami yang baru.
Di sebuah teras yang di depannya terdapat pohon yang rimbun, udaranya yang sejuk angin berhembus semilir.
Saat giliran Bang Kimi yang muroja’ah, dia tengah melompat-lompat girang sambil melihat ke arah parkiran.
Ku panggil ia agar bersegera menuju tempat ku berada, “Kimi sedang apa, yuk kita muroja’ah!”
Aku pun penasaran apa yang sedang abang Kimi perhatikan. Ternyata mobil kijang avanza warna biru yang datang, keluarlah seorang laki-laki dengan berkacamata hitam dan seorang wanita berkerudung panjang berwarna cerah.
Ooo, ternyata ayah dan bundanya Kimi yang datang, tapi kedatangannya kali ini hanya mampir untuk beli roti yang ada di depan sekolah kami. Kami pun melambaikan tangan sebentar dan melempar senyum ke arah mereka.
Kimi tahu dia harus segera melanjutkan kegiatan, dia pun segera duduk manis dihadapanku dan melanjutkan hafalan quran yang sudah sampai surat Al-Qadr. Di usianya yang baru 5 tahun ini, Kimi termasuk anak yang luar biasa dengan hafalan quran yang baik dan pelafalan yang jelas.
Kimi kelihatan tidak fokus karena kehadiran orang tuanya saat itu, dia terlihat berusaha untuk tetap memperhatikanku.
Selang beberapa menit, orang tua Kimi pun kembali ke mobil. Sepertinya mereka tidak ingin mengganggu kami yang tengah asyik belajar. Posisi duduk yang menghadap ke parkiran membuatku melihat wajah kedua orang tua yang sedang memandangi buah hatinya.
“Kim, itu ayah bunda sudah mau pulang” kataku sambil mengajak Kimi melambaikan tangan.
“Bu Arun kira, ayah sama bunda mau ke sekolah, eh ternyata mau beli roti hehe.” kataku.
“Iya nih, aku kira juga Bu. Eh enggak tahunya cuma beli roti,” balas Kimi sambil tersenyum agak kecut.
Setelah itu aku ingin mengajak Kimi untuk melanjutkan murojaahnya, tapi aku melihat Kimi menyeka sesuatu dari matanya.
“Kenapa Kim, abang nangis ya?” aku memandang wajah anak itu.
“Enggak kok bu, cuma keluar air dari mata Kimi.” ujarnya sambil terus mengucek matanya.
“Masa sih Kim, itu sih air mata namanya. Kangen ya sama ayah dan bunda, insyaallah besok juga ketemu.” kataku berusaha menenangkan Kimi.
“Kalau Kimi kangen, gak apa-apa juga kok kalau menangis.” tambahku lagi.
Dengan gaya bak professor, Kimi menjawab.
“Ahhh Bu Arun, Kimi kan udah gede, bukan bayi yang suka owek-owek.” tangannya pun bersedekap dengan muka memberi tahu.
Kami pun tertawa, aku tahu dia pasti sangat rindu sekali dengan kedua orang tuanya. Anak TK-B itu, dia harus tinggal bersama neneknya. Lalu kembali ke Kota Hujan di Sabtu dan Minggu untuk kembali bersama orang tuanya. Suatu hal yang tak pernah aku alami ketika usia dini.
Sebuah pengorbanan yang luar biasa untuk anak seusianya. Kimi, dia selalu membawa senyum ke Sekolah. Kimi calon pemimpin masa depan.