Dua Saudara dari Seberang
Langit mulai nampak jingga kemerahan, angin berhembus sepoi-sepoi. Sore yang begitu sibuk, aku merapikan kelas usai belajar tadi pagi. Sebelum pulang, aku harus memastikan pintu-pintu telah terkunci, tidak ada ban yang berantakan, menyiram kebun, dan membuang sampah di kelasku.
Semenjak aku mengajar di Sekolah Kayu, aku jadi belajar memperhatikan lingkungan. Rasanya tidak enak jika ada yang berantakan, maklum Bu Pelita kepala sekolahku selalu mengingatkan tentang kebersihan dan kerapihan dan kelamaan aku pun menjadi terbiasa.
Saat aku akan mengunci pintu kantor, tiba-tiba suara telepon berdering. “Kring…Kring…” Suara seorang laki-laki dewasa sedang berbicara di ujung telepon sana, seorang bapak sedang menuju ke sekolah kami, beliau memintaku untuk menunggunya sebentar.
Bapak itu menceritakan perihal kedatangan ke sekolah, ia bermaksud mencari sekolah untuk keponakan yang ada di daerah Rantau Prapat, Medan. Mereka sepasang kakak adik, Dinar dan Danar.
***
Tak lama Dinar dan Danar pun telah terbang dari Rantau Prapat ke sekolah bersama dengan kedua orang tuanya untuk wawancara.
Awal pertemuanku dengan Dinar, aku bertanya namanya dengan menggunakan bahasa Inggris.
“What’s your name?” alih-alih hanya mencoba saja ternyata murid baruku ini yang kelihatannya bersikap cuek itu menjawab.
“Dinar.” takjub aku mendengarnya ternyata Dinar telah familiar dengan percakapan dalam bahasa Inggris sederhana. Lalu dia menghampiriku yang saat itu berada di dalam kantor. Dinar terlihat senang melihat mainan yang ada di kantor.
Ketika itu aku pun mencuci piring yang dipakai untuk wadah snack, spontan Dinar pun ingin mencuci piring juga. Waktu itu aku bermaksud untuk mempersilahkan Dinar untuk ikut belajar mencuci piring juga, dan mengambilkan sebuah piring plastik yang masih bersih agar tidak berbahaya kalau saja terjatuh.
Tapi Dinar memang anak yang cerdas, malahan dia mengatakan padaku dengan dialek Medannya.
“Ibu ini kan sudah bersih, kenapa harus dicuci lagi? aku mau yang itu sajalah!” Sambil menunjuk ke arah piring kaca yang masih kotor. Alhasil akupun mengawal bocah gembul ini selama ia mencuci piring.
Alhamdulillah beberapa waktu kami telah menunggu kehadiran murid baru, akhirnya telah dikabulkan oleh Allah SWT. Tak tanggung-tanggung dua saudara dari Medan dikirim Allah untuk kami, Abang Dinar dan Abang Danar begitu kami memanggil mereka. Walaupun dialek Medan Dinar dan Danar sangat kental, tapi ternyata orang tua mereka bukanlah berasal dari sana.
Kedua orang tua Dinar dan Danar, masing-masing dari mereka berasal dari Jawa dan Jakarta. Mereka tinggal untuk beberapa lama dikarenakan tugas pekerjaan sang ayah. Ibu pun akhirnya tinggal dekat dengan sekolah bersama kedua putra, demi mengurus pendidikan dua buah hatinya itu dan ayah yang saat itu masih di rantau prapat.
Di Rantau Prapat, agak sulit mencari sekolahan untuk Dinar, menurut hasil psikolog, Dinar termasuk anak yang memiliki keunikan dalam gaya belajar. Dinar membutuhkan metode belajar yang menarik agar masuk dalam sistem perhatiannya.
Di sekolah Dinar di Rantau Prapat, ia tak pernah hafal nama gurunya. Semua Ibu Guru ia panggil dengan sebutan Bu Guru dan pelajaran pertama untuk Dinar setiap pagi di sekolah kami adalah menghafalkan nama guru.
***
“Bu Arun mana murid barunya?” tanya Abang Kimi padaku.
“Itu bang dua orang yang baru datang.” jawabku.
“Waaa, kok gede banget.” terkaget sambil melanjutkan bermain ayunan.
Aku ingin tertawa mendengar reaksi Kimi, tapi tak jadi karena kutahan. Aku harus mengingatkan anak-anak dan diriku agar tak body shaming kepada orang lain.
“Gak boleh gitu Kimi, itu namanya gemuk” maklum Kimi dan teman satu-satunya Mas Amer sama-sama bertubuh kurus dan tinggi.
Dua big brother ini pun meramaikan hari-hari di sekolah kami. Dinar dan Danar adalah anak yang gemar makan. Awalnya jam makan mereka tidaklah sama dengan jam makan di sekolah. Jadilah, setiap kegiatan belajar yang bentrok dengan jam makan mereka, kerap kali membuat keduanya menangis.
The first six weeks, kami harus membiasakan mereka dengan peraturan, membuat kami harus memegangi mereka ketika menangis, untuk menenangkan mereka karena tak mungkin kami menggendongnya, setelah itu kami memberikan pengertian.
Dinar memiliki kemampuan sosial yang sangat baik. Ini terbukti saat bocah bertubuh gembul itu, menawariku snack makan siangnya.