Dimataku Ada Bu Arun
“Bu Arun tunggu sebentar.” Pilar berusaha menarik bajuku, agar aku berhenti sejenak dan mendengarkan.
“Lihat deh dimata aku ada Bu Arun, dimata Bu Arun ada aku.” Aku mendapati sepasang mata yang berbinar-binar.
Bocah bertubuh kurus tinggi, kulitnya putih. Jika berjalan ia senang melompat-lompat seperti kelinci. Pilar salah satu murid yang sangat aktif. Jika tidak pandai bersabar dengannya, mungkin aku tidak akan mengalami hal-hal romantis yang dibuat olehnya seperti yang dia katakan hari ini.
Masih teringat dalam ingatanku. Ketika hari pertama masuk sekolah. Pilar belum terbiasa dengan peraturan. Kebiasaan yang kami tanamkan, salah satunya adalah menghabiskan makanan dan tidak boleh berlebihan dalam makan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, saatnya Pilar pulang. Tetapi ia belum juga menghabiskan makan siangnya. Melihat kakek yang telah datang untuk menjemput, ia pun menjadi panik. Aku coba memberi semangat, tapi ia justru semakin bertambah panik.
“Tolong, aku mau pulang. Aku tidak bisa menghabiskan makanan iniii…” kata Pilar sambil terus menangis.
“Oke, untuk saat ini kamu boleh tidak menghabiskan makananmu. Tapi aku ingin berbicara dengan Pilar. Berhenti dulu menangisnya ya, boleh.”
“Tidak aku mau pulang, toloooong…”
Bukannya berhenti menangis, malahan Pilar meraung-raung. Ini pengalaman pertama untukku menangani anak seperti Pilar. Ku coba untuk mendekap tubuh kecilnya, mencoba menenangkan. Tetapi ternyata tidak berhasil. Malahan ia berusaha untuk lepas dari dekapanku. Dia menarik-narik tanganku dengan sekuat tenaga. Hasilnya ia pun mencakar wajahku dan meninggalkan segores luka.