Di dinding sebuah café yang bernuansa Islami itu tertulis sebuah kata yang sangan menyentuh hatiku (yang tuhan inginkan adalah. kamu harus Ikhlas bukan memebekas.) kata-kata itu sontak membuatku termenung. Pikiranku mulai mengenang hal indah dalam hidupku yang kini menjadi luka dihidupku.
Lamunanku terhenti saat suara tak asing itu menyebut namaku “Shofia.” Aku menoleh kesamping dan benar saja itu suara sahabatku, Amelia. aku begitu senang saat melihatnya dan langsung memeluknya. sudah hampir empat tahun kami tak pernah bertemu.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku, “lama tidak bertemu.”
“Alhamdulillah, aka baik. Bagaimana denganmu?” tanya Amel padaku
“Alhamdulillah aku baik.”Jawabku dengan tersenyum
“Benarkah? tapi senyummu mengatakan seakan kau tidak baik-baik saja.”
Perkataan Amel membuatku tersenyum lagi. Amel adalah sahabat terbaikku dia yang selalu mengerti perasaanku dan dia juga yang selalu menguatkanku disaat aku terluka. Ditempat itu aku serasa ingin menangis sambil memeluknya, tapi tanpa aku minta Amel langsung mendekat dan mengulurkan tangannya untuk memelukku.
Aku memeluk Amel dengan erat sambil meneteskan air mata mengenang masalalu ku dengan nya dan mengenang masa indah dengan dia yang sudah pergi entah ke alam mana, Dia yang pernah menjadi bagian cerita terindah dihidupku yang Namanya pernah terukir di hatiku dan wajahnya yang terlukis di benakku.
Aku pikir hanya aku, dia dan tuhan yang akan tau. Tapi faktanya malah sebaliknya tuhan menginginkan semua orang tau tentang cerita indah dibalik diamnya aku dan dia.
***
“Sudah-sudah, ayo lebih baik sekarang kita nikmati kebersamaan ini. Sudah saatnya kau harus Bahagia.”
“aku memang sudah bahagia Mel, cuman masih kebawa suasana aja.”
“bagus deh kalua gitu jangan ada yang ditangisi lagi ya, karena kamu berhak untuk bahagia.”
Pertemuanku dengan Amel membuatku seakan hidup kembali, aku menceritakan banyak hal tentang keluh kesahku. Bagiku Amel adalah teman yang sangat berharga dalam hidupku.
Pertemuan kami begitu singkat banyak yang ingin ku curahkan tapi sanyangnya tak terasa sudah hampir empat jam kami di café itu, waktu itu terlalu sedikit untuk kisahku yang begitu banyak. Tapi dari waktu yang sedikit itu hatiku tenang dan mulai untuk mengikhlaskan.
Aku dan Amel pulang ke rumah masing-masih. Saat perjalanan pulang ke rumah aku terpikir untuk pergi kesuatu tempat. Aku merenungkan semua kenangan. berusaha menerima tentang apa yang ditakdirkan tuhan, sekarang aku yakin jika tuhan punya alasan atas semua kesedihan yang ku jalani dan benar saja alasan itu memang begitu indah, entah kenapa sejak awal tak ku sadari.
***
Nama ku Shofia Azzahra aku seringkli dipanggil dengan sebutan shofia aku adalah anak terakhir dari 5 bersaudara. kisah dilema hidupku dimulai saat libur pertama kali aku dimasukkan ke pondok pesantren. saat itu aku heran karena rumah begitu sepi orang-orang yang sangat ku rindukan tidak ada dirumah, yang kulihat saat pertama kali sampai hanya ada wanita asing yang sedang tersenyum kepadaku. Aku bertanya padanya tentang kemana semua orang pergi, tapi dia hanya menjawab jika ayah ku sedang pergi mengurus sesuatu, tetapi yang lebih membuatku bingung adalah wanita itu siapa dia dan apa yang dia lakukan di rumah kami saat semua orang sedang tidak ada dan bahkan dia membuat banyak makanan di dapur rumah kami.
“Makan lah kau pasti sangat lapar,” ucap wanita itu kepadaku
“Iya terima kasih,”-aku mengambil makanan yang diberikannya kepadaku-“maaf, anda siapa ya.”
Belum sempat menjawab terdengar suara seseorang mengucap salam dan benar saja dia adalah ayah ku. Aku langsung mencium tangannya dan memeluknya. “Diman bunda?” tanyaku pada ayah.
“Bunda mu sedang pergi keluar kota,” jawab ayah.