Kalau memang semua warna memang ada
bisakah meminta lagi?
sebab aku lelah hanya melihat hitam dan merah
membuatku takut pada pandanganku sendiri
Aku masih mencari kokoh batu karang
untuk sembunyi dan bersandar
melindungi hati dari ombak gelisah jiwa
Aku perlu menggenggam sejumput kenangan manis
yang barangkali mampu menguatkanku
untuk terus melangkah di keruh dunia
Tak ada yang kembali, seperti angin kemarin
tapi embun masih tiba setiap pagi
meminta jangan lelah berharap
tak perlu menyerah
sebab gerimis punya janji: ada lagi pelangi nanti.
Aku pikir aku memang sendirian di dunia ini.
Suatu senja, petir yang keras itu membangunkanku dari lelap tidur. Terlihat hujan deras berjatuhan di luar jendela. Tiba-tiba saja datang rasa sepi yang asing menyergap hati meski suara rintik hujan terdengar berirama dan merdu, membuat aku ingin berlari dan segera memeluk hujan. Tapi, tentu itu hanya bisa nyata di pikiran. Aku hanya bisa diam di sudut jendela, setia memandangi hujan dan langit yang begitu mendung.
Hatiku memilih memaksa
Aku mencari dan tak menemukan
Musim jiwa masih kemarau
Kulihat hujan patah-patah
Merah lalu membeku
Mungkin ia dilukai lagi
Aku dan hujan sama
Masih meraba rasa
Nyata, tak sempurna...
Dan tak disangka tetes hujan ternyata sampai di lenganku. Basah. Aku teliti kamar kecilku, apa ada yang bocor? Semua terlihat rapat dan tak ada lubang, baik dinding maupun langit-langit kamar. Sampai akhirnya aku tersadar, itu bukan tetes air hujan. Itu adalah tetes air dari mataku sendiri. Aku laki-laki, yang ternyata baru saja menangis.
Aku marah. Benci pada diriku sendiri karena aku menangis. Padahal semua bilang laki-laki tidak boleh menangis. Menangis itu cuma dilakukan perempuan. Dan aku adalah laki-laki, tidak seharusnya menangis. Aku ini laki-laki. Aku ini bernama Toba. Toba adalah danau. Dan danau juga mungkin tidak menangis.
Ini sudah satu bulan. Sejak ibu berpisah dengan ayah, sejak ibu meninggalkan aku dan adikku, Bagas. Membawa serta adik kecil perempuanku, malaikat kecil kami semua, Jihan. Setelah banyak pertarungan batin di hatiku, di hati ibu, dan mungkin di hati ayah juga, sepertinya berpisah adalah jalan yang paling benar. Bagas tidak begitu peduli dan Jihan masih belum mengerti. Kami berharap perpisahan ini akan membuat hati kami tidak lagi sesakit kemarin saat bersama, tapi ternyata tidak begitu. Luka di hati kami semua sepertinya masih terus berdarah-darah karena perpisahan ini.
* * *
Hari–hari setelah ibu pergi dari rumah begitu berbeda. Hanya ada tiga orang laki-laki di rumah. Ayah, Bagas, dan aku sendiri. Rumah tidak begitu terurus. Kami mengurus diri masing-masing. Ayah jarang pulang ke rumah kami. Ia lebih sering pulang ke rumah ibunya, rumah nenek yang tak jauh dari daerah rumah kami juga. Bagas sering menginap di rumah temannya. Kami hanya bertemu sesekali di rumah dan interaksi semakin berkurang. Kami makin jauh. Aku kini hanya punya rumah sekarang sebab penghuni lainnya sekarang hilang.
Aku kadang merasa sebatang kara. Aku merasa yang paling tertinggalkan akhirnya, dengan semua kenangan yang terus saja berkelebatan selalu ketika aku ada di rumah. Dan kamarlah yang jadi duniaku selanjutnya. Sepenuhnya.
“Toba, Nenek mau bicara,” kata ayah yang baru pulang dari rumah ibunya.
“Iya. Nanti.” Jawabku seadanya.
“Terserah,” Ayah menutup pembicaraan dan langsung menikmati acara berita di televisi.
Dan aku cuma bisa menatap diam orang yang aku panggil ayah selama 18 tahun ini. Orang yang tak pernah bertanya keadaan hatiku. Orang yang tak pernah membujukku untuk menuruti perintahnya. Orang paling dekat secara fisik tapi jauh secara batin. Orang yang tidak seharusnya mengabaikanku. Orang yang hatinya tak kukenali. Mengapa sering sekali ada jarak antara orangtua dengan kami yang mulai beranjak dewasa? Kesalahan siapa? Tiba-tiba aku sangat ingin kembali ke masa kecil dulu. Di mana aku pernah tertawa bahagia bersama orang ini. Bersama ayahku.
Sebelum tidur karena insomnia dan banyak pikiran di dalam kepala, aku menulis puisi. Ini memang sebuah kebiasaan. Aku orang yang tidak banyak bicara dan biasa mencurahkan perasaan lewat menulis puisi. Kali ini judulnya kuberi judul Memori.
Hari yang kini kujalani
Tiada lagi seperti dulu
Saat semua terasa indah
Karena selalu bersama
Suka duka bersama
Melewati hari demi hari
Namun semua hanya tinggal kenangan
Yang takkan bisa terulangi
Detik demi detik
Hari demi hari
Dan waktu yang terus bergulir
Kulalui dengan kesendirian
Perpisahan telah merenggut hidupku
Merampas semua yang kumiliki
Mengambil mereka yang kusayangi
Hingga luka yang tersisa
Kenangan di masa lampau