Bagas akhirnya pergi dari rumah. Dia akan tinggal dengan ibu. Baguslah. Dirinya akan lebih terjamin dan terawat jika tinggal bersama ibu. Ibu punya bisnis rumah makan yang lumayan sukses di Bandung. Rumah makan itulah yang sebenarnya membiayai sebagian besar hidup kami sekeluarga. Ibulah yang selama ini lebih banyak menafkahi kami daripada ayah. Ia yang menafkahi suami dan anak–anaknya. Ia wanita tegar yang luar biasa, wanita yang paling aku hormati dan cintai di dunia ini. Wanita yang ingin kubuat bangga. Wanita yang sangat tak ingin kusakiti hatinya.
“Titip salam sama ibu dan Jihan, sama semua keluarga yang di sana juga,” kataku melepas Bagas.
“Jagain ibu sama Jihan, jangan bertingkah macem–macem,” lanjutku.
“Iya, Abang cerewet,” timpal Bagas.
Ibu, Jihan, dan Bagas sekarang jauh. Aku harap kami tetap dekat di hati satu sama lain. Ayah marah karena aku membiarkan Bagas tinggal dengan ibu. Bagas tak bilang pada ayah. Aku kemudian dipukuli. Sifat tempramen ayah makin menjadi setelah bercerai dengan ibu. Aku lega ibu tak lagi ada di rumah ini, ia tak perlu melihat aku dipukuli lagi. Ia tak perlu lagi dipukuli ayah. Setelah perceraian yang aku usulkan, ayah sepertinya makin benci dan cuek padaku. Hanya padaku. Pada Bagas ia bersikap biasa saja. Kecuali pada Jihan, ia begitu berbeda. Hangat dan lembut. Aku sedih ayah membeda-bedakan kami. Rasanya aku benar – benar sendiri di dunia ini. Tidak ada ayah yang dulu, tidak ada keluarga yang dulu.
Sejak bercerainya orang tuaku, aku belum sama sekali menghubungi ibu. Aku belum menemuinya. Sesekali ia menanyakan kabar lewat SMS atau telepon. Sebenarnya aku ingin melakukan semua itu, bertanya tentang keadaan raga dan hatinya. Tapi aku tak pernah seterbuka itu. Kami tidak terlalu dekat. Mungkin juga karena sekarang ia makin sibuk. Sama sekali tidak karena ia bukan ibu kandungku.
Ibu kandungku meninggal setelah aku dilahirkan. Ibu tiri bernama Alma yang jadi ibuku selama ini. Ibuku selamanya. Ibu yang selalu membelaku. Ibu yang cintanya kurasakan tulus dibanding ayah yang orang tua kandungku sendiri. Aku merasa lebih baik setelah ia bercerai dengan ayah. Tapi tetap aku memang menciptakan jarak dengannya. Sejak kecil dulu aku memang tak banyak bicara dengannya, dengan siapa pun, tapi aku sangat menghormatinya, aku menjaga dan sangat menyayangi adik-adikku yang lahir dari rahimnya. Aku tak pernah membantahnya. Aku juga tak pernah bertingkah macam-macam karena tak pernah ingin menyakiti hatinya.
Kemudian aku membuat puisi yang terinspirasi dari ibu luar biasaku itu. Judulnya Menyebut Mama. Aku sengaja mengganti kata ibu menjadi Mama. Sama saja. Sama-sama berarti mulia buatku.
Mama...
Mama...
Mama...
Coba memanggilmu dari dasar hatiku
Ke ujung hatimu
Sampaikah?
Mama...
Kata itu terasa asing
Ada apakah?
Beranjakkah kau dari hatiku?
Jangan, bilapun kau terjauh
Kau tetap yang terdekat di hati ini
Setelah Dia
Aku tersenyum menuliskannya. Berharap suatu hari ia akan membaca puisi ini. Membaca cintaku padanya, yang besarnya tak kalah dari cinta anak yang dilahirkan rahimnya sendiri.
* * *
Aku mengajak bertemu Kamea di toko buku favoritku, ia tak keberatan. Aku memang cuma mengajak Kamea seorang. Di antara teman-teman, entah mengapa dia yang paling membuatku nyaman. Nyaman bicara, nyaman mendengarkan. Aku baru saja membeli buku baru. Aku membuka sampul plastik lantas membuka halaman buku. Belum akan dibaca tapi kuhirup bau khasnya.
“Seharum apa sih baunya kok sampe kayak gitu?” Kamea sedikit heran.
Aku menjelaskan pada Kamea ini kebiasaanku, kebiasaan khas para pecinta buku. Aku bilang padanya, harum buku juga harum tanah sewaktu bertemu hujan adalah harum yang paling aku suka. Aku bertanya padanya tentang harum kesukaannya. Dan dia bilang harum kesukaannya adalah harum bunga melati. Aku lalu menyerahkan puisi Menyebut Mama pada Kamea. Menyerahkan tugas pertama perjanjian kami waktu itu.
“Kamu sayang banget ya sama ibu tiri kamu?” tanya Kamea.
Aku memang memberi tahu Kamea kalau ibu yang selama ini membesarkanku adalah ibu tiri. Entah mengapa padanya aku terbuka seketika dan rela bercerita segala.
“Iya. Sayang banget,” jawabku jujur.
“Aku bahkan sampe merasa enggak perlu punya ibu kandung. Ibuku selama ini udah lebih dari cukup,” lanjutku sambil menerawang ke langit luas warna biru.
“Ibu kandungmu di mana sekarang ?” tanya Kamea.
“Udah lama meninggal. Aku bahkan tak ingat apa pun tentang ibu kandungku. Oleh ayah sepertinya aku sengaja dibuat lupa,” jawabku.
“Kamu tahu makam ibu kandung kamu?” Kamea bertanya soal ibu kandungku.
Aku menatapnya. Menghela napas.
“Aku enggak mau tahu. Dia udah ninggalin aku sendirian di dunia kejam ini. Buat apa?” jawabku sedikit sinis.
“Jangan ngomong gitu. Ibu kandung kamu itu berkorban banyak buat kamu, Toba. Dia rela mati demi memberi kehidupan buat kamu. Melahirkan itu katanya juga sangat sakit, Toba. Aku yakin pasti dia juga sangat sedih karena enggak bisa jadi malaikat pelindungmu di dunia ini. Kita semua, manusia, enggak pernah bisa memilih peran dan waktu seenaknya,” Kamea bersuara lirih. Dalam maknanya.
“Meski mungkin ibu kamu pasti masuk surga, tapi kamu tetap punya kewajiban untuk mengirimkannya doa. Doa anak yang baik pasti akan didengar Tuhan,” sambung Kamea lagi.
Aku menunduk. Merasa dosa. Aku mencintai ibu yang merawatku, sangat, tapi melupakan ibu yang melahirkanku. Apa ibu di surga sana merasa sedih? Durhakakah aku?
“Nih, makan dulu. Aku bikinin gado-gado,” ujarnya mengalihkan percakapan dengan entengnya. Aku makan dengan penuh rasa syukur. Tiba-tiba seorang Kamea menjadi lebih berkesan di hatiku. Sangat.
“Itu memar apa yang di deket mata kamu?” Kamea menanyakan luka bekas pukulan ayah.
“Bukan luka yang penting. Ada orang yang aku bikin marah, jadi kena pukul,” jawabku tersirat. Aku tidak ingin bilang ini karena pukulan ayah.
“Dikompres deh pake air es. Sebentar,” Kamea lalu pergi. Kamea kembali dengan air mineral dingin di tangannya. Botolnya terlihat berembun. Kemudian ia menuangkan air dingin pada sapu tangan bersih yang dibawanya. Diperas lalu ditempelkannya di luka memarku. Berulang-ulang ia lakukan begitu. Ia tidak tahu luka yang dilihatnya tak berapa sakitnya, ia tidak tahu luka dalamku yang lebih sakit rasanya. Tapi ia menyirami kesejukan itu padaku. Ia menyejukkan perih luka memarku. Ia juga secara tidak langsung menyejukkan hatiku yang sebenarnya lebih terluka, lewat sikap pedulinya ini.
Aku cuma diam diperlakukannya begitu. Bilang terima kasih saja tak mampu. Payah, padahal di dalam hati aku tak berhenti mengucapkan terima kasih padanya. Jutaan terima kasih. Kamea tidak bertanya lagi. Ia tak mencari tahu tentang luka yang sedang diobatinya ini. Ia tahu aku tak ingin memberitahukannya. Ia pandai menempatkan diri. Ia selalu tahu kapan harus bertanya, kapan harus menasehati, kapan harus diam. Ia mengerti apa yang kuinginkan tanpa harus kuucapkan. Aku tak percaya ada manusia seperti dia di zaman sekacau ini. Di dunia sekejam ini.
“Apa yang pernah aku lakuin, Kamea? Seingatku aku enggak pernah memberimu hutang budi sebelumnya, kita bahkan baru saling kenal. Mengapa selalu baik?” Tanyaku tiba-tiba padanya.
Kamea memandangku heran, lalu tersenyum tenang sambil menjawab,” Orang berbuat baik kok ditanya motifnya? Seperti apa sebenarnya hidupmu sih sebelum ketemu aku? Berbuat baik sama orang lain itu bukan hal yang luar biasa tapi hal yang sangat biasa.”
“Atau dunia yang kita tinggali ini apakah benar sudah makin buruk, sampai seorang anak manusia bertanya alasan mengapa anak manusia lainnya berbuat baik padanya? Berbuat baik tidak butuh sebab, Toba.”
Aku bersyukur ditemukannya. Aku bersyukur dilihatnya. Aku sangat bersyukur dipedulikannya.
* * *
Mengingat perbincangan dengan Kamea yang menyadarkanku tentang ibu kandungku, aku mulai mencari tahu makamnya. Aku tidak mengenal satu pun keluarga dari ibu kandungku, sedari kecil ayah tak pernah mengenalkan. Keluarga ayah dan ayah sendiri pun tak pernah mau menyinggungnya. Aku akhirnya tahu makam ibu kandungku dari ibu tiriku. Ibu tiriku yang bernama Alma itu yang memberi tahu padaku.
Dulu sebelum menikah dengan ayah, ayah pernah mengajaknya ke sana. Tapi setelah itu ayah melarang siapa pun datang ke makam itu.
“Keluarga ibu kandungmu dulu tidak begitu menyetujui pernikahan ibumu dan ayah,” kata ibu tiriku lewat telepon,”Sampai akhirnya Ibumu meninggal tak lama setelah melahirkanmu, keluarganya juga tetap tidak mau tahu. Begitu yang pernah diceritakan ayahmu".
“Kenapa Ayah enggak pernah ajak Toba ke makam Ibu kandung Toba?” tanyaku.
“Ayah kamu ingin melanjutkan hidup, katanya. Setelah menikah lagi sama Ibu, Ayah enggak pernah ke makam Ibu kandungmu lagi. Ibu dan kamu juga dilarang ke sana.” Kata Ibu Alma menjelaskan.
“Kamu juga masih terlalu kecil waktu itu. Kamu tidak mungkin ingat tentang kematian Ibumu,” lanjutnya.
“Bahkan Ayah enggak ninggalin satu foto pun tentang Ibu kandung Toba. Dia jahat. Rasanya Ayah makin jahat di mata saya,” kuutarakan pendapatku sejujurnya setelah mendengar kebenaran ini.
“Maafkan Ayah kamu, Toba. Bagaimanapun dia Ayahmu,” kata ibu tiriku bijak.
Pembicaraan lalu kututup. Aku kemudian pergi ke makam itu sendirian. Aku mencari sebuah nama. Kartika Utami binti Yasin. Aku menemukannya setelah dibantu penjaga pemakaman. Aku melihat nisan bertuliskan nama ibu kandungku itu. Aku menyentuh nisan dan mencoba membayangkan wajahnya. Ia mungkin cantik dan baik hati. Aku percaya begitu. Aku bahkan tak pernah melihat foto ibuku yang sudah meninggal karena melahirkanku ini. Tapi hatiku bilang ia adalah wanita yang baik. Aku menangis.
Aku tiba-tiba merindukan manusia yang sudah terkubur begitu lama di dalam pusara ini. Manusia yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku ingin melihatnya, aku ingin memeluknya. Sungguh. Sangat.
“Ibu...atau Mama ataukah Bunda, bagaimanakah kau ingin aku memanggilmu?” aku mulai bicara. Terisak.
“Baiklah, aku akan memanggilmu Bunda. Bolehkan?”
“Namaku Toba, Bunda. Kaukah yang memberiku nama itu?”
“Apa artinya? Apa karena kau suka Danau Toba? Apa benar kau memberiku nama itu agar aku tumbuh tegar dan indah seperti Danau Toba yang adalah hasil dari ledakan Gunung Toba ratusan juta tahun lalu, seperti kata Kamea? Kau ingin aku tetap tumbuh baik meski dunia di dalam dan di luar diri ini terus memancing ledakan?”
“Maaf baru hari ini aku datang padamu. Benar-benar minta maaf.”
“Mengapa meninggalkanku? Bukankah seorang Ibu harusnya menjadi malaikat pelindung anaknya di dunia ini?”
“Apa kau tidak menginginkanku?”
“Bunda, anak durhakakah aku yang lebih mencintai Ibu yang merawatku daripada dirimu yang mengandung dan melahirkanku? Jangan marah dan sedih. Jangan marah pada Ibu Alma. Dia yang menggantikanmu membesarkanku. Dia merawatku dengan baik. Aku yang salah. Aku mungkin yang anak durhaka.”
“Aku harap kau melihatku dari dunia sana. Terus mengawasi dan menjagaku lewat caramu. Dunia ini keras, Bunda. Banyak hal-hal sulit yang terjadi dalam hidupku. Aku selalu hampir menyerah. Manusia-manusia di sini sedikit banyak menakutkan buatku. Mereka sering bangga melakukan kesalahan dan tidak merasa malu. Mereka menyakiti sesamanya sendiri. Dunia makin kacau, Bunda. Tapi jangan khawatir, Toba juga banyak melihat dan bertemu orang-orang baik. Doakan Toba menjadi seperti orang-orang baik itu ya, Bunda.”
“Toba pulang dulu ya. Toba pasti datang lagi.”
Aku pulang setelah menebar bunga-bunga di pusara bundaku. Setelah menebar bunga-bunga di hatiku. Setelah berdoa untuknya. Aku merasa telah bertemu dengannya, tadi aku banyak bertanya meski tahu tak akan ada jawaban. Namun, aku bicara begitu banyak, begitu lepas.
* * *
Pengumuman kelulusan sebentar lagi. Sebentar lagi aku dan teman-teman kelas dua belas akan lulus dari sekolah. Kami akan rindu kebersamaan kami di sekolah. Kami akan rindu belajar dan bercanda bersama lagi. Kami akan menempuh jalan kami masing-masing. Ada yang melanjutkan kuliah, ada yang akan langsung bekerja. Dan aku akan termasuk yang akan langsung bekerja.
“Gua mau ambil hukum kayaknya. Profesi turunan di keluarga di bidang hukum soalnya,” ujar temanku, Anjas.
“Nanti jadi penegak hukum yang bener ya, Jas,” aku berpesan padanya.
“Jurnalistik ah kalo gue. Wartawan itu cita-cita dari kecil,” sahut Ihsan.
“Gue pengen kerja. Gue pengen mandiri dan cepet keluar dari rumah,” timpalku yakin.
Teman-teman menatapku simpati. Mereka tahu tentang hidupku, sedikit. Kadang kita memang tak perlu mengenal orang lain terlalu dalam. Karena seberapa pun kita merasa telah dekat, kita tidak akan pernah benar-benar mengenal seseorang seluruhnya.
“Kita punya jalan masing-masing. Lakuin menurut hati dan sebaik mungkin,” kata Anjas.
“Setujuuuu,” sahut aku dan Ihsan kompak.
Aku tidak sabar. Aku akan pergi dari rumah. Sudah keinginanku sejak lama. Akhirnya sebentar lagi aku akan lulus SMA. Sepertinya tak terpikir akan kuliah. Aku memang ingin langsung bekerja, aku akan menanggung hidupku sendiri. Aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap diriku. Aku akan memulai perjalananku.
* * *
Kelulusan sudah diumumkan. Dan ini waktunya berpisah dengan teman-teman. Kami berpelukan dan berjanji untuk tidak saling melupakan. Berjanji berkumpul di waktu senggang kami nanti. Nilaiku nyaris sempurna. Aku puas. Bagas dan ibu memberikanku ucapan selamat dari Bandung, lewat telepon. Ibu bilang ingin membiayaiku kuliah. Tapi dengan halus aku menolaknya. Bagaimana bisa? Sekarang saja ia masih harus membiayai hidupnya sendiri ditambah Bagas dan Jihan. Aku tak setega itu. Aku tak ingin membebaninya.
Tiba-tiba aku malu menjadi anak ayah. Ayah tak pernah bisa menafkahi kami seperti seharusnya selama ini. Sampai dengan saat ini. Ayah mungkin tak akan bisa berubah. Perangainya yang tempramen dan malas jadi penyebabnya. Mana ada perusahaan yang mau repot-repot merekrutnya? Mencoba usaha pun tidak pernah berhasil. Sebenarnya hidup kami pernah cukup luntang lantung. Kecuali ketika nenek sedang berbaik hati.Untunglah sekarang ibu, Bagas, dan Jihan tak lagi tinggal dengan kami. Ayah tak mengucapkan selamat padaku. Ia juga tak menanyakan rencanaku berikutnya. Ia diam seperti biasa. Ia sepertinya memang tak peduli padaku. Dulu aku sering menghibur hati bahwa sikapnya itu adalah sikap demokratis yang bertujuan baik untukku. Tapi kemudian aku paham, itu bukan sikap demokratis. Itu lebih mendekati sikap tidak peduli. Aku memaklumi saja. Dan menutupi kesedihanku dengan ketegaran.
Aku memang yang harus bertanggung jawab terhadap diriku sepenuhnya. Aku kecewa dan ingin pergi yang jauh. Aku akan pergi dari rumah setelah mendapat panggilan pekerjaan nanti. Aku utarakan niatku pada ayah. Dan jawabannya...
“Terserah. Kamu udah gede.” Kata ayah dingin.
Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya. Tadinya aku berharap ia mengatakan hal yang lain lagi. Yang akan menyejukkan hati. Dan akhirnya harapan itu cuma sia-sia. Keputusanku akan semakin bulat.