Kata-kata yang Berkumpul dan Bergumul Karenamu

Nunu Azizah
Chapter #3

Rumah Hati

Aku tetap bekerja seperti biasa. Bekerja keras. Pulang pagi dan pulang larut malam. Aku tak sempat bersosialisasi dengan masyarakat sekitar tempatku menyewa tempat tinggal. Lagipula aku menyewa sebuah rumah kecil di daerah komplek perumahan. Komplek perumahanan nyaris selalu diisi oleh orang–orang yang cenderung sibuk dan individualis. Cocok denganku.

Aku juga jarang ke Jakarta. Hanya sesekali apabila ayah memintaku datang. Ke Bandung pun hanya tiga kali dalam jangka waktu setahun ini. Hubunganku dengan ayah, ibu, Bagas dan Jihan pun jadi semakin jauh. Aku juga tak lagi berkumpul dengan teman–teman, baik teman sekolah atau teman bermain futsal. Aku sibuk dengan diriku sendiri.

Aku kadang memang merasakan sebuah kehampaan.

Karierku sudah lumayan. Aku sudah jadi karyawan tetap. Aku diharapkan bisa bekerja sambil kuliah agar bisa dipromosikan ke jenjang karier yang lebih tinggi. Agar aku memenuhi kualifikasi standar minimum untuk promosi jabatan yaitu sudah menempuh jenjang strata satu. Karena prestasi saja tanpa ada ijazah dan gelar tidak akan diterima dan dihargai begitu saja. Tidak akan ada kompromi. Hal yang sebenarnya kurang sesuai dengan pandanganku dan banyak orang mungkin.

Aku semakin merasa hampa.

Aku menggantikan sepi dengan kebendaan. Aku membeli barang–barang yang kusuka. Aku lebih banyak membaca buku dan menyetujui benar pepatah bahwa buku adalah teman yang setia. Aku kemudian teringat satu pesan guru Biologiku di SMP dulu, jika ingin menumbuhkan sifat kasih sayang dalam diri dan bisa juga untuk menghilangkan stres, kita dianjurkan memelihara hewan atau tanaman. Aku lalu coba menerapkannya. Aku memelihara beberapa tanaman hias. Tapi layu karena musim kemarau dan aku yang tak sempat menyirami dan memberi pupuk dengan teratur. Aku kemudian berhenti memelihara tanaman. Melihat tanaman itu layu karenaku membuatku merasa bersalah. Aku berganti memelihara hewan. Aku memelihara ikan hias. Beberapa jenis ikan hias kecil aku taruh di akurium sedang di kamar tidur. Aku selalu memandanginya setiap aku berangkat kerja dan jadi merasa bersemangat, aku memandanginya ketika pulang kerja dan lelahku berangsur pergi, aku juga memandanginya sebelum tidur dan tidak merasa begitu kesepian. Aku sangat terhibur dan menyayangi ikan–ikan ini. Meski mereka tidak bisa tersenyum, tidak bisa menggonggong, tidak bisa mengeong tapi aku tahu mereka baik–baik saja karena mereka berenang dengan lepas. Mereka selalu menyambut makanan yang kuberikan.

Sebenarnya aku suka lumba–lumba. Tapi, aku tahu tidak mungkin bisa memeliharanya. Lagipula ia akan menderita jika dipelihara. Ia akan lebih bahagia hidup di lautnya yang luas dan lepas. Aku belum pernah bertemu lumba–lumba sekalipun, bisa saja sebenarnya aku ke tempat pertunjukan mereka di salah satu tempat rekreasi di Jakarta tapi aku tidak terlalu suka melihat lumba–lumba dijadikan hewan sirkus. Aku akan kasihan melihatnya. Aku punya janji pada diriku akan menemuinya di lautan lepas nanti. Ikan–ikan hiasku kemudian kuberikan pada teman kantorku. Ada yang bersedia merawatnya. Sebenarnya, sudah dua ekor ikan hiasku mati. Aku tidak tahu sebabnya sebab aku merasa telah merawat sebisaku. Aku berikan ikan–ikan yang masih hidup karena aku tidak akan sanggup kalau harus melihat ikan–ikan itu mati lagi nanti. Aku jadi takut memelihara hewan. Aku takut hewan peliharaanku mati lagi. Aku akan bersedih dan merasa berdosa. Bukan berdosa yang bagaimana tapi lebih pada kasihan karena telah menghilangkan nyawa meski tanpa sengaja.

* * *

Aku sebenarnya kelelahan karena bekerja dan kuliah sekaligus. Tapi aku bertahan. Ini demi diriku sendiri. Demi masa depanku. Aku kemudian bertemu seseorang yang pernah kukenal. Tak sengaja. Nika. Aku bertemu Nika lagi. Kami tak sengaja bertemu di salah satu rumah makan. Aku sendirian waktu itu, dia juga sendirian.

“Hai, Toba,” sapa Nika.

“Kak Nika,” balasku menyapanya. Aku sebenarnya memang memanggilnya Kakak karena dia kakak kelasku di sekolah. Kami saling tersenyum. Kami akhirnya makan di satu meja.

“Apa kabar kamu ?” tanya Nika.

Aku bercerita tentang pekerjaanku. Tentang ketidaksukaan senior di kantor sampai akhirnya sekarang mereka berbaik dan mau berteman karena aku membuktikan ejekan dan tekanan dari mereka dengan prestasiku. Karena sikapku juga yang tetap bersahabat kepada mereka, walau apapun yang sudah mereka lakukan terhadapku. Aku juga bilang padanya sedang bekerja sambil kuliah.

“Kayaknya udah sukses sekarang. Hebat. Aku kagum sama kamu,” sambungnya.

“Enggaklah,” jawabku.

Kami cukup lama berbincang lalu pulang masing–masing. Ternyata Nika tinggal dan bekerja di satu kota denganku sekarang. Aku tidak percaya bisa bertemu dia lagi.Kadang–kadang aku dan Nika bertemu, tak sengaja maupun disengaja.

* * *

Pertemuan kami yang kesekian kalinya, Nika mengajakku ke suatu tempat. Nika mengajakku ke sebuah rumah sederhana. Tidak terlalu besar, tapi cukup luas. Ada halaman yang cukup terawat di depannya, dan ada beberapa permainan anak–anak. Aku lihat ada beberapa mainan ayunan, jungkat-jungkit, dan permainan lainnya. Saat itu sudah sore. Nika mengetuk pintu. Seorang ibu paruh baya membuka pintu. Nika dan ibu itu berpelukan.

“Eh, kamu bawa teman,” kata ibu yang kemudian kuketahui bernama Wulan ini.

Aku tersenyum, menjabat tangannya, dan menyebutkan namaku. Setelah dipersilahkan masuk ke dalam, aku akhirnya tahu bahwa ini adalah sebuah panti asuhan. Tadi aku tak melihat plang di depan sepertinya karena asyik dengan pemandangan rumah yang terasa asri dan nyaman ini.

“Ini namanya Rumah Hati, Nak Toba,” jelas Bu Wulan.

“Ibu dan suami Ibu tidak punya anak. Kami mengasuh anak–anak di sekitar rumah kami maupun dari mana saja, tidak hanya yang yatim piatu. Di sini juga ada yang masih punya orang tua tapi kurang mampu, maka kami bantu biayai sekolahnya. Ada juga yang mampu tapi keluarganya kurang harmonis, boleh juga tinggal di sini. Jadi tidak semua tinggal di sini, karena ada yang memang masih punya orang tua dan masih ingin tinggal bersama orang tuanya. Intinya ini rumah buat semua hati. Rumah buat anak–anak yang hatinya patah karena kehidupan. Kami memberikan kasih sayang dan cinta kami untuk mereka.” Lanjut Bu Wulan panjang lebar.

Nika ternyata keponakan dari Bu Wulan. Nika salah satu tenaga relawan di sini. Selain beberapa orang yang dibayar Bu Wulan dan suaminya, beberapa orang penduduk juga kadang membantu merawat anak-anak ini. Nika juga sering mengajak temannya. Aku bilang aku ingin sering-sering berkunjung ke sini. Mungkin jadi relawan berikutnya. Ibu Wulan dan Nika menerima dengan senang hati. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus bertanya tentang Rumah Hati pada Nika.

“Ada berapa anak di Rumah Hati?” tanyaku pada Nika.

“Yang tinggal sekarang sih kurang lebih 20 orang. Tapi itu belum termasuk jumlah yang tinggal sama orang tuanya. Mungkin ada sekitar 30 orang kalo ditotal semua.” Jelas Nika.

“Tante Wulan dan Om Bagus itu bener–bener menginspirasi aku. Penghasilan dari usaha yang mereka kelola mereka pakai untuk keberlangsungan Rumah Hati. Orang–orang yang bantu di Rumah Hati pun enggak kalah hebatnya. Mereka rela dibayar di bawah standar gaji biasanya kalau keuangan kami lagi sulit. Bahkan kayaknya pernah enggak dibayar karena usaha Om Bagus sedang tidak lancar.” Terangnya lagi.

“Iya, ya. Di dunia sekacau sekarang ini masih ada orang–orang mulia kayak mereka. Alhamdulillah. Makasih udah diajak ke sini,” kataku.

* * *

Aku masih duduk di tempat tidur. Lampu masih menyala. Aku senang dipertemukan lagi dengan Nika. Senyumnya masih manis seperti dulu. Dan aku masih mengaguminya. Ketika hendak mematikan lampu kamar, kulihat harmonika yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Aku mengambilnya. Aku memainkannya. Suaranya terdengar mengalun merdu. Lirih dan merintih. Sampai aku merasa tak sanggup dan berhenti memainkannya. Rinduku pada Kamea menyerang lagi bertubi–tubi. Terus saja menyesakkan dada.

“Malam yang baik, tolong peluk aku sangat erat. Aku takut kalah lagi oleh rindu.”

Ditambah dengan lagu lama Jikustik berjudul Puisi yang terdengar dari aplikasi musik yang baru kunyalakan. Entah kenapa terasa pas karena mirip dengan apa yang sedang terjadi padaku. Lagu yang terlalu sangat aku. Salah satu soundtrack hidupku. Lagu tentang puisi.

Aku yang pernah engkau kuatkan

Aku yang pernah kau bangkitkan

Aku yang pernah kau beri rasa


Saat kuterjaga hingga ku terlelap nanti

Selama itu aku akan selalu mengingatmu


Kapan lagi kutulis untukmu

Tulisan–tulisan indahku yang dulu

Pernah warnai dunia

Puisi terindahku hanya untukmu


Mungkinkah kau kan kembali lagi

Menemaniku menulis lagi

Kita arungi bersama

Puisi terindahku hanya untukmu...


“Dia mungkin sekarang begitu bahagia. Rasanya tak sampai hati mengenalkan hidupku padanya,” aku bicara sendiri. Aku rasa Kamea sekarang semakin bahagia. Sudah waktunya mungkin kami kembali ke dunia masing–masing. Dia kembali ke dunianya yang sempurna dan aku kembali ke duniaku yang sedikit patah ini.

* * *

Aku kerja sampai pukul lima sore. Senin sampai Jumat. Kuliah pukul setengah tujuh sampai jam sepuluh. Senin sampai Jumat juga. Sabtu dan Minggu libur. Dua hari libur sekarang tidak hanya akan kugunakan untuk istirahat. Aku bisa berkunjung ke Rumah Hati. Aku tidak sabar. Aku datang ke Rumah Hati sendirian. Nika sedang punya acaranya sendiri. Aku melihat anak–anak sedang bermain di halaman. Mereka tertawa dan bercanda bersama. Aku tersenyum melihatnya, terasa bahagia di hati. Sudah cukup lama aku tak merasakan kebahagiaan seindah kali ini.

Bu Wulan menghampiriku bersama seorang pria.

“Toba, ini suami Ibu,” kata Bu Wulan mengenalkan pria itu.

“Bagus,” ia menjabat dan menyebutkan nama.

Setelah perkenalan singkat antara aku dan suaminya, Bu Wulan pamit. Ia harus membantu merawat anak–anak. Pak Bagus menemaniku berbincang sambil melihat– lihat sekeliling Rumah Hati ini. Aku melihat anak–anak di sini. Usia mereka beragam, ada bayi, balita, dan anak–anak berumur sekitar tujuh sampai sepuluh tahun. Aku lihat mereka begitu berbaur. Mereka terlihat sangat bahagia. Pak Bagus pun kulihat bicara dengan mereka seperti tanpa batas, penuh kebapakan.

“Nak Toba, saya senang kamu mau berkunjung kemari. Tadi juga bawa oleholeh buku dan mainan untuk anak-anak ya. Terima kasih sekali,” ucapnya tulus.

“Sama–sama Pak, saya baru bisa kasih ini aja yang enggak seberapa,” kataku.

“Tapi kamu lihat kan yang menurut kamu tidak seberapa itu, begitu membahagiakan mereka. Coba lihat senyum-senyum itu,” ujar Pak Bagus.

“Bapak merasa senang di zaman sekarang ini masih ada anak–anak muda macam kamu dan Nika yang mau main ke sini. Sebab biasanya yang seumur kalian itu sukanya jalan–jalan ke mal aja. Dan melupakan tugas besar kalian di masa depan, yang harusnya dimulai dari sikap yang lebih peduli pada lingkungan sekitar. Peduli sama saudara– saudara kalian yang kurang beruntung seperti mereka dan banyak di luar sana,” tambahnya.

Aku mengangguk dan merasa tertampar. Selama ini aku tidak begitu peduli pada sekitarku. Aku cuma fokus pada masalahku sendiri. Aku selalu merasa paling menderita sedunia. Aku dan anak–anak bangsa ini juga sudah terlalu terlena oleh modernitas yang hedonisme. Menumbuhkan sikap apatis terhadap sekitar. Masih banyak yang belum pandai memanfaatkan globalisasi untuk hal yang lebih bermutu.

* * *

Aku menulis satu puisi lagi. Judulnya Rumah Hati.


Pulang,

Andai pulang kita searah

Sehati dengan hati kita

Aku ingin pulang

Kamu ingin pulang

Lagi-lagi berpisah di simpang jalan

Sendiri-sendiri


Aku pernah tak ingin pulang

Kamu pun begitu

Kita mungkin saja sama

Merasa senasib

Tapi punya pelarian yang berbeda

Lagi-lagi masing-masing


Pulang,

Aku ingin pulang

Bersamamu

Bawa pulang aku

Aku juga akan membawamu pulang

Bersamaku

Lihat selengkapnya