Aku tidak lagi merasa begitu sendirian.
Dulu aku pernah sampai pada keadaan begitu rapuh. Ingin berpegang pada sesuatu yang mampu menguatkan. Dan Kamea yang menemukanku. Ia melihatku, aku masuk pada tatapan matanya. Aku lalu sadar ia berusaha memelukku. Dan di dalam hati, kami berpelukan erat. Tiba–tiba aku merasa jadi yang terkuat di dunia. Kamea sering menjadi kekuatanku secara tidak langsung. Dia membuatku percaya banyak hal baik yang sebelumnya aku tentang. Dia membuka mataku. Dia membuka telingaku. Dia membuka hatiku.
Aku senang kami bertemu lagi meski ada yang sudah berbeda kini. Tentang Kamea dan Dimas. Kamea sudah kembali masuk di hidupku, Nika yang rasanya makin menjauh. Mungkin dia semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai perawat. Dimas juga mulai menjauh, kata Kamea. Dimas mulai sibuk sendiri. Aku ingin mengenalkan Nika pada Kamea dan Dimas. Aku bertemu Nika lagi. Kusampaikan niatku untuk mengenalkannya pada Dimas, dan Kamea tentunya.
“Mau comblangin aku? Cukup kamu ajalah yang jadi pengagumku. Aku belum ingin yang lain,” Timpalnya bercanda menjawab ajakan dariku.
“Mau kenalin aja temen–temenku sama kamu. Jangan ge-er jadi orang,” Balasku padanya.
“Kirain, udah tau baru abis patah hati ini. Masih galau kan,” Nika tiba–tiba curhat colongan.
“Ya makanya obat galau dan patah hati kan jatuh cinta lagi,” aku mencandainya.
“Salah tau, obat galau dan patah hati itu bekerja keras, jadi lupa deh terus banyak duit pula,” tentangnya.
Walaupun banyak protes dan alasan, Nika tetap menyanggupi.
“Oke, lagian aku penasaran sama yang namanya Kamea itu,” ujarnya pelan.
Minggu ini kami berempat akan bertemu. Aku, Kamea, Nika, dan Dimas. Aku ingin mengenalkan Nika pada Kamea dan Dimas.
“Ini Nika. Dia kakak kelas aku di SMA. Dia juga keponakan dari Bu Wulan, dia yang kenalin aku sama Rumah Hati,” aku kenalkan Nika pada Kamea dan Dimas.
“Aku Kamea,” sambut Kamea ramah.
“Gua Dimas,” sambut Dimas juga.
Pertemuan hari ini lancar. Kami berempat langsung kompak. Nika dan Kamea kulihat cepat sekali akrab. Melihat mereka berdua aku bahagia, dua orang wanita yang berarti dalam hidupku bisa kupertemukan.
“Nika, dulu Toba gimana di sekolah?” Dimas tiba-tiba menanyakan tentangku dulu pada Nika. Nika tersenyum. Aku ingin tahu apa yang ingin dikatakannya. Kamea sepertinya juga penasaran.
“Aku enggak terlalu tahu sih karena bukan seangkatan juga. Tapi yang pasti dia anak yang tenang dan pintar. Penggemarnya kayaknya banyak,” terang Nika.
Kamea melihat ke arahku.
“Pacarnya banyak dong,” canda Dimas menimpali. “Aku enggak pacaran,” jujurku pada semua. “Maksudnya?” Kamea mencoba mencari penjelasan pernyataanku barusan. “Aku belum pernah pacaran. Dan kayaknya enggak tertarik buat itu,” kataku coba menjelaskan. Tapi mereka semua tidak percaya.
“Aku terlalu autis mungkin, sedang kebanyakan cewek suka yang romantis.”
“Aku terlalu mereka anggap terlalu biasa mungkin, padahal biasanya cewek suka yang agak bandel.”
“Kamu kebalikannya Bagas banget ya. Kemaren aku enggak sengaja ketemu di Bandung, ceweknya baru lagi. Udah beda lagi dari terakhir ketemu sebulan kemaren.” Kata Kamea.
“Bagas sih emang playboy. Padahal gantengan lo lagi, Toba. Kalo lo mau pasti bisa seminggu sekali tuh ganti cewe,” Timpal Dimas.
“Hey, cewek bukan baju kali digonta-ganti seenaknya. Perlakukan yang istimewa,” ujar Nika tiba-tiba protes.
“Hari ini belum pantas dicintai. Ada suatu hari ketika nanti sudah pantas dicintai, saat di mana juga akan menemukan seseorang yang pantas dicintai.” Tiba– tiba kata–kata itu keluar dari mulutku. Mereka semua cuma diam, sedikit mesem.
Kamea menatapku lekat–lekat. Aku punya alasan sendiri yang mereka tak perlu tahu, tentang bagaimana caraku mencintai belahan jiwaku nanti.
“Kalo cewek gua banyak, mantan gua kira–kira ada 6 lah,” kata Dimas bangga. Entah apa yang sebenarnya pantas dibanggakan Dimas. Begitu pikirku.
“Kamea mungkin jadi yang terakhir,” kata Dimas mengerlingkan matanya pada Kamea yang duduk di sebelahnya.
Aku duduk tepat di depan Kamea. Kami sedang minum. Aku dan Kamea tersedak mendengar ucapan Dimas barusan. Mataku dan mata Kamea bertemu. Kami buru–buru menenangkan diri. Menenangkan hati.
“Kompak banget tersedaknya kalian berdua ini,” kata Nika.
“Iya bisa gitu sih..” Dimas menimpali.
Kami semua tersenyum kecil. Tapi di hatiku ada yang terasa mengganggu. Kami berpisah satu jam kemudian. Kami berjanji akan nonton film bareng minggu depan.
* * *
Malam sudah datang, Nika sudah pamit pulang sehabis salat Magrib berjamaah bersama kami di Rumah Hati. Malam sudah makin larut. Aku tidak bisa tidur. Aku ke teras. Ternyata ada Pak Bagus.
“Belum tidur, Pak ?” tegurku.
“Eh Toba, kamu juga belum tidur. Sini duduk di samping Bapak.” Serunya.
“Belakangan kita udah makin jarang ketemu ya. Gimana kerja dan kuliah kamu?” tanya bapak. “Alhamdulillah lancar, Pak,” jawabku singkat.
“Gimana setelah kamu tinggal di sini ?” tanya bapak tiba -tiba tentang perasaanku tinggal di Rumah Hati ini.
“Saya bahagia, Pak. Saya bersyukur diterima di keluarga Rumah Hati.”
“Saya enggak tahu gimana saya sekarang kalau saya masih tinggal di luaran sana.” Jawabku.
“Bapak juga bersyukur kamu ada di sini. Kehadiran kamu di tengah–tengah kami sangat berarti. Bapak doakan Toba sukses dan bahagia selalu.” Ujar bapak.
“Aamiiin. Toba juga doain Bapak dan Ibu sehat terus, bahagia terus. Kami semua sangat butuh bapak dan ibu. Kalian adalah orang tua terbaik, walaupun kalian bukan orangtua kandung kami. Kalian mencintai dan menyayangi kami lebih dari orang tua kami sendiri.” Balasku mendoakan bapak.
“Cinta dan kasih sayang sejati memang tidak selalu yang bertalian darah, tapi yang mau menyimpul dan mengikatkan hatinya untuk menjaga dan melindungi perasaan yang lain.”
Aku memang menjadi sangat dekat dengan Bu Wulan dan Pak Bagus. Aku sudah menganggap mereka orang tuaku sendiri. Aku sangat mengagumi mereka, dan sangat terinspirasi semangat memberi mereka yang luar biasa.
Ketika hendak tidur, Kamea mengirim SMS. Dia memintaku membuat puisi tentang pandanganku terhadap cinta asmara. Ia suruh aku mengirim lewat surat elektronik. Mungkin secara tidak langsung ia ingin tahu tentang rasa pribadiku. Buntut pertemuan kemarin sepertinya. Aku coba menuliskan apa yang ingin dibacanya dariku. Aku coba menuliskan apa yang ingin dia baca dariku.
Tentang cinta para Adam dan Hawa
Dari dunia hari ini
Kulihat cinta telah berubah wajahnya
Wajah asing yang sulit dikenali oleh hati
Dari dunia hari ini