Kata-kata yang Berkumpul dan Bergumul Karenamu

Nunu Azizah
Chapter #5

Kata Perasaan

Dan kini dalam nyatanya dunia

Harus kulalui hari-hari itu

Saat-saat yang melemahkan jiwa ini

Jalani kisah cerita tanpa peranmu

Aku masih saja meratapi kepergian Nika yang tiba–tiba itu. Umur manusia memang tidak pernah ada yang tahu. Tapi mengapa harus Nika yang pergi? Mengapa harus orang yang kukenal dekat? Mengapa bukan orang lain saja yang tak kukenal? Banyak orang yang masih membutuhkannya. Rumah sakit, dokter, pasien mereka masih butuh seorang perawat seperti Nika. Rumah Hati juga masih membutuhkannya. Dan mengapa tidak aku saja yang dipanggil-Nya? Tak akan terlalu banyak yang menangisi. Bahkan mungkin tidak ada.

Rumah Hati setiap sudutnya selalu mengingatkan aku pada Nika. Rasanya ingin pergi berlari ke tempat jauh yang lain. Tapi aku ingin kuat untuk diriku, untuk Bu Wulan, untuk Pak Bagus, untuk Rumah Hati. Aku akan menggantikan tugas–tugas Nika. Nika akan terus hidup di hati ini. Nika akan terus hidup di hati kami semua yang selalu mengenangnya.

Aku terus saja memikirkan Nika. Terlalu. Setelah kepergiannya aku malah begini. Dulu semasa ia hidup aku bahkan tak pernah seperti ini. Memikirkannya lebih dari memikirkan diriku sendiri, lebih dari memikirkan.... Kamea.

Ada yang berubah. Ya, baru kali ini ada yang menggeser sedikit posisi Kamea di hatiku, di pikiranku, di jiwaku. Seseorang yang baru saja meninggal. Aku tidak percaya pada perasaanku sendiri. Mengapa ada dua nama sekarang? Satu nama atas nama Kamea. Satu nama lagi atas nama Nika.

Tentang Kamea, ia adalah orang yang selalu ingin aku percaya dunia ini adalah juga tempat yang baik dan indah. Ia menghangatkanku lebih dari yang dilakukan matahari. Ia menyejukkanku lebih dari yang bisa diberikan udara segar pegunungan. Ia juga adalah seorang ibu dan kakak buatku, di samping sebagai teman dan sahabat terbaik di dunia. Aku selalu ingin membuatnya tersenyum. Aku selalu ingin ia bahagia. Tentang perasaan lain yang disebut orang lain cinta, pada Kamea aku mungkin merasakan lebih dari itu. Aku mengasmarainya. Aku sangat menyayanginya. Dia adalah cahaya yang lebih lembut dari terang bulan yang damai itu.

Tentang Nika, sepertinya hatiku aku akan merasa sedikit sakit. Lebih sakit dari perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Aku mengabaikan perasaannya sebelum ia meninggal. Aku merasa bersalah. Aku akan mencintainya sekarang. Tiba–tiba Kamea mengutarakan perasaannya padaku. Dia memilih jujur tentang perasaannya padaku. Mungkin ia tak tahan pada hatinya sendiri. Mungkin karena aku yang memang selalu mengalihkan perasaanku sendiri.

Aku tahu. Seharusnya dia juga tahu aku sudah tahu itu. Aku tak merasa nyaman pada keterbukaan ini. Semestinya dia tahu, dia tak perlu bicara tentang ini. Apalagi sekarang pikiranku tersita oleh Nika, Nika, dan Nika.

Aku bahkan tidak pernah bisa mengucapkan kata terima kasih padanya. Di satu sisi aku bahagia ada dia yang begitu menyayangiku. Di sisi yang lain aku takut menyakiti hatinya karena dia telah sembarang memberikan hati pada orang sepertiku.

“Aku tahu pasti akan begini. Kamu selalu menghindari hati sendiri. Aku cuma sedang mencoba menegaskan perasaanku sendiri.” Kata Kamea lirih.

“Sebenarnya perasaan kamu ke aku gimana sih, Toba?” tanya Kamea,” Kamu terlihat begitu peduli dan sayang sama aku tapi kamu juga kadang cuek banget.”

“Tanpa aku bilang kamu udah tahu, Kamea. Kamu jelas-jelas bisa baca aku.” Aku tanggapi pernyataan dan pertanyaannya.

“Nika berarti banget ya buat kamu? Sampe bikin kamu terus down begini.” Tanya Kamea. Dengan nada suara yang lirih.

Aku diam saja, sangat tak berani menatap matanya. Dia tahu Nika cinta pertamaku. Dia tahu Nika sahabat terbaikku selama ini. Yang ada di sisiku ketika dia tak selalu ada.

“Aku enggak tahu harus bilang apa. Kamu mau aku bilang apa, Kamea?” aku putuskan lagi bicara.

“Seenggaknya jangan begini terus. Kamu tahu ada aku, Toba. Kamu begini bikin aku khawatir.” Balas Kamea jelas. Aku dengar ada ketulusan di dalamnya.

“Dari dulu aku begini, Kamea. Apa kamu lupa? Aku terlalu lemah menghadapi apa yang terjadi di hidupku. Aku selalu kalah oleh kelemahanku sendiri itu.” Aku bicara dengan hati.

“Enggak perlu khawatir sama orang kayak aku.” Kataku pelan.

“Jangan bersikap terlalu baik sama aku lagi, Kamea,” pintaku.

“Semua orang yang aku sayang entah kenapa akhirnya harus pergi dariku.” Ini poinnya.

“Kalau satu hari nanti giliran kamu yang pergi ninggalin aku. Aku enggak tahu lagi bakal jadi gimana,” Aku buka alasanku.

“Aku enggak akan ninggalin kamu.” Kata Kamea yakin.

“Jangan terlalu yakin. Kita enggak pernah tau hari esok. Semua orang pasti meninggal dan hati bisa berubah kapan aja. Itu akan terjadi padaku, pada kamu juga,” kataku jujur.

“Kamu enggak percaya sama aku?” tanya Kamea.

“Percaya? Percaya apa, Kamea? Kamu tau pasti aku tak percaya banyak hal.” Jawabku pesimis.

“Kamu tau sedikit banyak tentang hidupku. Inilah aku. Inilah hidupku.” Kataku.

“Aku pergi dulu, aku harus pulang ke Rumah Hati. Beberapa hari ini aku tidur di makam Nika. Pulanglah,” aku pamit dan berdiri.

Dia tiba-tiba menangis di depanku. Sakit sekali rasanya melihat orang yang sebenarnya sangat ingin kulindungi hatinya itu tersakiti karena sikap dan kata-kataku. Aku lihat ia menangis dan menyeka air mata sendiri.

“Toba, kamu membiarkanku menghapus air mataku sendiri.” Aku dengar Kamea bilang begitu. Dan kami mengakhiri pembicaraan ini dengan air mata yang masih turun luruh di matanya.

Untuk kali ini aku memang tak ingin mencoba menyeka air matanya. Aku serahkan tugas mulia itu pada angin, pada tangannya sendiri. Sambil berjalan membelakanginya aku berkata dalam hati,” Jika aku menerbitkan rasa cemas atau bahkan rasa sakit di hatinya, sedang aku berlaku kejam karena mengabaikan perasaannya itu, silakan hukum aku ya, Tuhan.”

Tersenyumlah..

Sekalipun untuk hati sendiri..

Sekedar menguatkan jiwa yang mulai melemah..

Sekedar saja untuk mengembalikan kesadaran yang perlahan hilang..

Tersenyumlah..

Untuk taklukkan pahitnya perasaan saat tak lagi bisa diungkapkan..

Ketika menangis telah melewati titik terlelahnya..

Tolong, tersenyumlah..

Begitu yang tertera di teks SMS yang baru saja kuterima. Aku baru ingin tidur. Merebahkan diri, merebahkan hati. Ini SMS dari Kamea. Setelah tadi kubuat ia menangis, sekarang ia malah ingin membuatku tersenyum. Kau buat dari apa hatinya, Tuhan?

Aku email satu puisi untuknya. Dengan subjeknya Penakut.

Aku takut, hangat yang kutatap dari matamu.. aku takut, tertawa lagi karena senyummu.. aku takut, menemukanku terbiasa lagi olehmu.. aku takut, sunyiku membunuh suaramu.. aku takut, hujanku basahi mataharimu.. aku takut, malamku gelapkan siangmu.. aku takut, kesalahan sikapku akan melukai hatimu.. aku takut, kau melihatku berbeda dan kecewa.. aku takut, aku selalu takut, terlalu takut, kau akan lelah dan pergi....

Dan tak lama Kamea langsung membalasnya. Jangan takut, karena jika kau izinkan, aku akan memelukmu setiap kali kamu merasakan ketakutan itu. Sambil terus berkata aku tidak akan lelah, aku tidak akan pergi. Dan aku tahu Toba, kamu adalah seorang pemberani, kamu bukan seorang yang penakut. Kamu telah melalui hidupmu yang tak mudah ini dengan berani.

Aku langsung merasakan sesak di dada, haru di dalam hati.

* * *

Kamea bukan hanya jadi donatur bagi Rumah Hati, sekarang ia ingin juga jadi relawan. Ia akan datang setiap punya waktu luang. Kami semua menerima dengan hati. Akan ada pengganti Nika. Bukan berarti menggantikan, tapi mengisi kekosongan yang ditinggalkan Nika. Kamea dengan cepat telah dikenal baik anak–anak. Anak–anak sering menanyakannya di waktu–waktu ia sibuk dan tak bisa datang. Bu Wulan dan Pak Bagus terhibur setiap kali Kamea datang. Mereka merasa seperti melihat Nika hidup kembali. Meski banyak perbedaan antara Kamea dan Nika, kami semua yang pernah mengenal keduanya pasti setuju tentang kemiripan sifat keibuan dan penyayang keduanya.

Kamea ingin ikut aku yang akan ke Jakarta. Seminggu sekali aku ke makam bunda dan ke makam Nika. Kali ini Kamea bersikeras ikut. Aku mengajaknya menemui bunda.

“Kamu orang pertama yang aku ajak ke makam Bunda, Kamea. Kamu dulu yang mengingatkanku jadi anak berbakti. Kamu yang membuat aku mencari dan menemukan Ibu kandungku ini.” Kataku pada Kamea.

“Bunda, ini Kamea yang pernah kuceritakan itu.” Aku kenalkan Kamea pada bunda.

“Bunda, aku Kamea. Bunda tahu, anak Bunda yang bernama Toba ini sekarang sudah jadi pemuda yang tampan, sukses, dan baik. Kalau Bunda masih ada, Bunda pasti bangga punya anak seperti dia.” Kamea mengenalkan diri. Memujiku di pusara ibuku. Kami berdoa dan menaburkan bunga.

Aku melanjutkan ke makam Nika. Kebetulan makamnya ada di satu pemakaman dengan bundaku. Aku menoleh pada Kamea ketika hendak beranjak dari makam bunda.

“Aku ikut ke makam Nika juga,” katanya otomatis. Ia memeluk lenganku.

“Nika, apa kabar kamu di sana? Udah ketemu Bundaku dan Mila?”

Lihat selengkapnya