Sudahlah, air mata itu terlalu luruh
biar angin menyeka sampai kering
duka itu pasti datang pada setiap kita menangis pun bukan dosa
Sudahlah, pundakku selalu setia jadi sandaran kepalamu yang berat karena beban di pikiran
Telingaku siap mendengarmu bicara sampai lelah
Dan tanganku masih kuat untuk menggenggammu sampai akhir...
Kamea tetap seperti biasanya. Ia rutin ke Rumah Hati sesuai jadwal luangnya. Aktivitasnya tidak akan terganggu selama ia tidak lupa suntikan insulinnya. Tidak akan ada masalah selama ia mengontrol terus gula darahnya. Aku juga berusaha bersikap biasa padanya. Seperti yang diinginkannya. Karena tidak tahu harus bicara tentang apa, aku bertanya saja padanya tentang Dimas.
“Dimas kenapa? Dia bilang titip kamu ke aku.” Tanyaku pada Kamea.
“Aku pernah berpikir dia adalah orang yang aku cari selama ini. Dia selalu ada di dekatku. Kami banyak berbagi mimpi–mimpi. Dia sampai membuatku ingin menikah muda bersamanya.”
“Terus kenapa sekarang dia mau lepasin kamu gitu aja? Dia mau pergi dari kamu?” Aku bertanya lagi.
“Aku bilang aku sakit. Aku bilang padanya aku kena penyakit diabetes dan harus suntik insulin seumur hidup. Lalu, dia pelan–pelan mundur.”
“Entahlah, mungkin ia hanya bersikap manusiawi, meski aku tetap merasa terluka dan ditinggalkan. Aku mungkin tak akan menikah. Ternyata cinta selalu menuntut kesempurnaan”
“Ditambah dengan mengingat lagi tentang mamaku yang membesarkan aku sendirian.” Kamea akhirnya berhenti bercerita. Aku mendengarnya sampai selesai. Aku meresapi perkataannya, perasaannya. Aku yang kini gantian bicara.
“Aku juga tak percaya keharmonisan, percintaan, dan lainnya. Aku tumbuh di keluarga yang membuatku merasakan banyak kekecewaan.”
“Di perjalanan hidup juga kemudian kujumpai perpisahan yang tentu menyakitkan hati. Perpisahan berupa perceraian orang tua dan perpisahan berupa kematian orang–orang terdekatku.”
“Aku selalu takut kalau ada orang yang bersikap begitu baik padaku. Aku takut menjadi bergantung pada orang itu. Aku takut orang itu akan berubah nanti, tak ada yang abadi di sini.” Gantian aku yang mengungkapkan perasaan tentang kehidupanku.
Aku tahu Kamea mendengar dengan seksama. Sekarang kami akan makin paham satu sama lain. Barangkali berharap mau saling memahami.
“Kemudian aku menemukanmu, Toba. Entah kamu menemukanku atau tidak, sangat terserah pada hatimu,” tiba– tiba Kamea berujar,” Kamu introvert, tapi sikap kamu sebenarnya manis. Kamu beda.”
“Kamu adalah segala alasan, Kamea. Alasan kuat aku percaya masih ada sebuah kebaikan yang tulus.” Balasku padanya,” Aku sempet enggak percaya masih ada orang sebaik dan setulus kamu di zaman edan ini.”
Mungkin kami sedang saling melepas perasaan. Kamea sudah melakukannya sebelum ini. Aku pernah membantah pelepasan perasaan macam ini sebelum ini. Kami sudah tak malu lagi menelanjangi hati dan membuka hati. Terutama aku. Sebelum Kamea beranjak pergi untuk pulang, aku memberinya harmonika. Harmonika pemberian darinya untukku waktu itu.
“Mungkin kamu lebih butuh ini sekarang daripada aku,” kataku.
“Enggak. Itu punya kamu. Kalau kamu balikin ke aku itu rasanya enggak sopan.” Sergahnya.
“Bukan begitu maksudnya,” aku tak ingin ini jadi salah paham.
“Simpan, Toba. Gini deh biar adil, besok setiap aku sebelum pulang kamu main harmonika dari aku ini sambil aku baca puisi karya kamu. Pasti keren deh.” Akhirnya ada solusi yang indah. Aku jelas setuju pada permintaannya.
“Sekarang aku pulang dulu. Sampai ketemu lusa.” Kamea kemudian pamit pulang.
Tiga hari dalam seminggu Kamea pasti ke Rumah Hati. Hari lainnya ia bekerja di perusahaan keluarganya di Jakarta. Dia tak keberatan bolak–balik Jakarta–Tangerang. Yang mengagumkan, ia lebih suka naik kendaraan umum daripada mobil pribadi. Ia juga juga tak terlalu suka ditemani, katanya ia penikmat perjalanan. Ia akan lebih menikmati perjalanannya yang dijalaninya bila seorang diri saja.
“Apa kamu enggak takut dijahatin orang? Perempuan sendirian di perjalanan itu bahaya, Kamea.” Aku ingin ia tahu aku khawatir.
“Percaya atau enggak aku belum pernah mengalami hal–hal buruk di perjalanan. Aku sering pergi sendirian, dekat atau jauh. Tuhan itu Maha Melindungi, Toba. Dia adalah sebaik–baik pelindung kita.”
Dulu aku sudah sering khawatir, apalagi sekarang. Tapi dia adalah si keras hati. Aku percaya dia memang mandiri. Dia wanita muda yang tak lemah sama sekali, meski jelas ia terlihat sebagai wanita keibuan yang berlaku selalu lembut. Pertentangan yang berpadu menjadi kepribadian yang mengagumkan setiap yang mengenalnya. Aku percaya, Kamea. Tuhan pasti melindungi wanita sepertimu. Tuhan pasti menyertakan seribu malaikatnya untuk melindungi manusia sepertimu. Aku sangat percaya.
* * *
Aku pulang sore hari. Kamea masih terlihat sibuk dengan anak–anak. Ini harinya, aku akan bermain harmonika sambil ia membaca puisiku. Aku sudah menyiapkan satu puisi untuknya, yang terinspirasi darinya. Ia menghampiriku. Aku sudah selesai membersihkan diri. Selesai salat Ashar. Aku menunggu di teras depan Rumah Hati. Di sisi meja, ada secarik kertas puisiku dan harmonika darinya. Ia mengajak aku ke sebidang tempat biasa anak–anak Rumah Hati bermain. Ada kursi taman yang cukup panjang di dekat pohon mangga yang cukup rindang. Kami duduk di situ.
“Ayo main harmonikanya. Kamu mulai duluan dong.” Ia bersemangat.
Aku meniup harmonika. Mengalunkan nada-nada yang terdengar merdu untuk mengiringi Kamea yang membacakan puisiku.
Kamu adalah segala alasan
Kamu adalah puisiku
Kamu membuatku menulis
Kamu juga yang membuatku kehilangan kata
Kamu adalah kekuatanku
Lihatlah aku tanpamu merapuh dan tak mampu