Kamea sudah sadar. Setelah seminggu lebih koma. Sekarang aku sedang menungguinya tertidur. Mamanya baru saja pulang dan akan kembali sore nanti. Ia tadi dijenguk teman–temannya. Mungkin ia masih lemas dan tertidur lagi.
“Toba..” Kamea memanggil namaku.
Aku mendekat padanya, tapi ia masih pura-pura terpejam.
“Kamu kok enggak ngomong apa–apa sih. Enggak seneng aku sadar?” Ia masih menutup matanya.
“Buka dong matanya, Kamea.”
Ia kemudian membuka matanya.
“Aku seneng banget kamu udah sadar lagi sampe aku enggak tahu harus ngomong apa. Aku makasih banget sama Tuhan udah izinin kamu sadar dan kembali ke kami semua.”
“Beberapa hari ini kamu ke mana? Waktu kamu enggak sadar kamu ke mana? ” tanyaku.
“Aku juga enggak tahu. Aku enggak inget apa–apa.” Kami jeda bicara, menyadari hujan yang turun di luar jendela.
“Syukurlah kamu kembali, Kamea.”
“Makasih udah tungguin aku. Makasih udah nemenin Mama ya, Toba.” Aku tersenyum padanya. Ia tak tahu aku menangis lagi semalam. Menangis bahagia ketika mendapat kabar ia sudah siuman dari koma.
“Cepet sehat lagi. Rumah Hati udah kangen sama kamu.” Kataku seraya mengelus kepalanya. Ia menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum malaikatnya. Tiga hari lagi Kamea sudah boleh pulang ke rumahnya.
* * *
Kamea sudah sehat lagi. Ia datang ke Rumah Hati. Aku dan Rumah Hati menyiapkan kejutan untuknya. Kami semua serempak menyanyikan lagu Sempurna yang dipopulerkan band Andra and The Backbone menyambut kedatangannya.
“Selamat datang kembaliii,” kata kami kompak. Kamea tampak terharu. Kemudian aku biarkan ia berbaur dengan anak–anak yang merindukannya. Kubiarkan ia bicara dengan Bu Wulan dan Pak Bagus.
Aku duduk sendirian di ayunan, salah satu mainan di Rumah Hati. Menyadari bahwa bahagia sebenarnya benar–benar sederhana. Kamea kemudian menghampiriku.
“Udah selesai lepas kangennya ?”Ujarku.
“Belum tuh sama kamu,” jawabnya enteng. Aku cuma senyum saja.
“Kenapa tadi nyanyiin lagu sempurna buat nyambut aku?” tanyanya.
“Aku mungkin enggak sesehat dulu lagi. Atau mungkin tiba–tiba tubuhku menolak transplantasi pankreas itu. Aku mungkin menderita diabetes lagi, aku penyakitan lagi.” Lanjutnya.
“Ke mana perginya Kamea yang optimis itu?” aku bertanya sebelum menjawab pertanyaan dan pernyataannya.
“Apa pun keadaannya kami bersyukur kamu kembali, Kamea. Kita itu manusia, tidak sempurna. Tapi kita bisa merasa sempurna ketika kita bersama dengan yang lain.”
“Makasih ya lagu sempurna tadi, kalian bikin aku merasa sempurna.” Ujarnya kemudian.
“Makasihnya sama Andra and The Backbonenya dong,” balasku.
“Makasih ya, Andra and The Backbone!!! Lagu sempurnanya sempurna,” Kamea sedikit berteriak mengatakan itu. Kami kemudian sama–sama tertawa kecil.
“Toba, aku punya nazar kalau aku selamat dari transplantasi aku mau ajak kamu ke danau Toba.
”Minggu depan aku sama Mama mau ke rumah kerabat yang di dekat sana. Kamu harus ikut ya.”
Tanpa berpikir lagi aku mengiyakan. Aku sebenarnya juga sudah lama ingin ke danau yang bernama sama denganku itu.
* * *
Aku, Kamea, dan mamanya pergi menuju danau Toba. Melewati rute MedanBerastagi-Danau Toba. Sepanjang jalan menikmati segarnya udara pegunungan Kota Berastagi, kami merapatkan jaket yang kami pakai karena udara terasa dingin. Mama Kamea mengajak berbelanja buah yang bisa langsung dipetik dari sumbernya, karena Kota Berastagi ternyata kota buah. Menjelang sampai di sekitar Danau Toba, suhu udara bertambah dingin tapi semua itu sirna karena kami terbelalak begitu melihat hamparan Danau Toba dari kejauhan di dalam mobil. Subhanallah indahnya, akan membuat kita semakin memuji Sang Pencipta.