Aroma alami hujan lebat yang jatuh ke tanah kering terasa menenangkan. Itu pula alasan terbaik seseorang menyeruput kuah mie instan, atau makan gorengan dipadu dengan kopi atau teh hangat. Meskipun banyak orang tak sadar mengapa hujan bisa mendorong mereka memikirkan minuman hangat, makanan berkuah dan pedas, serta gorengan panas yang berbumbu pedas, semua itu tetap terekam sebagai memori yang indah saat hujan datang.
Preti dan Syena tak mau ketinggalan. Mereka menembus hujan tanpa mantel untuk mampir di café kesukaan mereka. Tak banyak yang sadar bahwa hujan telah turun deras selama sejam, tapi terasa seperti sepuluh menit bagi jiwa dan pikiran yang tak tenang seperti Syena.
“Aku butuh hujan! Pliss, kali ini lebih lama.” Preti menengadah ke langit dengan sepuluh jari di dada.
“Kenapa? Kau butuh hujan lagi sebagai alasan?” Syena menikmati goreng pisang madunya sambil mengomentari sikap Preti yang masih nampak kekanak-kanakan.
Syena adalah teman Preti satu-satunya yang dia punya selama puluhan tahun, dan yang dijaminnya tak kan berkhianat sebelum ia melakukannya duluan. Meskipun Preti kelihatan ramah dan suka menolong, prinsip ‘satu teman, cukup!’ itu terus dipegangnya.
“Siapa bilang?” balas Preti sambil sesekali menyirup kopi favoritenya, kopi hitam yang dicampur dengan susu kental manis - pengganti gula.
“Aku lihat sendiri pipimu turun – keriput! Masalah cowok lagi?” tanya Syena
Preti menggeleng. “Trus, kau kok ngopi di jam kerja? Banyak masalah kantor?” Tanyanya balik.
Kali ini giliran Syena yang menggeleng.
“Kios?”
Akhirnya perempuan berambut panjang, tebal dengan poni kuda itu mengangguk. Wajah oriental yang mulus tanpa gangguan jerawat, membuat orang berpikir kalau ia sering perawatan ke salon. Kenyataan bahwa ia lebih suka mencelupkan wajahnya ke dalam baskom berisi hasil cucian beras. Mungkin banyak orang tak percaya, Preti juga. Sampai akhirnya ia melihat Syena mempraktekkannya sendiri di depan matanya.
“Kenapa lagi sekarang? Karyawanmu yang izin nikah satu minggu minta gaji dibayar lebih awal? Atau karyawan baru yang sering datang telat itu ngulah lagi? Atau yang mana.”
Syena mengangguk diikuti dengan suara nafas berat, “ia”.
“Ia. Ia yang mana?”
“Yang telat itu ngulah lagi.”
“Ya ampun, Sye. Kalau aku jadi kau, sudah kupecat dia. Tegas donk!”
“Makanya kau gak jadi pengusaha.”
“Memang aku sendiri yang malas jadi pengusaha. Lama-lama bisa putus saraf-sarafku menghadapi sifat yang begituan.”
Syena menggeleng. “Kau juga terlalu kejam untuk ukuran perempuan.”