Pagi merintik mengisyaratkan Monday lazy harus dikumandangkan. Butir-butir embun hasil hujan deras yang terperangkap di daun-daun semalaman, pertanda aroma kopi dan susu cokelat akan beradu di setiap sudut kantor Preti. Ya, moment yang paling disukainya. Aroma yang membangkitkan kemalasan dipadu dengan halusinasi yang diiringi lagu sendu dari smartphone-nya, sudah cukup untuk memenuhi sepertigapuluh kekosongan hati. Tapi tak cukup lama mengisi perutnya yang kosong.
“Pagi, Bos!” Sapaan Preti pada Pak Limbong, pria tua yang paling tak disukainya. Meski perutnya buncit, dan raut wajah tuanya yang gelap serta jalannya yang mulai terseot karena asam urat, ia tak pernah sedikitpun simpati padanya. Alasannya, karena bos itu sering bicara kasar bak preman, plus hujan lokal pulak.
“Ada apa pagi-pagi begini?” Tanya Pak Limbong dengan ekspresi terganggu. Terganggu menyeruput kopi pekat buatan OB kesayangannya. OB janda seksi yang hanya tersenyum manis kepadanya, tapi tidak kepada karyawan lain kalau diminta membuatkan teh. Janda itu akan menaikkan rok nya dua sentimeter sebelum mengetuk pintu Pak Limbong, dan kembali menurunkannya dengan tatapan najis apabila dilihat karyawan lain.
Preti sangat menyukai aroma kopi Pak Limbong, kopi khas yang siapa saja pecintanya pasti kenal betul kalau itu adalah kopi impor yang harga 1 kotaknya semahal dompet coach crossgrain milik Syena. Tapi tak perlu menghabiskan uang semahal itu, Preti mampu menyeruput kopi itu jika si janda seksi lagi sibuk. Yap, sungguh tak ada yang menyadari dia seberani itu mengambil kopi bos yang yang terkunci rapat di lemari dapur kantor. Bagaimana caranya? Hanya dialah yang tahu.
“Hari ini penerbangan dinas jam 3 sore, Pak. Saya izin pulang setelah jam makan siang.”
Tak ada jawaban, malah dia mendapat perintah, “Beritahukan yang lain, jam 10 rapat untuk tim proyek jembatan.”
“Baik, Pak.” Preti masih berdiri, menunggu Bos nya yang galak itu melanjutkan bicaranya.
“Apalagi?”
Lah... “Izin saya tadi bagaimana, Pak?”
“Suka kamu saja. Mau pulang sekarang pun boleh!” Balas bos Preti dengan gaya kacamata yang hampir jatuh dan matanya menatap Preti dari sisi lain tanpa bantuan kacamata.
Preti mulai bereaksi, kali ini dia tidak mau keluar dari ruangan itu tanpa kepastian, “Saya mau izin resmi dari bapak. Izin saya pulang jam 12 sudah pasti ya, Pak! Waktunya tidak mundur apalagi maju.” Dia punya gaya sendiri untuk mematahkan ke-bos-an pria tua itu.
Lagi, Bosnya hanya mengangguk.
Sial. Preti menegaskan, “Terimakasih untuk izinnya, Pak. Saya permisi!”
Untuk seukuran karyawan yang masih bekerja dua tahun, Preti terbilang terlalu berani. Tapi itulah alasan Pak Limbong tetap mempertahankannya, meskipun banyak orang lapangan yang keberatan karena dia tak mau diajak kongkalikong. Tak banyak staf laki-laki perusahaan yang matang mampu mengurus keuangan lapangan, karena itu bos Preti tak memilih laki-laki untuk menangani keuangan. Dan tak banyak pula perempuan mampu menangani keuangan, siap gosong-gosongan di lapangan. Karena itu keberadaan Preti masih diagung-agungkan sampai saat yang tak bisa ditentukan. Mungkin sampai saat dimana akhirnya Preti mempertimbangkan penampilan dan kemulusan kulitnya. Atau sampai saat perusahaan tak membutuhkannya lagi.
Rapat jam 10 dimulai – ontime.
Peserta rapat itu belasan orang. Meja rapat yang sepanjang 5 meter pasti kurang untuk menampung semuanya. Kantor menangani itu hanya dengan menyediakan kursi tambahan. Dan Preti paling tidak suka ada karyawan yang berlomba-lomba duduk di kursi tambahan. Dia menilai mereka sedang bersembunyi dibalik badan karyawan lain! Sembunyi dari kenyataan.