Kata Mamak

elesia maria tamba
Chapter #3

Tentang Tetangga

Mamak mau kau menikah secepatnya! Kalau kau lebih cinta pekerjaan ketimbang masa depanmu, kawinin aja sekalian si buncit itu!

Preti melempar ponselnya ke dalam ransel, mengambil boarding pas lalu mengantri di pintu gate penerbangan sambil mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa melawan ibunya terkait jodoh. Perkara jodoh, memang perlu ketelitian penuh untuk membahasnya. Karena silap satu kata, hujaman kalimat bisa menembus isi kepala.

Tak hanya omelan Ibu Preti yang membuat lelah semakin bertumpuk. Padahal perempuan sawo matang itu sudah membayang-bayangkan betapa empuk kasur tempat tidurnya. Seharusnya ia merasakan aroma kebebasan setelah meninggalkan lapangan kerja yang medannya melewati bukit dan lembah, air nya yang cokelat asin, serta motelnya yang tak lebih bagus ketimbang kamarnya sendiri.

Tapi angan-angan musnah membayangkan wajah ibunya yang penuh dengan rentetan pertanyaan tanpa titik. Arahan yang mengarah pemaksaan dan berujung pada perintah. Seisi dunia ini pun mungkin pusing kalau mamakku ini ada dua! Batinnya. Ibu Preti selalu percaya jika perjalanan bisnisnya yang padat itulah yang menghambat calon menantunya mendekat dan mendarat di rumah mereka.

“Kalau lima hari sekali nya kau ke luar kota, trus sisanya kau pake lembur kerja, ya gak kawin-kawin lah kau. Sedangkan ayam jantan pun punya strategi mendapatkan hati ayam betina. Purak-purakk di di kepak-kepakkannyalah bulunya.”

Sambutan pertama yang di dapatnya setelah bersusah payah mengangkat kopernya yang penuh dengan baju kotor.

“Gesit dikit!” tambah Ibu Preti.

“Aku perempuan, Mak.”

“Tau aku. Makanya jangan cepat kali menjawab. Maksudku, ya kaupun pakelah lipstik itu, buat pipimu merah dikit. Jangan kau pake gajimu makan aja sama kawan-kawanmu itu. Ada waktu luang, makan. Libur, makan di luar.”

“Usaha juga loh mak makan diluar, tapi sekalian nyari calon menantu mamak yang tersesat!”

“Ya, jangan pulak kau makan ke kaki lima. Mana ada jodohmu disana!”

“Yaudah, besok aku ke kedai tuak!”

“Alamak… huss… husshh jauhhh. Jangan ada yang meng-amin-kan!” ibu Preti berputar sekali menatap dinding teras rumahnya, mengetuknya dua kali. “Lancip kali lah mulut si Preti ini! Jangan asal bicara, angin pun bisa mengada-ngada.”

Menyebalkan. Preti memang tidak pernah frontal mengatakan ketidaksukaannya terhadap cara ibunya yang lebih ke arah memaksa untuk menikah secepat mungkin. Kalau kata Syena, Preti termasuk anak berbakti yang tidak mau melawan orangtua – dan gak nurut juga.

           “Preti, gimana disana? Ada yang kecantol samamu?” Tanya ibu Preti. Sementara anaknya masih sibuk mengeluarkan pakaian kotor dari dalam koper. “Jangan pura-pura gak dengar. Pekak betulan baru tahu rasa!”

Emosi terpancar dari mata Preti yang beradu dengan mata ibunya. Beberapa detik kemudian kepalanya menunduk seiring degan hembusan ringan yang panjang. Menahan diri tidak terpancing. Karena kalau dia sudah mengeluarkan satu kata, maka kalimat balasan dari ibunya pun keluar tanpa titik dan koma selama belasan menit.

Lihat selengkapnya